Keesokan paginya, suasana di rumah Reza dan Santi dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Matahari baru saja muncul, menerangi dapur sederhana mereka, tempat Santi sibuk mempersiapkan sarapan. Reza yang sudah siap untuk berangkat ke kantor tampak cemas. Meski masih merasa bersalah, ia tahu bahwa situasi keuangan mereka semakin mendesak. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati istrinya yang terlihat enggan untuk berinteraksi dengannya.
"Santi, kita harus bicara lagi soal semalam," kata Reza, suaranya sedikit bergetar, namun tetap penuh tekad. "Kamu harus paham, ini demi kebaikan kita berdua."
Santi yang sedang memotong sayuran tidak memberikan reaksi apa pun. Ia pura-pura tidak mendengar ucapan suaminya dan terus melanjutkan pekerjaannya di dapur. Tapi Reza tidak menyerah. Ia tetap berdiri di belakang Santi, mencoba meyakinkannya.
"Ini cuma sementara, Santi. Kita nggak akan hidup seperti ini selamanya. Tawaran Arman bisa menyelesaikan semua masalah kita. Tak ada seorang pun yang akan tahu. Kita akan tetap bersama setelah semua ini selesai," kata Reza dengan suara lirih, seolah mencoba menenangkan diri sekaligus istrinya.
Santi berhenti memotong sayuran, pegangannya pada pisau menguat sejenak, lalu perlahan ia meletakkannya di meja. Ia berbalik, menatap Reza dengan mata yang penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kamu sudah kehilangan akal, Mas," katanya dengan suara bergetar, penuh emosi. "Bagaimana mungkin seorang suami justru tega menjual istrinya sendiri demi uang dan kemewahan?"
Reza terdiam sejenak, wajahnya berubah pucat. Ia tak bisa membantah pernyataan istrinya, namun pikirannya terus berputar mencari jalan keluar. "Ini hanya sementara, Santi," katanya akhirnya, meskipun suaranya kini terdengar lebih lemah. "Setelah Arman mendapatkan anak, kita bisa kembali seperti dulu. Tapi kali ini, kita akan hidup dengan kemewahan, dengan kehidupan yang berbeda dari sekarang."
Santi menghela napas panjang, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Berbeda?" ia mengejek. "Bagaimana mungkin aku bisa menikmati kemewahan yang didapat dari menjual harga diriku? Kamu ingin aku hidup dengan rasa hina dan malu sepanjang hidupku? Mas, ini bukan tentang uang. Ini tentang kehormatan dan pernikahan kita."
"Tapi semua ini demi masa depan kita, Santi." Reza memegang tangan Santi dengan erat.
"Masa depan kita?" ucap Santi sambil melipat tangannya. "Bukan masa depan kita, Mas, tapu demi ambisimu untuk mendapatkan kemewahan." Santi menatap Reza dengan sinis.
Reza membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi kata-katanya terhenti ketika Santi, dengan nada yang penuh penekanan, setengah berteriak, "Aku bukan barang yang bisa kamu perjualbelikan sesuka hati! Aku bukan milikmu untuk dijadikan alat tukar dengan uang, Mas!"
"Bukan begitu, Santi … aku hanya …."
Dengan marah, Santi meninggalkan dapur, meninggalkan Reza yang terdiam dan tertegun. Di saat Reza mencoba memikirkan jawabannya, suara ketukan keras di pintu depan mengagetkannya.
Pintu bergetar seiring dengan suara teriakan dari luar. "Reza! Santi!" teriak Marni, pemilik rumah kontrakan mereka, dengan nada marah.
Reza segera bergegas menuju pintu, membuka sedikit celah untuk melihat Marni yang sudah berdiri dengan tangan bersilang di d**a. "Mana uang sewanya? Kalian sudah menunggak empat bulan!" desak Marni dengan nada tinggi.
Reza mencoba menenangkannya, berusaha mengendalikan situasi yang semakin panas. "Bu Marni, tolong beri kami waktu satu minggu lagi. Kami akan segera bayar. Saya janji," pintanya dengan nada memohon.
Marni tidak mau mendengar alasan Reza. "Janji? Ini bukan pertama kalinya kamu janji, Reza. Kalau minggu depan belum juga bayar, kalian harus keluar dari sini!" Marni akhirnya setuju setelah perdebatan panjang, tapi jelas terlihat bahwa ia sudah sangat kesal. Sambil menggerutu, ia berbalik dan pergi.
Setelah Marni pergi, Reza menutup pintu dengan pelan. Pandangannya tertuju ke arah Santi yang berdiri di ruang tengah, tak jauh dari pintu. Matanya dipenuhi kekecewaan dan kepedihan. Reza mendekatinya perlahan, berusaha menahan rasa malu dan frustasi yang melanda hatinya.
"Santi, kita sudah tidak punya pilihan lagi," kata Reza dengan suara lirih, seolah-olah berusaha menyadarkan dirinya sendiri lebih dari menyadarkan istrinya. "Ini baru soal rumah kontrakan. Sebentar lagi debt collector akan datang menagih cicilan motor yang sudah menunggak lima bulan. Apa kamu pikir kita bisa terus begini?"
Santi hanya menatap Reza dengan tatapan tajam, penuh kebencian dan penolakan. Ia tidak menjawab, hanya memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh dari Reza, menuju kamar. Pintu kamar tertutup pelan, tetapi bagi Reza, suara itu terdengar seperti palu yang menghantam hatinya.
Di dalam kamar, Santi duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sambil menangis pelan. Ia merasa terjebak dalam mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suaminya, pria yang ia cintai dan percayai, kini seolah-olah menjadi orang lain. Bagaimana mungkin Reza bisa tega memintanya melakukan sesuatu yang begitu rendah, hanya demi uang? Santi merasa pernikahannya sudah tidak ada artinya lagi jika suaminya lebih menghargai uang daripada dirinya.
Di ruang tengah, Reza berdiri mematung. Pikirannya berkecamuk, antara rasa bersalah dan dorongan untuk menyelamatkan kondisi keuangan mereka. Di satu sisi, ia tahu bahwa apa yang ia minta dari Santi adalah salah. Sangat salah. Namun, di sisi lain, bayangan akan kemewahan dan kehidupan yang lebih baik terus menghantui pikirannya. Satu miliar bukanlah jumlah yang kecil, dan Reza tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana uang itu bisa mengubah hidup mereka.
***
Di kantor, Arman duduk dengan penuh percaya diri di ruangannya yang mewah. Ia tahu Reza akan kembali. Pria itu mungkin ragu-ragu, tapi pada akhirnya, Arman yakin bahwa Reza akan menyerah pada godaan uang. Tawaran Arman terlalu besar untuk ditolak oleh siapa pun yang sedang menghadapi krisis keuangan seperti Reza.
"Aku yakin Reza dan Santi tidak akan bisa menolak tawaranku," ucap Arman dengan senyum penuh percaya diri.
Beberapa jam kemudian, benar saja, Reza datang dengan wajah kusut. Ia duduk di depan meja Arman tanpa banyak bicara. Arman menatap Reza dengan senyum kemenangan yang samar. "Jadi, bagaimana?" tanya Arman dengan nada santai, seolah-olah sedang membicarakan bisnis biasa.
Sesaat Reza terdiam dan menunduk di hadapan Arman. Ia terlihat bingung dengan jawaban yang akan ia berikan.
"Reza, aku bertanya padamu." Arman membentak Reza hingga membuatnya terkejut. "Bagaimana, apa semua berjalan sesuai rencana?" tanya Arman dengan tenang dan bersandar di kursinya.
"Kami menerima tawaran yang anda berikan, Pak." Suara Reza bergetar saat mengucapkannya.
Senyum kemenangan seketika terlihat di wajah Arman. Impiannya untuk mendapatkan seorang anak kini akan segera terwujud.
"Bagus, Reza. Pilihan yang tepat, aku akan mempersiapkan semuanya malam ini," ucap Arman dengan penuh semangat. "Malam ini temui aku di cafe semalam, ada beberapa dokumen yang harus kamu dan Santi tanda tangani." Pesan Arman sebelum Reza meninggalkan ruangannya.
"Baik, Pak. Kami akan ke sana malam ini," ucap Reza sambil mengangguk. Setelah itu dengan langkah berat Reza segera meninggalkan ruangan Arman. Ia tahu jika keputusannya ini akan merubah hidupnya.