Sarah Dan Amar

1835 Kata
Gavin di seret di masukan kembali ke dalam gudang, dan di lempar hingga Gavin merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tubuh Gavin sudah sangat kurus dan di lepar dengan keras membuat Gavin serasa tulangnya remuk. "Aku mohon lepaskan aku." Gavin memohon dan memegang kaki ibu angkatnya yang sejak tadi melihat dengan tatapan penuh kebencian. "Melepaskanmu, kau bermimpi, kau tahu betapa kami ingin memiliki anak kami sendiri, dan kau membunuhnya, lalu sekarang kau ingin kami melepaskanmu, aku bahkan ingin melihatmu mati disini dengan perlahan, kau mengerti!" Ibu angkat Gavin menendang Gavin hingga tersungkur. Gavin menggigil ketakutan dia kembali di kurung di ruangan gelap itu, Gavin tak tahu ini malam atau siang, dan sudah berapa hari dia disana, yang pasti Gavin sudah lemas karena perutnya kosong. Brak.. Gavin mendongak melihat seseorang membuka pintu, pandangan Gavin kabur, namun sebelum Gavin jatuh tak sadarkan diri dia tahu orang itu bukan Ayah ataupun Ibu angkatnya. .. Gavin terbangun di sebuah kamar yang bagus dan rapi, dia mengedarkan pandangannya dan menemukan pria pembunuh sedang duduk dengan pandangan tak lepas darinya. "Sudah bangun? sudah siap untuk pembalasan dendam?" Gavin mengeryit seluruh tubuhnya terasa sakit, dan Gavin masih mencerna ucapan pria pembunuh di depannya, "Kenapa diam saat disiksa, kau tidak ingin hidup lebih lama?" tanyanya dengan decakan yang keluar dari bibirnya. "Apa- maksudmu?" "Dengar Nak, Aku menangkap kedua penjahat itu, apa yang akan kau lakukan pada mereka, aku serahkan mereka padamu," ucapnya masih dengan raut tenangnya. Gavin mendongak melihat pria pembunuh itu seakan bertanya 'Siapa?' "Mereka yang menyiksamu, jadi pantasnya mereka mendapatkan balasan setimpal." Pria itu menggerakan kepalanya "Ikuti aku!" Gavin bangun melangkah mengikuti pria tinggi di depannya berjalan menyusuri rumah yang ternyata sangat besar itu, hingga mereka tiba di sebuah pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah. Gavin melihat orang tua angkatnya di ikat di kursi dan berteriak saat melihatnya. "Anak sialan, tidak tahu diri lepaskan kami!" Ibu angkat berteriak tak terima di perlakukan seperti sekarang. "Gavin, kau hanya melihat, ayo lepaskan kami, dan kita pulang." Ayah angkat berbeda, dia bicara lebih lembut dan membujuk Gavin, dia tahu mereka sedang berurusan dengan pria berbahaya yang ada di belakang Gavin. Gavin melihat ke arah pria pembunuh yang duduk tenang lalu meletakkan sebuah pistol di atas meja "Kau ingin membunuh mereka dengan ini?" pria itu menunjuk sebuah pisau, dan membuat orang tua angkat Gavin membelalak. "Atau ini, tapi perlu keahlian untuk menggunakan ini" pria itu memberikan pistol ke tangan Gavin. "Gavin, jangan lakukan itu!" " Atau kau bisa berbelas kasih dan melepaskan mereka, namun aku tidak yakin aku akan melepaskan mereka begitu saja,melihat bagaimana mereka menyiksamu." "Pria sialan kau mempengaruhi Gavin!" Ayah angkat Gavin berteriak. Gavin memegang pistol dengan gemetar lalu mengangkatnya "Ingatlah Gavin, kau tidak memiliki kesalahan, tapi mereka menyiksamu tanpa ingat kau juga manusia." "Kau melenyapkan bayi kami," teriak si ibu angkat, tentu saja dia tak terima dan dia tak menyiksa Gavin tanpa alasan, dia tetap merasa benar dengan apa yang dia lakukan. "Itu bukan kesalahanmu Gav, itu tidak sengaja, siapa yang memintanya melewatimu di saat kau sendiri membersihkan rumah, bukankah itu setimpal, orang seperti mereka tak pantas memiliki keturunan, mereka bahkan menyia-nyiakanmu." Tangan Gavin semakin bergetar, dan terangkat ke arah wanita di depannya yang mulai menegang, benar semua bukan salahnya tapi wanita itu terus menyiksa dan menghardiknya. "Sialan anak tidak tahu diri, kau tidak tahu terimakasih," desisnya "Harusnya kami tidak membawamu dan biarkan kau membusuk di panti." Gavin mengeraskan rahangnya, di bawa lepas dari panti dan di masukan ke dalam neraka yang menyiksanya dia juga tidak sudi. "Kenapa kau terus bicara, diamlah, jika tidak kita akan mati," kata si ayah angkat. Gavin mendengus melihat pasangan suami istri itu, saat ini setan mulai merasukinya, perlakuan orang tua angkatnya yang menganggapnya seperti hewan membuatnya geram. "Gavin dengar, kami tahu kami salah asalkan kau melepaskan kami, kita akan kembali ke rumah dan memulai semuanya dari awal." bergeming Gavin terus menatap wanita yang seperti tak punya rasa takut di depannya, wajahnya yang cantik sangat menyebalkan. "Kenapa hanya diam, ayo bunuh aku, itu maumu!" "Bicara apa kau!" "Lihat dia tidak akan berani," ucap si ibu angkat mencebik meremehkan, usia Gavin yang masih terhitung anak- anak tak membuatnya takut, dia yakin Gavin tidak akan berani melakukan itu. "Hentikan bicaramu!" "Dia itu pecundang, anak pembawa sial, dan tidak tahu diri, harusnya ... Dorrr!!! Hening.. Gavin masih memejamkan matanya dengan pistol di genggamannya, lalu terdengar jeritan dari ibu angkatnya. "Aaaakh ... kau- kau membunuh, membunuh ... su-suamiku!" Gavin membuka mata dan melihat ayah angkatnya sudah tak bernyawa, dengan bekas tembakan tepat di jantungnya, dia melenyapkannya, Gavin menjatuhkan pistolnya tangannya gemetar, dia sudah membunuh, dia sudah jadi penjahat. "Woow, kau bahkan melakukannya dengan memejamkan mata." pria yang sejak tadi diam memperhatikan, kini bertepuk tangan. Ibu angkatnya masih menangis melihat suaminya sudah tidak bernyawa lagi "Sekarang apa yang akan kau lakukan pada wanita itu?" Gavin menoleh dan mendapatkan tatapan tajam dari si ibu angkat. Si ibu angkat mendongak menatap benci Gavin "Kau ingin membunuhku, bunuh aku, bunuh saja aku!" teriaknya "Anak tidak tau diri, pembunuh ... sialan!" tangan Gavin terkepal kuat, lalu ingatan tentang ucapan wanita kejam itu terngiang di kepalanya. "Aku ingin dia mati secara perlahan." desisnya, dan ibu angkat Gavin tertegun. "Tidak, tidak, bunuh saja aku, aku tidak mau, bunuh aku sekarang!" ibu angkat berteriak histeris melihat Gavin berjalan keluar meninggalkannya dalam kegelapan, di sebelahnya suaminya bahkan sudah tak bernyawa. "Selamat datang di dunia Kami, Gavin" Gavin mendongak melihat tangan yang terulur di depannya, Gavin meraih dan menggenggamnya. Gavin tahu saat dia memututuskan untuk meraih tangan itu dia tidak akan bisa lepas dengan mudah, atau bahkan dia akan terus terjerumus semakin dalam, namun saat ini dia tidak punya tangan yang lain yang ingin menggenggamnya. .... Najwa menatap sebuah objek di depannya di mana seorang pria sedang bermain basket di tengah lapangan, karena Sarah sangat heboh saat melihatnya. "Gila, keren kan Naj." Sarah bahkan tak berkedip memandang kagum pria- pria yang berkeringat di depan sana. "Kita ngapain di sini sih Sar?" Sarah mencebik. "Liat cowok ganteng lah," ucapnya dengan senyuman. Najwa menggeleng lalu menunduk melihat kembali laptopnya dia sedang mengerjakan tugas, tapi Sarah menyeretnya ke lapangan basket. "Liat Naj, Amar ngeliat kesini." Sarah berbisik, Najwa tak peduli dan terus mengacuhkannya "Eh, enggak deh, Amar liatin kamu Naj." Najwa mendongak dan benar pria di tengah lapangan itu melihat ke arahnya, sepertinya mereka sedang istirahat sejenak di tengah permainan, sesat pandangan mereka beradu hingga Najwa lebih dulu memutus pandangannya, dan kembali menunduk. "Ah, susah deh ngomong sama gadis alim," Keluh Sarah, dia kembali melihat pertandingan yang dimulai kembali. "Aku penasaran deh Naj, sama satu hal?" "Hmm apa?" Najwa masih tak mendongak, namun dia tetap menjawab pertanyaan Sarah. "Kamu gak ada niatan buat pacaran gitu?" Najwa memicingkan matanya, lalu berpikir. "Aku bukan gadis alim seperti yang kamu bilang Sar, kalau kamu pikir aku memakai kerudung yang berarti aku adalah ahli agama." Najwa menggeleng "Itu enggak sama sekali, buktinya aku juga masih suka kok lihat cowok ganteng, atau suka senyum- senyum sendiri kalau liat drama percintaan yang aku tonton, dan membayangkan bagaimana kalau aku ada di posisi itu, jatuh cinta, dicintai, lalu berpacaran, tapi, aku berpikir lagi aku gak mau hidupku sia- sia ... di waktu yang gak lama." Najwa menerawang jauh. "Hah, maksudnya? aku gak ngerti waktu yang gak lama?" Sarah mengerutkan keningnya bingung dan mengulangi perkataan Najwa. Najwa tertawa kecil "Aku kan harus selesaikan kuliahku, itu maksudnya." "Iya deh, yang bentar lagi skripsi." Najwa kembali tertaw. "Nah ayo dong, kamu kejar aku biar kita lulusnya bareng." Sarah mencebik "Gak bakalan ke kejar walaupun sampai aku kejer," ucapnya lesu. "Loh kok gitu?" "Ya, terus aku harus kebut satu semester lagi dalam dua bulan gitu." Najwa tertawa. Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan salah satu dari mereka dengan senyum tersungging di bibirnya, di tengah pertandingannya Amar sesekali melihat ke arah gadis berkerudung yang duduk di kursi penonton. Bukan pertama kalinya Amar melihat Najwa duduk di kursi penonton, dia tahu Najwa sama sekali tidak terlalu menyukai basket, hanya saja Sarah selalu memaksanya untuk ikut, terbukti dari laptop di pangkuannya yang bahkan Najwa lebih banyak menatap laptopnya dari pada ke arah lapangan. Di saat para gadis meneriakkan namanya dia hanya diam menunduk dan berjibaku dengan laptopnya. Pertandingan berakhir tentu saja di menangkan oleh tim Amar dan kawan- kawan. Satu persatu penonton sudah mulai bubar meninggalkan lapangan, namun Najwa masih diam di sana, tepatnya Sarah yang mengatakan ... "Lebih baik keluar terakhir, dari pada kedorong- dorong di pintu masuk." dan Najwa tahu itu hanya alasan Sarah saja, karena menunggu Amar keluar dari ruangan ganti sana. "Mereka keluar Naj." Najwa lagi- lagi hanya menggeleng saat Sarah memekik, benarkan dugaannya. "Kamu tahu dia mirip Song Joong Ki, artis korea itu," ucap Sarah kagum sedangkan Najwa mendelik melihat Sarah. "Lebay deh ah, nanti Song Joong Ki tuntut kamu gegara nyama- nyamain dia sama Amar." "Ck, beneran Naj, dia mirip Song Joong Ki cuma karena kulitnya cokelat aja, coba kalau putih, ih seger banget dia pasti abis mandi di dalem sana." "Keluar yuk, sebentar lagi aku ada kelas," kata Najwa akhirnya, tidak akan berhenti jika dia terus mengikuti keinginan Sarah. Sarah mengangguk tak semangat, lalu berdiri dari duduknya menunggu Najwa merapikan laptop dan tasnya. Saat akan keluar, langkah Sarah terhenti hingga Najwa yang ada di belakangnya, menghentikan langkahnya "Kenapa sih?" Najwa memiringkan wajahnya melihat ke depan di mana ada sosok jangkung yang berdiri di depan mereka. Amar, si kapten basket yang tampan idola banyak perempuan di kampusnya. Najwa mengerutkan keningnya saat justru Amar melihat ke arahnya dan memanggil namanya "Najwa." suara Amar sedikit berat tapi lembut, dan baru pertama kali mereka mendengar suara pria itu dari dekat, sampai- sampai Najwa bisa mendengar Sarah mendesis di telinganya. "Ya ampun Naj suaranya seksii banget," bisiknya, dan Najwa yakin Amar bisa mendengar suaranya. Najwa menipiskan bibirnya "Kenapa ya?" "Ini punya kamu kan?" Amar menyodorkan sebuah ballpoint ke arah Najwa. Ah, Najwa ingat dia kehilangan itu saat menemani Sarah menonton pertandingan basket minggu lalu "Oh, iya, terimakasih." Najwa mengambil ballpoint tersebut dan memasukan nya ke dalam tas. "Kamu ada waktu gak, aku mau ajak kamu makan di kantin." Najwa tersenyum "Maaf Amar, bentar lagi aku ada kelas, tapi Sarah free kok" Najwa mendorong Sarah, yang tersenyum salah tingkah dan memprotes pada Najwa. "Apaan sih Naj, Amar kan ngajak kamu." "Gak papa kan, lagian kita bisa makan lain kali, dari pada Amar gak ada temennya, mending ajak Sarah aja, eh, iya kan? aku bentar lagi masuk, dah ya ... ." Najwa melesat meninggalkan Amar yang menatapnya kecewa, sedangkan Sarah juga salah tingkah karena berdua dengan Amar di sana. "Gak papa kok Mar, aku ngerti kamu ngajak Najwa, aku pergi dulu ya." Sarah akan pergi namun suara Amar justru menghentikan langkahnya. "Gak kok, aku juga ngajak kamu, ayo." Sarah tertegun lalu mengikuti Amar dari belakang. Dari balik tembok Najwa tersenyum saat melihat Amar mengajak sarah pergi, dia tahu Sarah sangat menyukai Amar, maka dari itu Sarah tak pernah absen menonton pertandingan Amar, Sarah bahkan datang ke kampus saat tak ada jadwal kuliah hanya untuk menonton pertandingan basket Amar, seperti hari ini, Sarah sampai menyeretnya hanya untuk menemaninya menonton. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN