"Kamu kenapa si Na, senyum-senyum gitu? Nanti kerasukan," ujar Surya dengan kebingungan.
"Mas ih, orang senang kok malah didoakan kerasukan."
Suasana rumah sepi hanya mereka berdua berada di dalam rumah tersebut.
"Ya kan jaga-jaga toh, hehe."
Senyum Surya membuat hati Hasna jauh lebih berbunga-bunga. Surya hari ini berangkat ke tempat kerja pada jam sembilan pagi.
Hasna menyiapkan sarapan pagi terlebih dahulu. Suasana pagi itu tidak ada keributan bahkan perdebatan. Meskipun sarapan belum ada di atas meja, Surya mau menunggu di meja makan sembari sang istri membuatnya.
"Agra udah berangkat?" tanya Surya.
"Udah Mas, jangan diam-diam aja Mas sama dia."
"Mas nggak diam-diam, semalam Mas ke kamar dia pas baru pulang kantor. Tetapi dia malah nutupin tubuh pakai selimut. Mas tahu dia belum tidur."
Raut wajah Surya terlihat sangat kecewa. Bagaimanapun dia sangat ingin dekat dengan anak-anaknya.
"Agra masih butuh waktu Mas," balas Hasna.
Surya menghela nafas panjang, dia merasa apa yang dia lakukan tidaklah salah. Surya tidak mau anaknya terjerumus ke dalam hal-hal negatif. Banyak harapan yang ditujukan terhadap Agra.
"Ayra gimana? Dia nggak kekurangan kan di sana?"
"Enggak lah, Mas ngasih belanja bulanannya besar gitu juga."
"Mas nggak mau dia stress karena kuliah. Setidaknya, dia bisa gunakan uang itu untuk beli makanan. Besok kita ke tempat dia ya," ajak Surya.
"Boleh Mas, kapan emangnya?" balas Hasna bersemangat. Sekalian mereka menikmati liburan bersama-sama.
"Mas bakalan cari waktu yang tepat, mungkin dalam bulan ini."
Hasna mengangguk saja.
"Abian gimana? Mas liat kakinya sering lecet gitu."
"Dia sering main sepeda di lapangan Mas," jawab Hasna.
"Kalau bisa mainnya di kurangi Na, kasihan Mas liatnya."
Hasna mengangguk mengerti apa yang dikatakan sang suami. Meskipun dia tengah memasak, tetapi antara meja makan di tempat masak tidak ada sekat yang menjadi pembatas.
Surya beranjak dari duduknya, dia berjalan ke arah Hasna yang tengah sibuk memasak. Surya tidak bisa menahan hasratnya ketika melihat sang istri hanya menggunakan baju tipis tidak ada lengan dan hanya tali sebesar lidi yang membuat pakaian itu tidak merosot ke bawah.
"Mas," kaget Hasna ketika merasakan hembusan nafas pada lehernya. Keringatnya sudah mulai bercucuran, padahal masih pagi.
"Jangan Mas," ujar Hasna lagi. Dia tidak pernah melarang sang suami meminta haknya tetapi sekarang kondisi sangat berbeda.
"Aku Mau," ucap Surya dengan suara seraknya. Dia sudah sangat kalang kabut.
"Bentar lagi Mas ke kantor, na-nanti te-terlambat."
Hasna memejamkan matanya. Dia berdoa agar sang suami berhenti sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Aku libur aja, " balas Surya yang masih setia memeluk Hasna dari belakang.
Hasna mendorong Surya, namun Surya tidak mau karena dia menginginkan istrinya. Hasna sangat menyalahkan pakaiannya, seharusnya dia tidak melepas piyama kimono.
"Mas," cicit Hasna kalang kabut.
"Di rumah nggak ada orang, atau mau di kamar aja."
Sebelum Hasna menjawab, tubuhnya sudah melayang di atas. Surya menggendong sang istri menuju kamar mereka. Dia membaringkan Hasna, kemudian menciumnya dengan lembut.
Hasna jadi terlena, namun kesadaran kembali dalam sepersekian detik.
"Ma-mas ja-jangan," tolak Hasna.
"Kenapa?"
"Kalau kita berhubungan, A-aku takut anak kita kenapa-kenapa."
Surya menatap sang istri kebingungan, "Anak kita udah besar dan mereka nggak ada di rumah."
Dia sudah terpenuhi oleh hasrat yang makin memuncak.
"Bu-bukan mereka, tapi-"
Hasna menjedah sebentar, dia bingung apakah tepat memberitahu sang suami di tengah kondisi yang sekarang.
"Apa?"
"Aku hamil Mas," ujar Hasna jujur.
Surya mengangkat wajahnya dari leher sang istri, "Ka-kamu nggak usah bercanda. Mas nggak suka."
"Aku nggak bercanda Mas, aku memang hamil."
"Kalau kamu memang nggak mau berhubungan sama Mas nggak apa-apa, tapi jangan kasih alasan hamil segala."
Surya bangkit dari tubuh sang istri. Dia langsung memakai pakaiannya.
Hasna berdiri dari ranjang, dia masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil tiga buah testpack yang sudah di simpannya.
"Aku beneran ha-hamil Mas," ujar Hasna sambil menunjukan tiga buah testpack di hadapan sang suami.
"Kamu pakai KB Kan? Kenapa bisa Hamil?"
Hasna langsung terdiam, kenapa respon sang suami menjadi seperti ini.
"Kamu sengaja lepas KBnya biar bisa hamil?"tanya Suryo dengan tatapan tajam.
Hasna benar-benar bingung untuk saat ini.
"A-aku-"
Hasna mendengar suara tawa Surya yang begitu kencang.
"Kamu gila? Kenapa nggak diskusi sama aku dulu? Atau itu bukan anakku?"
Mata Hasna kiat melotot, hatinya mendadak perih tetapi tidak ada darah yang mengalir.
"Gila kamu Mas? aku hanya berhubungan sama kamu. Apa salahkan kalau aku Hamil lagi?"
Suara Hasna kian meninggi. Sebenarnya dia takut, namun ketakutan itu dengan cepat dia singkirkan. Hasna memegang perutnya dengan perasaan terluka, bagaimana jika anak di dalam rahimnya bisa mendengar ucapan ayahnya sendiri.
"Kamu nuduh aku berhubungan sama orang lain? Seharusnya aku yang bilang gitu sama kamu Mas! Semua tingkah kamu mencurigakan, ponsel kamu nggak boleh aku pegang, kenapa bisa seakan-akan kamu membalikkan fakta Mas?" lanjut Hasna lagi.
Plakkk
Tamparan keras mengenai pipi Hasna.
"Hati-hati kalau kamu bicara Hasnaa, sudah aku bilang aku nggak selingkuh!"
Air mata Hasna sudah keluar, dia tidak merasakan sakit di pipinya tetapi dia merasa sakit di dalam hatinya.
"Kamu tampar aku Mas?"
Selama ini memang Surya tidak pernah memukul bahwa menampar Hasna. Namun hari ini pertama kali laki-laki di depan nya melakukan itu.
"Gugurkan bayi itu!"
Boom, seperti bom besar yang jatuh di dalam hidup Hasna. Hatinya hancur berkeping-keping.
"Sampai matipun aku nggak akan gugurin kandungan ku, kalau kamu bersikeras juga maka sekalian kamu bunuh aku Mas! " balas Hasna penuh penekanan.
"Hasnaaa kamu buat hidup aku hancur,"teriak Surya sambil menendang apapun barang yang ada di dekatnya.
"Saat kamu bilang untuk gugurkan kandungan ini, kamu udah buat hidupku jauh lebih hancur Mas. Kamu tampar aku, kamu nuduh anak ini dari laki-laki lain. Kamu udah berubah Mas hiks. Anak ini nggak salah apa-apa, dia darah daging kamu sendiri hiks. Tega kamu bilang kayak gitu Mas hiks. A-aku nggak tahu kenapa kamu bisa kayak gini Mas, aku berharap ini cuma mimpi buruk Mas hiks..."
Hasna membalikkan badannya, dia tidak kuasa melihat suaminya sendiri. Kamar sudah berantakan. Segala harapan Hasna hanya menjadi debu yang bertebaran. Bukan ini yang Hasna inginkan, bukan penolakan atas anaknya. Bukan juga tuduhan yang menyakitkan. Kenapa hidupnya bisa hancur seperti ini?
"Akhh..." teriak Surya frustasi. Dia langsung keluar kamar dan Hasna tidak tahu kemana sang suami akan pergi.
Hasna kembali memegang perutnya yang belum membuncit. Dia menatap dengan bulir air mata mengalir.
"Maafkan Ibu Nak hiks, maafkan Ibu... Sampai kapanpun Ibu nggak akan melakukan apa yang Ayah kamu suruh. Ayah hanya syok nak, Dia bakalan nerima kamu hiks. Anak Ibu harus kuat ya di dalam sana. Hari ini karena kamu Ibu bertahan Nak, kalau bukan karena kamu Ibu mungkin akan pergi dari dunia ini hiks. Maafkan Ibu..."
*Jangan lupa tap love dan komen yaa mbak-mbak sayang hehe?*