Mencari Nana

1307 Kata
"Kau berurusan dengan anak buah Marcus?" Gavin melihat kearah pria paruh baya yang baru saja datang "Aku tidak suka cara mereka berlaga." "Sejak kapan kau peduli Gav, harusnya kau tidak boleh berurusan dengan para pecundang seperti Marcus, kau membuka masalah untukmu." "Mario?" Gavin menengadah ke arah pria paruh Baya di depannya. "Ya?" "Kau bahagia dengan hidupmu?" tanpa peduli ocehan Mario Gavin bertanya, tatapannya menerawang jauh Pria paruh baya itu mengeryit "Apa maksudmu?" "Aku hanya bertanya apa kau bahagia? dengan uangmu, dan hidupmu sekarang?" tanya Gavin lagi "Kau mengalihkan pembicaraan, aku sedang memperingatkan mu untuk tidak berurusan dengan Marcus, malah bertanya sesuatu yang tidak- tidak, kau tidak ingat status kita sebagai pembunuh bisa tercium oleh aparat." Gavin bergeming, dia memandang datar Mario yang menyangkal, dia tahu Mario juga merasa hampa, hanya saja Mario mengelaknya. Pria itu adalah orang yang memperkenalkan Gavin pada dunia gelap, dan yang menyelamatkan Gavin 15 tahun lalu dari siksaan orang tua angkatnya, Mario juga mengajarkan Gavin bagaimana membunuh tanpa rasa kasihan siapa pun targetnya, hingga kini Gavin sudah menyandang gelar pembunuh bayaran paling kejam. "Aku akan pulang ke Indonesia," ucap Gavin. Mario mengerutkan keningnya, "Apa?' Gavin diam ... "Kau yakin?" tanya Mario Sejak 15 tahun lalu Gavin di bawa pergi oleh Mario, dan selama itu pula Gavin tidak pernah ingin kembali bahkan menyebutkan nama negara asalnya yang menyimpan kenangan buruk untuknya. "Aku ingin mencari seseorang." "Kau yakin, kau bilang tidak ingin mengingat apapun yang ada di sana." "Aku berhutang terimakasih pada seseorang," ucap Gavin, mungkin inilah saatnya Gavin menemui 'Nana', dulu dia tidak sempat berterimakasih karena di bawa Mario untuk pergi. ... Najwa tersenyum menatap idenya yang dia realisasikan dengan bantuan para pekerja restoran. Restoran di bagi menjadi dua bagian, sebagian restoran di peruntukan untuk anak muda dan sebagian untuk keluarga ,dinding polos restoran kini sudah berganti menjadi rak buku, semua n****+ yang Najwa punya juga sudah siap di rak dan akan ikut dengan berbagai buku yang sengaja di beli untuk di baca secara geratis oleh pengunjung nanti, di sediakan juga menu baru untuk menemani ketenangan membaca buku disana. Sebagian dinding juga di jadikan spot untuk bersua foto, di tambah beberapa ornamen untuk mempercantik, taman di luar juga sudah berganti menjadi taman bermain kecil untuk anak, jadi para orang tua bisa makan dengan tenang saat anak- anak mereka bermain di depan mereka, Najwa membuat restoran bisa di nikmati semua kalangan. "Beberapa hari lagi akan selesai, jadi kita bisa buka kembali." Najwa berkata pada sang papa yang juga sedang melihat restoran mereka di renovasi. Mereka mengeluarkan modal besar untuk renovasi, hanya saja mereka berharap kelak akan terganti dengan hasil yang lebih besar. "Semoga setelah ini pengunjung bisa bertambah, dan keuntungan kita bisa menjadi besar," ucapnya. "Humm Aamiin.." Najwa menyandarkan kepalanya di pundak papanya. "Kamu pusing?" tanyanya khawatir, Najwa menggeleng. "Aku cuma suka seperti ini sama Papa." Najwa mendengar Papanya sedikit terkekeh "Maafin aku ya Pa, udah ngerepotin Papa, meski aku udah sebesar ini, aku terus bergantung sama Papa." Najwa merasakan kepalanya di elus lembut oleh sang Papa, Najwa memejamkan matanya sebenarnya dia memang pusing, tapi dia tak ingin membuat Papanya panik, Najwa menghirup dan mengeluarkan nafas secara perlahan menahan sakitnya agar tidak kentara dan membuat sang Papa curiga, biasanya itu berhasil dan keadaannya akan kembali seperti semula. "Mau pergi membeli permen kapas?" tanya sang papa yang masih mengelus kerudung Najwa. "Mau." Najwa berkata dengan lirih "Tapi kok aku jadi ngantuk." Najwa masih merasa pusing "Mau tidur bentar ya Pa,nyaman banget." Najwa bahkan menguap untuk meyakinkan papanya. "Ya sudah tidur saja dulu." Najwa merasakan elusan di kepalanya menjadi tepukan di punggung. ... Gavin turun dari pesawat dan melihat sekitarnya, akhirnya dia kembali ke negaranya, tepatnya ke kota di mana dia dilahirkan dan menjalani hidup yang penuh dengan derita. Gavin ingin melihat orang- orang yang dulu mencibir dan menyiksanya terutama wanita itu, ibu angkatnya ... . Tapi lebih dari itu Gavin ingin memenuhi janjinya pada diri sendiri, yaitu berterimakasih pada gadis itu, 'Nana.' Selama ini Gavin tidak pernah lupa pada satu nama itu, meski dia berusaha untuk melupakan semua kenangan buruk, namun dia tidak berniat melupakan satu kebaikan gadis itu padanya. 'Nana' Dia akan mulai mencari ke restoran tempo hari tapi setelah 15 tahun apa semuanya masih sama, nyatanya tidak. Gavin rasa gedung- gedung di kota ini makin bertambah dan bangunan pun sudah banyak yang berubah. .. Gavin memasuki sebuah rumah dan meletakan kopernya membiarkan pelayan membawanya. "Bagaimana keadaannya?" "Dia masih hidup tuan." pelayan itu bicara dengan datar seolah tidak terjadi sesuatu, padahal yang mereka bicarakan adalah manusia. Gavin meninggalkan pelayan tersebut dan masuk lebih dalam hingga bertemu sebuah pintu, pintu yang selama 15 tahun mengurung ibu angkatnya. Seorang wanita yang terikat mendongak saat mendengar langkah kaki berjalan ke arahnya. Gavin berjongkok dan menatap datar wanita itu "Bagus sekali kau masih hidup?" "Bukankah itu yang kau mau," ucapnya dengan tajam. Gavin mengangguk "Bagus kau bahkan masih ingat denganku." "Kau pikir aku akan lupa denganmu." Wanita itu tertawa pelan "Wajahmu yang menyedihkan bahkan masih terbayang di mataku." "Anak pembawa sial, pembunuh!" wanita paruh baya itu berdesis, dia bahkan masih bisa mencela meski keadaannya sangat mengerikan, penampilan yang lusuh, tangan terikat dan kaki yang terpasung di lantai. "Ya, tentu saja kau harus terus hidup untuk melihatku sekarang, kau lihat perbedaan antara aku dan kau." Gavin menunjuk pakaiannya dengan bangga. "Apa gunanya, kau bahkan hanya sendiri, sendirian kau tidak akan pernah merasa bahagia." tatapan tajam yang di layangkan wanita itu tidak membuatnya takut sama sekali, namun perkataan ibu angkatnya itu yang membuat Gavin menggenggam tangannya di balik saku celananya, karena memang benar dia tidak bahagia. Menyembunyikan kepedihannya Gavin menyeringai "Aku tidak keberatan, setidaknya kita sama, sama- sama sendirian, Ah, sepertinya tidak! kita tidak sama, kau terkurung, sedangkan aku bebas dan menikmati hidupku, dan satu lagi, aku menunggu kau untuk mati perlahan." Gavin pergi dari sana meninggalkan wanita yang menjadi ibu angkatnya 15 tahun lalu berteriak terus memakinya. "Pembunuh ... kau membunuh suamiku! sekarang kau menyiksaku, lihatlah aku! aku bersumpah, kau tidak akan bahagia, bahkan kau tidak akan hidup dengan tenang!" ... Gavin menatap tajam pelayan yang dia tugaskan menjaga rumah serta ibu angkatnya, "Kau mengikatnya seperti itu selama ini?" "Ya, Tuan, karena dia terus berusaha kabur." Gavin mengangguk "Pergilah, tiga hari ini kau tidak perlu datang." Pelayan itu mendongak melihat Gavin "Lalu wanita itu Tuan?" "Biarkan dia, ku rasa tidak makan beberapa hari tidak akan membuatnya mati," ucapnya tanpa rasa bersalah Pelayan itu mengangguk lalu pergi. Gavin melangkah menuju kamarnya dengan sesekali memperhatikan sekitar, rumah ini milik Mario dan Gavin sudah membelinya karena ada si ibu angkat di dalamnya, sebenarnya Mario tidak mempermasalahkan sampai kapan Gavin akan menyimpan ibu angkatnya di sana, namun Gavin tak ingin Mario terlibat lebih jauh, dia ingin menyaksikan sendiri sampai kapan wanita angkuh itu bertahan. Gavin membaringkan tubuhnya di atas ranjang dia akan beristirahat sebelum pergi untuk menemui Nana. .... Gavin menatap jam yang melingkar di tangannya, lalu keluar dari rumah. Memasuki mobil setelah menyalakan sebuah aplikasi petunjuk jalan. Satu jam lebih berkendara Gavin melihat sebuah restoran yang banyak berubah di depannya, terang saja sudah 15 tahun, jika di hitung dari perkiraan usia Nana waktu itu sekitar enam tahun mungkin sekarang gadis kecil itu sudah menjelma menjadi gadis dewasa berusia sekitar 21 tahun. Gavin rasa gadis itu akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, mengingat dulu juga gadis itu terlihat imut dan menggemaskan. Gavin masih ingat wajah gadis itu sangat manis dengan gigi kelinci dan rambut panjangnya yang hitam. Gavin memasuki restoran dan duduk di salah satu kursi kemudian membuka buku menu, dan memanggil pelayan. "Saya mau pesan ini, dan ini?" Gavin menunjuk menu dan pelayan mencatat "Saya bisa bertemu dengan pemilik restoran ini?" Gavin menatap pelayan di depannya, dan membuat si pelayan salah tingkah, Gavin bahkan harus bertanya dua kali untuk mendapat jawaban. "Biasanya beliau datang sebentar lagi Mas, eh itu dia." pelayan itu menunjuk ke arah pintu dimana seseorang baru saja masuk. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN