Najwa Annisa

1679 Kata
Najwa Annisa. Indonesia ... Seorang gadis berjalan dengan ceria di atas trotoar bibirnya bersenandung kecil lagu kesukaannya yang di putar memalui ponsel dan terdengar di benda kecil yang menempel di telinga. Angin sore berhembus menerpa kerudung panjangnya dan meliuk mengikuti alur. "Naj!" teriakan di belakangnya tak membuatnya menoleh, karena telinganya masih di tutupi headset, hingga si pemanggil menepuk pundaknya. "Eh, Sarah?" "Kamu di panggil kok gak nyahut." "Hehe ... sorry." Najwa menunjukan ponselnya yang sedang tersambung dengan kabel headset. "Kebiasaan deh, kalau ada apa-apa bisa bahaya loh Naj, gimana kalau kamu lagi nyebrang terus ada mobil yang remnya blong kamu gak bakalan bisa mendengar klaksonnya, ketabrak, mati." Najwa tersenyum "Hidup dan mati ada di tangan Allah, Sarah sayang." Najwa menyampirkan tangannya di bahu Sarah "Cepetan nanti telat kuliah," ucapnya lagi, mereka berjalan beriringan menuju gerbang kampus. Sarah mencebik "Iya, hidup dan mati ada di tangan Allah, tapi kalau kita gak waspada juga tetep aja, celaka." "Eh, tar siang kita ke toko buku yuk," ajak Sarah. Najwa mengeryit "Beberapa hari lalu bukannya udah beli buku ya?" "Iya, tapi nanti ada buku baru yang mau aku beli, aku baru dapet uang saku dari tanteku," ucap Sarah dengan bangga. Najwa menggeleng "Aku gak bisa nanti abis kuliah aku ada urgen." "Laga kamu, urgen segala, kemana sih?" tanya Sarah penasaran. Najwa tersenyum tak menanggapi, dan berjalan mendahului Sarah. "Eh, di tanya kok gak jawab." "Ayo cepetan nanti telat!" .... "Udah siap?" Najwa mengangguk, dengan senyuman, lalu seorang suster mendorong kursi rodanya. "Aku bisa jalan loh sus." Najwa mencebik, merasa risi. "Aku tau, Najwa kan memang kuat," ucap suster menenangkan. Najwa tertawa kecil "Tetep aja rasanya juga sakit." Suster hanya tersenyum, sambil mengelus punggung Najwa. Najwa mengenakan seragam biru khas rumah sakit memasuki ruangan yang sudah ada dokter di dalamnya. "Assalamualaikum, dokter ganteng ... ." Dokter nya memang ganteng dengan kaca mata bertengger di hidung mancungnya, kulit putih dan mata sedikit sipit, tubuhnya juga tinggi dengan d**a bidang yang seksi, ssttt ... jangan kasih tau orang lain tentang pemikiran Najwa yang nakal satu ini, tapi gak papa kan itu berarti dia normal. "Waalaikumsalam Najwa cantik." jika saja Dokternya masih jomblo Najwa pasti memerah, sayang sekali Dokter Raihan sudah memiliki calon istri, jadi Najwa biasa saja "Sudah siap?" tanyanya masih dengan senyuman di wajah tampannya. Najwa mengangguk "Jangan tegang, tenang aja ya," kata Raihan menenangkan. "Aku kayaknya mulai terbiasa dengan ini." Najwa masih tersenyum, ini adalah kemo keduanya bulan ini, untuk mempertahankan kondisinya. Beberapa bulan lalu Najwa di vonis memiliki kanker di hatinya, jalan satu- satunya adalah transplantasi hati setelah membuang sel kanker lebih dulu, namun menunggu pendonor tak semudah itu, banyak yang juga mengharapkan seperti Najwa, mereka juga memiliki kondisi yang bahkan lebih parah darinya, tapi belum mendapat pendonor. Dan Najwa hanya bisa menunggu dan mempertahankan kondisinya yang semakin lemah, menunggu tuhan mengirimkan malaikat penolongnya, namun jika tidak Najwa ikhlas di panggil yang maha kuasa. Tentu saja, karena sejatinya semua yang di milikinya adalah milik Tuhan tak terkecuali nyawanya. Namun Najwa berharap di sisa hidupnya yang tinggal sebentar lagi ini, dia banyak melakukan kebaikan karena dia tak ingin menyesal kelak jika sudah tiada. Dokter menyuntikan sebuah obat ke dalam cairan infus yang telah tersambung ke nadi Najwa hingga perlahan obat tercampur dan terserap masuk kedalam aliran darahnya. Najwa mulai merasakan dirinya melemah, dan pusing luar biasa efek samping dari obat tersebut sudah terasa, rasa mual yang tak tertahankan hingga Najwa mengalami muntah- muntah hebat. ... Najwa tersenyum saat terbangun melihat sang ibu setia menemaninya, selesai dengan kemoterapi tubuh Najwa kelelahan hingga dia tertidur "Aku gak papa Ma," ucapnya berusaha menenangkan. "Kamu selalu bilang begitu." Ratna mengusap air matanya, dan tersenyum ke arah Najwa, mata gadis itu sayu dan pucat, Ratna tak mengerti mengapa ini menimpa pada putri satu- satunya ini, namun dia berusaha tegar agar putrinya tidak bersedih. "Itu juga sugesti dan doa buat aku, ya kan suster?" Najwa mencari dukungan dari suster yang ada di sebelahnya. "Iya dong, tetap semangat ya Najwa." Najwa mengangguk dan melihat suster keluar ruangan rawatnya, pakaiannya telah terganti dengan yang bersih karena tadi terkena muntahan. "Anak mama memang hebat." Ratna mengecup dahi Najwa. "Ma, aku pengen pake kerudung ku." Ratna mengangguk dan mengambil kerudung lebar di tasnya, membuka penutup kepala sang anak dan menggantinya dengan kerudung, Ratna kembali menangis dalam diam saat melihat sebagian rambut Najwa sudah mulai rontok dan menyisakan botak di beberapa bagian. "Aku mau di botak aja ya Ma, rambutku makin sedikit di ikat juga tanggung." Hati Ratna serasa di tusuk ribuan jarum mendengarnya. ... Flashback 15 Tahun Lalu "Diam, atau mati!" "Diam, atau mati!" "Diam, atau mati!" Gavin terbangun dari tidurnya, dengan nafas terengah, jantungnya berdegup kencang, dengan badan gemetar, ingatan saat dia melihat pembunuhan di depannya, melihat orang itu sekarat akibat tusukan pisau dengan darah mengalir di seluruh tubuhnya membuat Gavin ketakutan. Bocah sebelas tahun itu mengerut ketakutan saat mendengar pintu terbuka, entah dimana dia berada dia tak mengenali kamar usang itu, ini bukan gudang tempat orang tua angkatnya mengurung bahkan menyiksanya. Gavin mendongak melihat pria pembunuh tadi malam ada di depannya "To ... tolong jangan sakiti aku Pak, aku ... tidak akan bicara apapun, pada siapapun ... ." Gavin mengatupkan tangannya di d**a, ketakutan, bocah itu bicara dengan terbata. "Diamlah, makan itu!" pria itu memberikan Gavin sebungkus roti dan air mineral. Gavin menelan ludahnya sudah tiga hari dia tidak makan, melihat roti saja dia sudah seperti melihat daging, Gavin mendongak melihat pria dewasa di depannya "Bo- lehkah aku memakannya?" tanyanya dan mendapat anggukan kepala dari pria pembunuh tersebut. Dengan cepat Gavin membuka bungkus roti tersebut dan memakannya, karena begitu lapar dia melakukannya dengan terburu- buru. "Pelan- pelan kau bisa tersedak." dan benar saja Gavin tersedak, hingga pria di depannya berdecak. "Cih, merepotkan." membuka tutup botol air dan memberikannya pada Gavin. "Setelah ini pergilah, dan ingat jangan sampai aku melihatmu lagi, jika tidak aku akan menghabisimu" Gavin menelan ludahnya kasar, lalu mengangguk. Gavin benar- benar pergi, meski tak tahu harus kemana, namun dia juga tak ingin diam di rumah pembunuh itu. Gavin melihat sekitarnya, dan terus berjalan dengan kaki yang terseret, kakinya masih sakit akibat siksaan dari orang tua angkatnya, tubuhnya juga masih terasa sakit dan perih, Gavin meneteskan air matanya dia menangis, Gavin sebatang kara, tak punya rumah atau siapapun yang melindunginya. Gavin duduk di emperan toko dia kelelahan, dan perutnya kembali lapar, satu roti yang di berikan pembunuh itu sepertinya sudah tercerna dalam perutnya, dan sekarang dia kembali kelaparan. Gavin mencoba memejamkan matanya semoga setelah tidur, laparnya segera hilang. "Hei, bangun!" "Cepat bangun!" "Apa kau mati, ayo bangun!" Gavin mengerjap dan melihat seorang pria asing di depannya. "Kau tidak tahu toko ini akan buka, pergilah kau mengotori toko ku!" Gavin melihat sekitarnya tak ada yang peduli padanya meski dia sangat kesakitan dan pemilik toko itu malah mengusirnya. ... Gavin berdiri di depan sebuah restoran kecil, menghirup aroma makanan membuatnya semakin kelaparan, Gavin menelan ludahnya saat melihat orang- orang makan dengan lahap di dalam sana "Aku kelaparan," lirihnya. Gavin menangis dengan memegang perutnya yang sakit, namun dia menoleh saat merasakan seseorang menarik kaos lusuhnya "Kakak kau menangis?" Gavin mengusap air matanya "Tidak," kilahnya. "Tapi matamu berair," ucap gadis kecil di depannya "Aku bilang tidak!" Gavin sedikit meninggikan suaranya, bocah kecil ini sedang mencibirnya. "Kata Mama, kita gak boleh berbohong, kalau berbohong kita berdosa dan akan masuk neraka." Gavin tersenyum pedih, dirinya bahkan sudah ada di neraka sekarang, hidupnya tak pernah beruntung bahkan mungkin sejak lahir. "Kenapa terus melihat restoran papaku?" Gavin menggeleng namun perutnya berbunyi, gadis kecil itu pun mendongak melihat wajah Gavin yang lusuh dan pakaian yang kotor "Kakak ingin makan?" Gavin menunduk melihat gadis kecil yang sejak tadi begitu cerewet, sudah tau dia lapar memang mau apa. Gavin berbalik, dia akan pergi saja, terus diam disana membuatnya semakin lapar, aroma makanan disana sangat mengugah selera. "Kakak akan kemana?" "Pergi." Gavin menoleh saat gadis kecil itu menahan tangannya. "Tunggu sebentar disini." Gavin melihat gadis kecil itu berlari ke dalam restoran, rambut panjangnya bergoyang mengikuti langkah cepat kakinya yang berlari, lalu tak lama gadis itu kembali dengan sebuah kotak. "Untuk kakak," katanya dengan senyuman. Gavin menatap kotak makanan di depannya. "Untukku?" gadis kecil itu mengangguk masih dengan tersenyum. "Nana." Gadis itu melihat kearah sumber suara dimana seorang pria tinggi melihatnya, tiba- tiba Gavin merasa gamang apakah orang itu akan melarangnya menerima makanan itu. Namun Gavin tertegun melihat pria itu tersenyum padanya dan mengangguk, Gavin mengulurkan tangannya dan mengambil makanan di tangan gadis itu. "Nana pergi dulu," ucap gadis kecil itu sambil melambaikan tangannya dan berlari kembali ke arah pria tinggi di dalam restoran. "Terimakasih Nana." ... Gavin menikmati makanan pemberian gadis bernama Nana tersebut, makanan ini sangat enak, atau perutnya memang sedang kelaparan Gavin rasa meskipun itu hanya sekedar nasi tanpa lauk akan tetap enak untuknya. Apalagi nasi pemberian Nana, di campur dengan sayuran dan ayam di dalamnya, Gavin sangat berterimakasih, nanti Gavin akan kembali kesana dan berterimakasih dengan benar. Setelah makan rupanya perut Gavin yang kenyang kini membuatnya mengantuk, dan lagi-lagi kebingungan melandanya dia akan tidur dimana malam ini. Malam semakin gelap, dan Gavin belum menemukan tempat untuknya tidur, Gavin melihat sekitarnya, orang- orang dengan pakaian lusuh juga mulai tertidur di emperan toko, baiklah dia juga akan tidur disana. Gavin mendekat ke sebuah emperan dimana sudah ada seorang ibu- ibu disana. "Mau apa kau kemari!" sergahnya. "Aku akan tidur." Gavin berkata dengan takut dia tak tahu ibu- ibu tersebut ternyata sangat menakutkan. "Ini tempatku, pergi cari tempat lain!" Gavin pun berbalik dan mencari tempat lain namun setiap dia mendekat dia akan di usir dan di marahi, sepertinya tidak ada tempat untuknya disana. Gavin memutuskan pergi dan menyusuri jalan untuk mencari tempat atau emperan toko yang kosong, namun langkahnya terhenti saat sebuah mobil berhenti di depannya, dengan lampu menyorot ke wajahnya. Gavin yang merasa silau hanya bisa menunduk, namun Gavin tertegun saat melihat sepasang kaki berdiri di depannya, dia hapal dan tahu siapa orang di depannya, meski hanya dengan melihat kakinya saja. Gavin akan berlari namun dia kalah cepat dengan orang itu yang sudah menarik kerahnya dan menyeretnya masuk ke dalam mobil. "Kau pikir kau bisa lari, dasar anak pembawa sial!" ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN