13. Who Are You?

1002 Kata
Satu per satu murid meninggalkan kelas begitu Mentari kembali. Tidak lama sebelum bel jam terakhir berbunyi, gadis itu izin ke kamar mandi untuk mencuci muka. Namun saat ia kembali rupanya kelas sudah berakhir. "Ada PR gak?" tanya Mentari begitu mencapai mejanya. "Enggak. Oh, iya. BTW barusan Tante Mala nelepon. Katanya dia udah ada di depan gerbang. Terus gue bilang aja kalo lo lagi ke toilet." Kedua alis Mentari mengerut. Jika ibunya datang menjemput, lantas dengan siapa Alan pulang? Bagaimana jika lelaki malang itu tersesat lagi seperti tadi pagi? Mentari berusaha berpikir. Mamanya Alan mungkin tidak akan datang karena anaknya membawa motor, terlebih dia pasti mengira kalau Alan tidak pulang sendirian. Tapi di sisi lain, Mentari juga memikirkan dirinya sendiri. Dia tidak mau nekat lagi seperti tadi atau besok dia tidak akan bisa mengisi daftar hadir. "Ya udah deh, kalo gitu gue duluan ya," pamit Mentari. Ia segera membereskan semua peralatan menulisnya dan keluar kelas dengan terburu-buru. Gadis itu berjalan melewati tangga, menuju ke koridor lain. "Sebelas IPA enam." Mentari menatap sebuah papan nama yang menggantung di atas pintu. "Dia di kelas ini, 'kan?" Ia lalu menatap ke dalam kelas dan mengedarkan pandangannya. "Alan!" Ia berseru, membuat sang pemilik nama menatap ke arahnya. Lelaki itu segera memakai tas dan berpamitan pada teman-temannya yang lain. Mereka tampak menatap Mentari yang berada di sana, menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. "Lo ngapain di sini?" tanya Alan begitu mencapai pintu. "Lo pulang sama siapa?" Mentari balik bertanya. Alan terdiam sejenak. Tidak mungkin juga dia mengajak Mentari lagi. Meskipun gadis itu memakai sunscreen atau semacamnya, tapi tidak menutup kemungkinan ia akan terkena panic attack lagi, terlebih sekarang matahari bersinar masih terik. "Gue .... " "Gue gak bisa pulang bareng lo. Nyokap gue udah jemput." Mentari menginterupsi. "O-oh, iya. Gak apa-apa, gue bisa ngerti kok." "Tapi lo gimana?" Tiba-tiba Alan tertawa pelan. "Ya gak gimana-gimana. Lo pulang aja duluan, gue gak pa-pa." Mereka berdua perlahan berjalan menuruni satu per satu anak tangga. "Kalo lo ... nyasar lagi kayak tadi gimana?" Mentari bertanya dengan tampang polos, membuat Alan semakin tak bisa menahan tawanya. "Gue udah inget jalannya. Udah, gak usah mikirin gue. Gak usah nekat lagi, ntar gue juga yang kena marah. Nyokap lo pasti khawatir, jadi dia jemput," ujarnya. Ia melirik Mentari begitu gadis itu sudah menaikkan resleting jaket dan menaikkan topinya hingga menutupi kepala. Kini mereka sampai di ujung koridor yang mengarah ke gerbang. Mentari mundur selangkah begitu kedua ujung sepatunya hampir bersentuhan dengan musuh bebuyutannya yang super panas. "Gini aja deh, gimana kalo lo ngikutin mobil gue?" usul Mentari. Pandangannya bertumbukkan dengan kedua mata Alan. "Gue juga gak mau ngambil risiko. Kalo lo kenapa-napa, gue juga yang salah. Jadi solusi terbaik saat ini, ya lo ngikutin mobil gue. Gimana?" Alan tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Meskipun ia memang ingat jalan pulang, ia juga harus berjaga-jaga jika hal yang tidak diinginkan terjadi. Dan semoga ia bisa mengingat mobil milik gadis itu selama perjalanan pulang. "Buat jaga-jaga .... " Mentari mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaketnya. "Tulis nomor HP lo. Nanti kalo lo tiba-tiba lupa mobil gue dan malah ngikut mobil orang, gue bakalan langsung nelepon lo. Hm?" Salah satu alis Alan naik. Kenapa gadis di depannya itu mendadak perhatian padanya? "Lo kenapa sih? Kayaknya khawatir banget sama gue," cibir Alan. Ia mengambil ponsel milik Mentari dan menuliskan nomornya di sana. "Alan Erlangga," ujarnya lagi takut-takut jika Mentari salah menamai nomornya. "Iya, iya. Gak usah samain gue sama lo. Dan lo gak usah kepedean, karena gue lakuin ini biar gue gak kena masalah kalo lo tiba-tiba ngilang. Kan bisa repot urusannya," balas Mentari seraya mengambil kembali ponselnya. Kedua sudut bibirnya naik hingga matanya menyipit. Mentari mengacungkan kedua ibu jarinya. "Kalo gitu gue tunggu di mobil." "O—" Belum sempat Alan menjawab, tubuh Mentari sudah menghilang dari pandangannya. Lelaki itu sempat mencari keberadaan Mentari di antara gerombolan murid yang berjalan menuju gerbang. Kedua matanya memicing, sampai akhirnya ia melihat seseorang dengan jaket merah muda tampak berlari menerobos orang-orang. Alan memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung celana dan menggelengkan kepala. Tepat ketika ia hendak melangkah, seseorang menarik pelan bahunya hingga mau tidak mau Alan pun berbalik. Apalagi sekarang? "Bapak masih mau hukum saya? Kan tadi Mentari udah jelasin semuanya," ujar lelaki itu. Sepasang mata amber milik Chandra mengamati wajah Alan dengan saksama, membuat yang ditatap merasa sedikit tidak nyaman. "Kamu bener-bener gak inget sama saya, ya?" Kening Alan mengerut. "Pak Chandra, 'kan?" Tiba-tiba Chandra tersenyum, membuat Alan kian bertanya-tanya. Apa dia salah orang? Atau dia salah menyebutkan nama? Rasanya tidak, dia masih ingat betul siapa sosok di depannya itu. "Ternyata bener. Alzheimer kamu itu masih saja berlanjut." Kini Alan tertegun. Ia menatap Chandra. Siapa sebenarnya dia? Apa mereka saling mengenal? Getaran ponsel Alan membuat lelaki itu mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ia segera melihat siapa yang menelepon, dan rupanya itu dari nomor yang tidak dia kenal. "Halo?" "Woy! Jadi gak? Cepetan dong, panas nih!" Alan menjauhkan ponselnya dari telinga. "Iya, iya. Sabar kek!" Lelaki itu menutup sambungan telepon secara sepihak. Ia menatap Chandra sejenak, lalu segera pergi dari sana. Ia berlari menuju parkiran dan harus cepat menemui Mentari, atau gadis itu akan murka lagi. *** Mentari memutar tubuhnya dan menatap motor yang melaju di belakang mobilnya. Bisa gawat jika Alan tiba-tiba hilang. Tanpa sepengetahuannya, diam-diam Mala memperhatikannya lewat spion. "Jadi Alan itu punya alzheimer?" tanyanya. Beberapa saat lalu Mentari menjelaskan siapa sosok Alan padanya. Mentari kembali memutar tubuhnya ke depan. "Masih gejala gitu sih katanya, Bu. Tapi menurutku udah agak lewat dari gejala, ingatannya aja udah mulai bermasalah." Ia kembali menolehkan kepalanya ke belakang. "Harusnya kamu terus terang aja langsung sama Tante Dewi. Dia juga bakalan ngerti." Helaan napas terdengar setelahnya. "Aku gak enak sama Tante Dewi. Aku emang pengin jelasin, tapi aku pikir tadi pagi itu bukan waktu yang tepat." "Iya, tapi kamu itu ngebahayain diri kamu sendiri. Untung tadi pake sunscreen, jadi kulit kamu gak kayak stroberi." Bibir Mentari seketika mencebik. Dia benci sekali dengan hidupnya yang begitu bergantung pada benda bernama sunscreen dan juga sunblock. — TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN