Sebuah Ide

1077 Kata
"Penjualan restoran menurun, pelanggan juga semakin sedikit," ucap seorang pria paruh baya seraya mengurut keningnya. "Lalu sekarang harus bagaimana?" Ratna mendekat dan meletakan secangkir teh. "Entahlah, tapi aku tidak akan menyerah demi anak kita." Ratna mengangguk "Aku akan cari pekerjaan, semoga teman- temanku yang dulu punya lowongan pekerjaan, dan mencari pinjaman." "Maafkan aku," ucapnya tak enak hati. "Kenapa meminta maaf, aku tidak pernah menyesal memiliki putri dari kamu atau menikah dengan kamu, kalian adalah kebahagiaanku." "Tapi kamu harus ikut berjuang, sedangkan ini harusnya menjadi kewajibanku." "Kita ini suami istri Pa, sudah sepantasnya saling membantu dan berjuang bersama, lagi pula ini juga demi putri kita" "Hmm, jangan katakan apapun pada putri kita, dia harus fokus pada kesehatannya, jangan sampai dia berpikir yang tidak- tidak." Di balik pintu Najwa menghapus air matanya, dia mengerti kedua orang tuanya berjuang demi dirinya, biaya pengobatannya bukan sesuatu yang murah, dan itu pasti sudah menghabiskan tabungan mereka, belum lagi pengobatan yang harus terus berjalan hingga dia bisa mendapatkan donor hati. Najwa menghela nafasnya, kenapa dia hanya bisa menjadi beban untuk orang tuanya, sudah dewasa tapi malah semakin merepotkan. Tak ingin membuat orang tuannya sedih Najwa melangkahkan kakinya kearah kamarnya, dia baru saja pulang kuliah, dan tak mendapati orang tuanya, niatnya akan menyapa jika dia sudah pulang, namun ternyata mereka sedang berdiskusi tentang keuangan mereka. Meletakkan tasnya di atas meja belajar Najwa memikirkan bagaimana caranya agar dia juga bisa menghasilkan uang. "Sayang kamu sudah pulang?" Najwa menoleh dan melihat sang ibu membuka pintu. "Eh, iya Ma, maaf aku gak nyapa tadi, aku kira Mama sama Papa lagi di restoran." Ratna tersenyum "Udah makan obat kamu?" Najwa tersenyum "Belum.. he.. lupa Ma." "Nah kan, kebiasaan" Ratna berjalan ke arah nakas dan mengambil obat Najwa "Udah makan siang kan?" "Udah ma, aku bisa loh sendiri." Najwa mengambil obatnya dari tangan sang Mama. "Iya, tapi kamu pelupa." Najwa mencebik, dan meminum obatnya. "Papa udah berangkat ke restoran Ma?" "Belum, paling sebentar lagi, cuma cek pegawai aja, kan semua udah ada yang handle." "Hm ... Ma, aku boleh ikut gak?" "Eh, ngapain nanti kecapekan, kan baru pulang kuliah." "Gak kok, lagian aku bosen di rumah terus." "Ya, udah, tapi di sana harus diem gak boleh ngapa- ngapain." "Siap Bu boss," Ratna terkekeh melihat tingkah Najwa yang memberi hormat padanya. . . . Najwa duduk di ruangan sang papa dimana dia bisa melihat para pengunjung yang sedang makan, benar kata Papanya pengunjungnya semakin sedikit, mungkin kalah saing sama restoran baru yang lebih kekinian. "Bosen ya Tih." Najwa bicara dengan salah satu pegawainya yang sedang meletakkan minuman untuknya. "Kalau mbaknya bosen, ya keluar kek, kok diam terus di ruangan Bapak." Najwa menggeleng "Bukan, tapi suasananya, pengunjung juga dikit,"ucapnya lesu. "Iya sih Mbak, Ratih rasa orang orang udah pindah ke lain hati, eh, maksudnya ke restoran lain yang up too date, padahal disini makanannya bercita rasa tetap, sama seperti dulu dan sangat enak menurutku, tapi ya itu kalah sama restoran yang bisa buat foto- foto itu--" "Nah itu!" Ratih mengelus d**a, karena terkejut pasalnya anak majikannya itu menggebrak meja segala. "Apaan sih mbak, kaget aku." Najwa melihat ke arah Ratih dengan senyum tersungging di bibirnya. "Kita renovasi restoran biar kekinian, buat yang gak biasa dan belum ada di kota kita." "Oh, iya bagus itu Mbak jadi suasananya gak bosenin ya, tapi Bapak gimana mbak?" "Ya, aku harus ngomong dulu sama Papa tapi aku yakin pasti Papa setuju." Najwa berkata dengan yakin. .... Seorang pria sedang duduk di kursi bar, dengan sesekali menegak minumannya, Suara musik berdentum keras, dan memekakkan telinga, kerumunan orang yang menari di lantai dansa tak membuatnya tertarik sama sekali, penari striptis pun hanya bisa menatap dan menggerling menggoda sedangkan dia tak bergeming, menatap biasa saja. Gavin Mahendra, mengedarkan pandangannya dan terasa membosankan, entah apa yang dia inginkan, segalanya telah dia miliki uang, kekayaan dan dia bisa dengan mudah mendapatkan wanita, namun tetap saja dia tidak merasa bahagia, entah bagaimana caranya agar dia bisa memiliki sebuah kebahagiaan, haruskah dia memilikinya dengan membelinya dimana ada yang menjual kebahagiaan, dia akan membelinya. Gavin pikir jika dia punya uang maka kebahagiaan akan datang dengan sendirinya, namun ternyata hidupnya tetap saja malang, dan menyedihkan, sepertinya seumur hidupnya tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. "Lihat mereka pasti akan membuat ulah lagi," ucap Bartender sekaligus pemilik Club malam di depannya menyentak lamunan Gavin, Gavin melirik ke arah pintu dan terlihat segerombolan preman yang baru saja masuk "Aku muak melihat tingkah sok jago mereka." "Mereka menghancurkan bar minggu lalu dan tidak mengganti rugi sama sekali," ucapnya lagi. "Berapa kerugianmu?" Gavin menaikan alisnya, matanya sayu, karena mulai terpengaruh minuman yang sejak tadi di tegaknya, Gavin termasuk kuat dalam minum alkohol, terbukti hingga dia habis beberapa botol Gavin tetap sadar. "Hampir seratus juta, botol minuman yang pecah, kursi yang rusak, bahkan sofa, aku juga harus memberi pengobatan pada pegawaiku yang terluka karena mereka, sungguh sial," umpatnya kesal. "Kau ingin mereka mengganti rugi, aku bisa membuat mereka memberikannya," ucap Gavin tenang. "Benarkah, kau yakin? tapi tidak, lebih baik jangan jika kau kalah, aku lagi yang harus mengobatimu dan barangku akan rusak kembali." "Bagaimana jika aku bisa membuat mereka membayarnya?" tanyanya. Bartender itu menimbang lalu berucap, "Aku akan memberikan geratis untuk semua pesananmu hari ini." Gavin mengangkat alisnya, ayolah dia bisa mendapatkan ratusan juta hanya untuk membunuh satu nyawa, dan dia harus berhadapan dengan sepuluh preman hanya demi minuman yang Gavin jumlah hanya satu juta lebih. "Aku tidak miskin hanya untuk membayar tagihan malam ini." Gavin berkata dengan datar. "Baiklah, jika kau bisa membuat mereka ganti rugi, dan tidak datang lagi, aku akan berikan kau satu bulan geratis." Gavin mengangguk setuju. Gavin berjalan mendekat ke arah para preman yang sedang mengancam seseorang. "Apa kalian tidak malu berbuat keributan?" Salah satu dari mereka menoleh ke arah Gavin, dan Gavin yakini adalah ketua genk tersebut. "Jangan ikut campur, jika tidak mau wajah tampanmu menjadi jelek." ucapnya penuh ejekan. Semua anggota preman itu tertawa. "Aku tidak ingin mencari gara- gara, hanya saja, aku risi melihat kelakuan kalian, aku juga tidak suka kau merusak bar ini, bukankah minggu lalu kalian datang dan menghancurkan isi bar, bagaimana jika sekarang kalian ganti rugi dulu sekaligus dengan hari ini, siapa tahu kalian akan menghancurkan barang- barang disini lagi." "b******k, kenapa kau banyak bicara, siapa yang berani menentang kami!" si ketua preman berteriak, dan untuk sesaat suasana hening, namun tak lama mereka kembali tak peduli dan riuh musik kembali terdengar. "Bagaimana jika kita bertanding satu lawan satu, jika kalian kalah, bayar kerusakan minggu kemarin, dan jangan datang lagi." ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN