Bab 3. Malam Pertama

994 Kata
Malam itu, di sebuah kafe yang diterangi cahaya lampu temaram, suasana terasa begitu tegang. Reza duduk dengan wajah penuh kegelisahan, matanya tidak pernah lepas dari Santi yang duduk di sebelahnya, diam tanpa sepatah kata. Santi memalingkan wajahnya, menghindari tatapan suaminya—atau lebih tepatnya, mantan suaminya. Di depan mereka, Arman duduk dengan tenang, seolah-olah situasi ini adalah hal yang biasa. Ia menyodorkan setumpuk kertas yang ternyata adalah surat perjanjian yang telah ia siapkan. “Silakan ditandatangani,” perintah Arman dengan nada rendah, tetapi tegas. "Ini apa, Pak?" tanya Reza dengan suara gugup. "Seperti yang sudah aku jelaskan padamu tadi siang, kalian akan menandatangani surat perjanjian yang menyatakan jika pernikahan antara aku dan Santi hanya akan terjadi selama satu tahun, dan setelah itu aku akan menceraikan Santi. Untuk anak yang dilahirkan Santi nanti hak asuhnya akan sepenuhnya ada padaku," jelas Arman dengan tenang. Santi masih diam, menatap kosong ke arah surat itu. Arman menyadari kebisuan Santi, tetapi ia tidak tampak peduli. Dengan senyum yang penuh arti, ia berkata, “Ini hanya sementara, Santi. Kamu nggak perlu khawatir. Setelah semuanya selesai, kamu bisa kembali menjalani hidupmu.” Santi menoleh perlahan, matanya tajam menusuk Arman. “Jangan lupa untuk memberitahu istri anda tentang apa yang kita sepakati malam ini,” katanya, suaranya bergetar, namun ada kekuatan di balik kata-katanya. Ia ingin memastikan bahwa semua ini tidak dilakukan di belakang orang lain. "Aku nggak mau di kemudian hari ia menyalahkanku karena perjanjian ini." Arman tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, tapi tatapannya tetap dingin. “Jangan khawatir, Santi. Aku akan memberitahu Lestari dengan segera. Ini semua akan berjalan sesuai rencana.” Reza hanya duduk diam, merasa dirinya semakin tenggelam dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil pena dan mulai menandatangani surat perjanjian itu, diikuti oleh Santi yang akhirnya menandatanganinya tanpa ekspresi. Setelah semuanya selesai, Arman menyimpan kertas itu ke dalam tasnya, merasa puas. Malam itu menjadi saksi betapa cinta, kepercayaan, dan harga diri dipertaruhkan demi keserakahan dan nafsu. *** Tiga bulan berlalu. Dalam kurun waktu tersebut, perceraian Santi dan Reza resmi dilakukan, baik secara agama maupun negara. Meskipun mereka telah berpisah, luka di hati Santi masih terasa begitu dalam. Setiap hari ia berusaha menguatkan diri, tetapi kenyataan bahwa ia akan menikah dengan Arman selalu menghantuinya. Pernikahan Santi dan Arman berlangsung sangat sederhana di sebuah masjid kecil yang tersembunyi dari keramaian. Tidak ada pesta besar atau tamu undangan yang meriah. Hanya imam masjid, beberapa saksi, dan perasaan getir di hati Santi yang hadir dalam pernikahan itu. Meski Arman tampak bahagia, Santi hanya bisa menunduk, mengabaikan segala emosi yang berputar dalam hatinya. Ia tahu, ini bukan pernikahan yang diimpikannya. Ia tidak pernah menginginkan semua ini, tapi takdir dan situasi telah membawanya ke sini. Malam itu, setelah resmi menjadi suami istri, Arman langsung membawa Santi ke villa pribadinya yang berada di puncak. Villa itu tersembunyi dari pandangan umum, jauh dari kehidupan kota, dan terletak di antara pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Arman sudah lama mempersiapkan tempat ini untuk menjadi tempat persembunyian mereka, tempat di mana Santi tidak bisa lari dari takdir yang sudah ia ciptakan untuknya. Ketika mereka tiba, suasana di villa tersebut begitu sepi dan sunyi. Hanya suara angin yang berdesir pelan melalui pepohonan, menciptakan suasana yang hampir menakutkan. Santi melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Matanya memandang villa besar itu dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Villa tersebut begitu mewah, tetapi dingin, seperti sebuah penjara yang tidak terlihat. “Ini rumah kita sekarang, Santi,” ujar Arman sambil tersenyum. “Kita bisa hidup dengan tenang di sini. Nggak ada yang akan mengganggu kita.” Santi hanya mengangguk pelan, hatinya terasa kosong. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa ia kendalikan. Meskipun Arman berusaha bersikap baik padanya, Santi tahu bahwa ia berada di sini bukan atas keinginannya sendiri. Di balik senyum Arman, ada kekuatan yang memaksa dan mengikat Santi dalam perjanjian yang sulit ia tolak. Malam pertama di villa itu, Santi duduk di tepi ranjang besar di kamar utama. Ia merasa asing dengan semua kemewahan ini. Ia tidak bisa tidur, pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang telah terjadi dalam hidupnya beberapa bulan terakhir. Dari seorang istri yang setia kepada Reza, hingga kini menjadi istri Arman dengan situasi yang serba salah. Arman masuk ke kamar dengan langkah santai. Ia mendekati Santi dan duduk di sampingnya. "Kamu tidak perlu khawatir tentang apa pun lagi, Santi. Sekarang kamu adalah istri sahku. Kamu hanya perlu memberikan aku seorang anak, dan setelah itu, kamu bisa hidup dengan tenang. Aku akan memastikan kamu mendapatkan semua yang kamu butuhkan." Santi tidak menjawab, hanya menatap kosong ke depan. Perasaannya hampa, seolah-olah semua harapan dan impian yang pernah ia miliki telah hilang. Ia tahu, meskipun Arman berjanji bahwa semua ini hanya sementara, kenyataannya ia terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Arman tersenyum puas, memeluk Santi dari belakang.“Aku suka aroma tubuhmu, Santi." Arman mulai mencium leher Santi dengan lembut. Santi menggeser tubuhnya sedikit menjauhi Arman. "Maaf … Pak, apa anda sudah menceritakan pernikahan kita kepada Ibu Lestari." "Jangan panggil aku, Pak. Mulai hari ini biasakan untuk memanggilku dengan panggilan Mas, karena mulai hari ini aku adalah suamimu." Arman memegang tangan Santi dengan lembut. "Dan soal Lestari, aku akan segera memberitahunya. Jadi kamu nggak perlu memikirkan hal itu." Arman melanjutkan ucapannya sambil memegang kedua pundak Santi dari belakang. "Yang terpenting saat ini kita nikmati malam pengantin kita saja, Santi." Arman langsung mencium leher Santi dengan penuh gairah. Santi segera menghindari ciuman Arman, ia segera berdiri dari tempat duduknya dan berjalan beberapa langkah menjauhi Arman. Santi berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Ada sesuatu di hatinya yang belum siap menerima kedekatan Arman seutuhnya, meskipun mereka kini terikat dalam pernikahan. "Maaf Pak," Santi mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara, suaranya bergetar lembut. "Aku... aku butuh waktu. Semua ini terjadi begitu cepat. Aku belum bisa merasa nyaman dengan semua perubahan ini." "Kamu nggak bisa nolak, Santi. Ingat! Sekarang kamu istri aku! Layani aku sekarang!" Perintah Arman dengan penuh penekanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN