Bab 4. Panggilan Rahasia

984 Kata
Tangan Arman meraih lembut tangan Santi menciptakan getaran yang tak terduga di antara mereka. Sentuhan hangatnya membuat Santi bergetar, dan ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Mas, Aku …." Belum sempat Santi menyelesaikan ucapannya, Arman segera melahap bibir Santi . Udara ruangan yang dingin membuat keduanya terbawa dalam suasana yang begitu intim. Entah bagaimana kini keduanya saling memagut bibir satu sama lain. Arman menarik Santi dan membaringkannya ke atas tempat tidur, dan menindihnya. Keduanya kembali saling memadukan bibir secara bergantian. Seolah bisa melahap satu sama lain. Ciuman Arman semakin dalam, semakin nakal, semakin liar. Bibir Arman yang bersemayam di bibir Santi, memakan waktu lumayan lama. Namun, tidak bisa membuat Arman puas. Justru ia semakin merasa lapar. Arman menggeser bibirnya hingga turun ke leher Santi. Menjelajah ke sekitar area di tulang selangka dan sedikit memberikan bekas gigitan pada leher Santi.. Santi refleks membuat desahan-desahan kecil yang semakin memicu birahi Arman Keduanya sadar betul jika mereka ada di ujung. Namun, siapa yang bisa menahannya? Arman dan Santi saling terlarut dalam campur aduk emosi hasrat yang tak terbelenggu. Membuat keduanya semakin jatuh. Benar-benar sangat memabukkan. Arman lalu menaikkan kaki Santi untuk berada di atas tempat tidur. Antara mau dan tidak mau, Santi masih menuruti pergerakan Arman. Bibir mereka masih terus menyatu dan saling memainkan lidah masing-masing. Membuat Santi sendiri kesulitan untuk mengelak. Arman berada tepat di atasnya dengan masih mengunci kedua tangan Santi. Mereka semakin memasuki fase yang lebih tinggi. Perlahan, Arman mulai membuka baju Santi dengan masih mencumbu bibirnya. Santi hanya menuruti apa yang dilakukan suaminya tersebut. Saat ini, yang mengontrol mereka adalah hormon seksual yang terus meningkat. Baju mereka berserakan di sekitar tempat tidur. Aktivitas di atas ranjang cukup memakan waktu. Entah berapa lama waktu yang akan mereka habiskan. Namun, mereka saling menikmatinya. Rintihan Santi mulai terdengar lebih kencang. Arman mempercepat gerakannya dan Santi semakin mengerang tidak terkontrol. Tidak membutuhkan waktu lama, hingga klimaks dari akhir kegiatan ranjang itu selesai dan mencapai titik kepuasan. Malam itu berlalu begitu cepat, dan saat keduanya terbangun, suasana hati mereka berbeda. Santi masih terjebak dalam euforia, mengingat setiap detik dari keintiman mereka, sementara Arman tampak merenung. Dia tersenyum padanya. *** "Cepat rapikan dirimu, Aku akan menunggumu di meja makan," ucap Arman yang berdiri di dekat jendela besar, ia terus memperhatikan suasana luar yang terasa begitu tenang. Sementara itu, Santi yang masih duduk di atas ranjang segera meraih selimutnya dan menutupi tubuhnya dengan rapat. Ia membenamkan wajahnya di antara kedua kakinya. Arman menoleh ke arah Santi sesaat, sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan kamar mereka. Santi perlahan menuruni anak tangga dengan gaun santai dan riasan minimal, langkahnya terdengar pelan di sepanjang koridor menuju ruang makan. Di sana, Arman sudah duduk, sibuk dengan sarapannya. Ia tidak langsung menatap Santi, dengan suara datar memintanya untuk duduk dan ikut makan. "Cepat duduk dan makan makananmu." Tanpa berbicara, Santi menuruti perintahnya. Udara pagi di villa itu terasa begitu sunyi, tidak ada suara selain gesekan sendok dan garpu di atas piring. Sarapan mereka terasa hambar, tidak ada kehangatan, tidak ada obrolan ringan seperti yang lazim dilakukan pasangan suami istri. Arman menikmati makanannya tanpa sedikitpun memberi isyarat akan memulai percakapan. Santi hanya sesekali mencuri pandang, mencoba membaca apa yang mungkin tersirat di balik sikap Arman yang dingin. "Apa nggak bisa dia bersikap lebih ramah sedikit," batinnya. Tapi setiap kali ia menatapnya, Arman seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri, jauh dari kehadiran Santi di depannya. Setelah beberapa lama, Arman tiba-tiba memecah kesunyian. "Ingat, Santi," katanya, tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depannya, "nggak ada orang yang boleh tahu siapa kamu. Jangan pernah bicarakan hubungan kita dengan siapa pun, termasuk Bi Ijah, asisten rumah tangga di villa." Santi menelan ludah, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Ia menghirup napas dalam sebelum menjawab, "Bagaimana dengan Lestari?" suaranya pelan tapi tegas. "Apa dia juga nggak boleh tahu?" Arman tersenyum tipis, tapi tidak menoleh. "Jangan khawatirkan itu. Aku yang akan mengurus Lestari," jawabnya singkat, seolah-olah masalah itu tidak lebih penting dari perintahnya yang lain. Santi terdiam lagi, perlahan ia mulai memasukan makanan ke dalam mulutnya. Ia tahu, apapun yang terjadi di antara mereka, Arman selalu memegang kendali. Dan dalam perjalanannya, ia hanya bisa menunggu dan mengikuti arus yang Arman tentukan. Saat mereka baru saja menyelesaikan sarapannya, Arman menatap Santi dengan lebih serius dari biasanya. "Santi," katanya dengan nada yang lebih dalam, "mulai sekarang, kamu adalah milikku sepenuhnya. Nggak ada lagi hubungan dengan masa lalumu. Lupakan Reza, lupakan kehidupan lamamu. Aku yang akan menjamin semuanya untukmu." Santi menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang berbaur dalam dirinya. Ia ingin berteriak, ingin menolak semua ini, tapi ia tahu bahwa melawan tidak akan ada gunanya. Arman memegang kendali penuh atas hidupnya sekarang, dan ia harus mencari cara untuk bertahan di dalam situasi ini. "Tapi, bukankah hubungan ini hanya …." Belum selesai Santi menjawab tiba-tiba ponsel Arman berbunyi. Arman segera mengangkat teleponnya dengan cepat, tanpa sedikitpun menatap Santi. "Ya, aku sedang di luar," jawab Arman singkat di telepon, suaranya terdengar kaku. "Aku akan segera pulang." Santi hanya bisa mendengar satu sisi percakapan, tapi dari nada bicara Arman, ia tahu bahwa ada sesuatu yang penting. Telepon itu berlangsung tidak lebih dari beberapa detik, namun raut wajah Arman berubah setelahnya. Ia mengakhiri panggilan, meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menatap Santi dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku harus segera pergi," ucap Arman tiba-tiba, meninggalkan meja makan. Santi terkejut, tapi ia tahu tidak ada gunanya bertanya. Ia mengikuti Arman dengan langkah cepat, berjalan keluar rumah. Arman tampak gelisah, berbeda dengan ketenangan yang selalu ia tunjukkan sebelumnya. “Ada masalah?” tanya Santi, berusaha membaca situasi. Arman tidak langsung menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah sedang berpikir keras. “Kamu nggak perlu tahu sekarang," jawabnya akhirnya, dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. Santi tidak menyangka jawaban itu, tapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Arman sudah berjalan ke arah mobilnya. Beberapa saat terdengar suara mesin mobil dan perlahan mulai meninggalkan halaman villa membawa mereka Arman keluar dari Villa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN