Bagas tengah duduk di sofa sembari membaca komik One Piece ketika Alana turun dan berjalan melewati dirinya.
"Heh, aku lapar," ujar lelaki itu.
Langkah Alana sempat terhenti lalu meliriknya sinis. "Lalu? Masak saja sendiri."
"Aku tidak bisa memasak. Buatkan sesuatu untuk makan malam."
"Kau menyuruhku?" Alana memutar tubuhnya hingga menghadap Bagas sepenuhnya.
"Lalu? Aku sama sekali tidak bisa memasak. Ayolah, perutku benar-benar seperti aula konser. Aku bisa mati kelaparan."
"Kalau begitu mati saja sana!" balas Alana.
"Heh! Kau ingin aku laporkan pada ayahku?!"
Alana hampir saja memukul wajah menyebalkan itu. "Baik, baik. Dasar tukang ngadu!" cibirnya. "Di mana dapurnya?"
"Di sana." Bagas menunjuk ke salah satu arah.
Alana mendengkus pelan lalu berjalan ke sana. Ia membuka lemari es dan menemukan banyak bahan makanan. Melihat itu, perutnya jadi sedikit berbunyi. Oh, sepertinya ia juga mulai merasa lapar. Ia mengambil dua bungkus spageti instan dan segera memasaknya.
"Wah, baunya harum sekali. Aku jadi semakin lapar." Bagas berjalan mendekati Alana dan mengintip apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. Siapa sangka, rupanya Alana cukup lihai menggunakan peralatan memasak.
"Jangan menggangguku." Alana melirik Bagas dengan kedua sudut matanya.
"Aku tidak mengganggumu." Bagas mencebikkan bibir dan memilih duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan.
"Aku hanya membuat spageti." Alana meletakkan dua piring spageti ke atas meja.
"Tidak masalah, asalkan perutku bisa terisi." Bagas mengambil sebuah garpu lalu memakannya dengan lahap.
Gadis itu menatapnya dengan penuh cibiran. "Setelah ini kau jangan pernah menyuruhku lagi. Aku di sini bukan untuk jadi pembantumu,"ujarnya.
"Diam dan makanlah. Astaga, kau benar-benar cerewet."
Alana yang baru saja hendak memasukkan spageti ke dalam mulutnya langsung terdiam dan beralih menatap Bagas. Dengan cepat ia merebut piring milik lelaki itu.
"Apa yang kau lakukan?! Aku sedang makan!" Bagas memprotes.
"Masak saja sendiri! Dasar tidak tahu berterima kasih. Sudah untung aku mau memasak ini untukmu!"
Bagas mengunyah makanan di dalam mulutnya dan menelannya hingga tak bersisa. "Heh, dengar. Kau lupa kalau orang tuaku juga menitipkanku padamu? Ibumu juga berkata kalau kau harus bersikap baik padaku. Bukankah begitu? Jadi kau harus mau memasak! Dasar bodoh."
"Tapi tidak dengan menjadikanku pembantumu! Dan berhenti menyebutku bodoh!! Kau lebih bodoh dariku! Aku bahkan yakin kalau nilaimu banyak yang merah," cibir Alana.
"A-apa kau bilang? Diam kau pendek! Sekarang cepat kembalikan makananku!!"
"Kau juga pendek!! Dasar albino!!" balas Alana.
"Kau lebih pendek dariku, bodoh!!"
"Berhenti menyebutku bodoh, makhluk aneh!!" Urat leher milik Alana bermunculan seiring dengan meningkat volume suaranya.
"Cerewet!! Berikan makananku!" Bagas mengebrak meja hingga menimbulkan bunyi nyaring.
"Aku yang memasaknya, dasar kau tidak tahu diri!! Jadi ini milikku!" Gebrakan itu lalu dibalas oleh Alana tak kalah nyaring.
"Apa kau bilang? Yakkkk!!!
"Diammm!!!"
Seperti inilah kira-kira kehidupan pertama mereka sebagai housemate. Suasana di rumah itu mendadak ricuh. Keduanya tidak ada yang mau mengalah dan terus membentak satu sama lain. Kedua mata mereka seakan-akan mengeluarkan laser yang bisa membunuh lawannya seperti di film-film.
Terlihat sangat akur.
***
Getaran ponsel yang berada di atas nakas membuat si pemilik kamar terlempar dari mimpi indahnya. Salah satu tangannya muncul dari balik selimut dan bergerak ke atas permukaan nakas untuk mencari benda yang kini masih berisik itu.
"Aish.. siapa yang meneleponku sepagi ini?" lirihnya.
Kedua matanya seketika membulat begitu melihat kontak ibunya tertera di sana.
"Ibu!!" Ia langsung bangkit dan mendudukkan tubuhnya dengan tegak.
"Bagaimana tidurmu, Alana?" Suara khas ibunya terdengar di seberang sana, membuat Alana ingin menangis.
"Ibu~ aku ingin pulang," rengek gadis itu tanpa menjawab pertanyaan ibunya.
"Apa yang kau bicarakan?"
"Kumohon. Aku tidak bisa berlama-lama di sini bersama Bagas Elvano. Dia berandalan! Ibu tidak tahu apa-apa tentangnya. Dia benar-benar murid bermasalah di sekolah."
"Setidaknya itu lebih baik daripada kau sendiri di rumah. Aku akan lebih khawatir jika seperti itu."
"Sudah kubilang kalau aku akan menyuruh Julian."
"Tidak! Ibu tidak akan membiarkan kalian berdua di rumah!"
"Lalu apa bedanya dengan berandalan itu? Itu sama saja dengan Ibu mengumpankanku pada singa lapar. Ayolah, bahkan Julian lebih baik dari Bagas. Bukankah Ibu juga mengenalnya dengan baik?"
"Alana, Bagas tidak akan macam-macam padamu. Anak itu anak yang baik. Dan berhentilah membahas Julian karena sekarang dia sudah tidak lagi di Indonesia! Kau hanya akan merepotkannya."
"Tapi-"
"Satu lagi. Jangan berpikiran untuk kabur dari sana. Semua kunci cadangan sudah Ibu bawa, termasuk kunci cadangan yang ada padamu. Jangan kabur dari rumah Bagas dan jangan berani-berani menginap di rumah Mita atau teman-temanmu yang lain atau aku akan benar-benar marah padamu!"
"A-apa? Astaga, kenapa Ibu tega sekali melakukan ini padaku?!" Suara Alana meninggi.
"Ibu akan menutup teleponnya. Kalian harus akur satu sama lain. Semoga harimu menyenangkan."
"Apa? Halo? Bu? Halo?" Alana menatap layar ponselnya. Gadis itu berteriak frustrasi dan membanting ponselnya ke atas ranjang.
"Siapa yang kau maksud berandalan?"
Alana tersentak. Suara siapa itu? Ah, tidak. Tidak ada orang lain lagi di rumah itu selain ...
Bagas Elvano.
Pria itu tengah bersandar di ambang pintu sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia terlihat sudah rapi dengan balutan seragam.
"Apa kau tidak bisa mengetuk pintunya lebih dulu?! Kau hampir saja membuatku terkena serangan jantung, bodoh!! Bagaimana jika aku sedang telanjang saat kau masuk?!" semprot Alana.
"Jangan mengajakku bertengkar. Ini masih pagi dan lebih baik kau mandi. Apa kau mau terlambat ke sekolah?"
"Kalau begitu berangkat saja lebih dulu! Aku tidak peduli!"
"Aku ingin sarapan. Buatkan aku sesuatu."
Alana memelotot dan mengepalkan kedua tangannya. "Sudah kubilang jangan menyuruhku! Kalau kau lapar, masak saja apa yang kau bisa!"
"Aishh ... kau benar-benar berisik. Buatkan saja, aku tidak mau tahu," ucap Bagas dan segera pergi dari sana. Tepat ketika pintu ditutup, sebuah bantal melayang ke arahnya namun tubuh Bagas sudah menghilang.
Alana kembali berteriak, membuat pria yang kini tengah berjalan menuruni tangga itu pun menyeringai puas begitu mendengar lengkingan dari kamar Alana.
***
Alana meletakkan dua buah roti isi di atas piring, lalu disusul dengan dua gelas s**u.
Bagas segera mengambil satu sandwich dan langsung memakannya. Ia terkejut saat roti isi buatan Alana terasa enak di lidahnya.
"Ini enak. Aku bahkan sempat berpikir kalau kau tidak bisa memasak," ujar Bagas.
"Diam dan makanlah makananmu." Alana menjawabnya dengan ketus tanpa berminat menatap sosok di depannya.
Selama kurang lebih sepuluh menit, keduanya selesai. Mereka bergegas pergi ke sebuah halte yang berada tidak jauh dari rumah milik keluarga Min. Tak ada percakapan berarti di antara mereka, karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Yakk, kau mau naik bus?" tanya Alana saat mereka sampai di halte.
"Hm. Ayah masih menyita motorku. Dia bahkan membawa kunci garasinya. Aish ... " Bagas mendengkus pelan. Ayahnya memang sangat ahli dalam hal menghukum.
"Mungkin dia berpikir kalau kau akan kabur dari rumah," cibir Alana.
"Bukankah ibumu juga melakukan hal yang sama? Dia juga membawa kunci rumahmu, kan? Dia pasti juga berpikir kalau kau akan kabur." Bagas menaikkan salah satu sudut bibirnya, membuat Alana mengeraskan rahang.
Gadis di sebelahnya menatapnya kesal. "Kabur? Cih, yang benar aja."
"Oh, jadi kau memang menantikan satu rumah denganku ya?" goda Bagas. Alana menyikut perut Bagas hingga pria itu berteriak, membuat orang-orang yang ada di sana seketika menatap ke arahnya.
"Jangan mengatakan hal yang menjijikan seperti itu karena aku sudah awal tidak pernah terpikir kalau anak teman ibuku itu adalah kau!" Alana lalu melangkah memasuki bus mendahului Bagas bersama dengan orang-orang lain.
Bagas menatap punggung Alana dengan kesal. Ia berlari menyerobot antrean orang-orang dan langsung mendorong Alana saat gadis itu hampir duduk di salah satu kursi yang kosong. Dan dengan tidak tahu dirinya, Bagas mengambil alih tempat itu, membuat Alana yang hampir saja tersungkur menatapnya tak percaya. Gadis itu tidak tinggal diam.
Bahkan saat bus sudah melaju, drama perebutan kursi itu masih berlanjut.
- TBC