“Sudah kuduga, kalian sudah saling mengenal, bukan? Baguslah kalau begitu. Kami tidak perlu khawatir lagi,” ucap Maria.
Kenapa harus Bagas, sih? Aku harus tinggal satu rumah dengannya? Dengan berandalan ini? Tidakkk!
“Baiklah, sepertinya kita harus bergegas.” David melirik arloji di pergelangan tangan kiri, lalu mengajak istrinya beserta Kirana agar bergegas sebelum ketinggalan pesawat.
“Alana sayang, baik-baik, ya, di sini. Bagas akan menjagamu.” Kirana menepuk lembut pundak putrinya.
“Tante menitipkan Bagas padamu,” susul Maria.
Alana hanya menjawab dengan sebuah senyum simpul. Membayangkan saja gadis itu tidak mampu, apalagi benar-benar menjalaninya. Baginya, lima hari ke depan akan menjadi mimpi terburuk sepanjang hidupnya.
“Dan kau.” David mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Bagas. “Jangan buat masalah. Jangan macam-macam padanya atau Ayah akan membunuhmu!”
“Ck! Baiklah,” ucap Bagas pasrah. Dia membuang napas kasar.
Jika kalian tidak ingin aku berbuat macam-macam, kenapa membiarkanku satu rumah dengannya? Benar-benar merepotkan!
Setibanya di depan rumah, mereka segera menaiki mobil dan pergi.
Alana melirik Bagas dengan pandangan tidak suka. Aku bahkan tidak yakin kalau berandalan ini akan menjagaku. Ibu, tolong aku, rengeknya dalam hati. Kemudian, gadis itu menatap nanar mobil yang membawa pergi Ibunya. Sekarang hanya tinggal dia dan Bagas yang berada di rumah.
“Akan kuantar menuju kamarmu." Pemuda itu berbalik dan berjalan ke dalam rumah.
Meski malas, Alana segera menyusul. Sambil mengangkat koper, Alana menaiki tangga dan berjalan menghampiri sebuah ruangan. Tidak ada inisiatif sama sekali dari Bagas untuk membantu membawakan koper bawaan gadis itu.
“Ck, benar-benar sial satu rumah denganmu,” gumam Bagas saat Alana hendak masuk kamar.
Langkah Alana berhenti. Ia berbalik dan menatap Bagas sengit. “Apa? Kau pikir siapa yang mau satu rumah dengan berandalan sepertimu? Membayangkannya saja aku tidak mau.” Alana langsung membuang muka, masam.
“Berandalan? Siapa yang kau maksud berandalan?!” Meski sering mendengar kata itu dari ayahnya, Bagas tetap merasa tersinggung.
“Siapa lagi? Tentu saja kau! Dasar albino!”
Kedua mata pemuda itu membulat. “A-albino? Berani sekali kau!”
“Kenapa? Bukankah itu cocok denganmu? Albino,” ledek Alana lagi.
Bagas berdecak. “Gadis menyebalkan! Lihat, rambut dan alisku warnanya tidak putih!”
“Diam kau pendek! Kulitmu putih pucat seperti albino!”
“Woi! Kau lebih pendek dariku! Dasar bodoh!” Emosi Bagas naik meladeni Alana.
“Makhluk aneh!” Dengan cepat Alana masuk kamar dan segera menutupnya dengan kasar.
“Woi!” teriak Bagas. Rahangnya mengerat karena kesal.
Ia menatap pintu kamar dengan tatapan beringas. Ini bahkan belum satu hari. Apa jadinya selama lima hari? Mungkin Bagas akan terkena hipertensi jika terus bersama dengan gadis itu.
***
Bagas tengah duduk di sofa sembari membaca komik One Piece favoritnya. Sudut matanya menangkap sosok Alana turun dari atas, lalu melewati sofa.
“Hei, aku lapar,” ucap Bagas seraya memegang perut.
Gadis itu berhenti. Ia menoleh ke sekitar. Ia baru sadar jika pemuda itu berbicara padanya. “Kalau begitu masak saja.”
“Aku tidak bisa memasak. Buatkan sesuatu untukku,” sahut Bagas tanpa melirik gadis itu.
“Kau menyuruhku?” Kedua lengan Alana bersedekap di depan d**a.
“Siapa lagi? Aku sama sekali tidak bisa memasak. Ayolah, perutku benar-benar seperti aula konser.”
Alana memutar bola matanya ke atas. “Ck, baiklah. Kau benar-benar merepotkan. Di mana dapurnya?”
“Di sana,” tunjuk lawan bicaranya ke sebuah ruangan. “Bukankah kau tadi akan ke sana?”
Meski malas, kaki Alana tetap melangkah ke dapur. Ia membuka salah satu pintu lemari es empat pintu dan menemukan aneka sayur-mayur di sana. Kemudian, gadis itu membuka pintu satunya. Kali ini ada potongan-potongan daging ayam dan sapi yang terbalut plastik wrap, semuanya tertata begitu rapi. Melihat itu, perut Alana jadi sedikit berbunyi. Ia mengambil dua bungkus spageti instan yang menjadi pusat perhatiannya sejak tadi, lalu segera merebusnya.
“Wah, baunya enak sekali. Aku jadi semakin lapar,” goda Bagas sambil mendekati Alana yang sedang mengaduk spageti dengan lihai.
“Jangan mengganggu,” ujar Alana.
Bagas menyambut dengan decakan. “Kapan aku mengganggumu?” Ia menarik kursi dari bawah meja makan, lalu duduk dengan tenang, memperhatikan.
“Aku hanya memasak spageti,” kata Alana. Ia meletakkan satu piring mi khas Itali yang telah siap ke hadapan Bagas.
“Tidak masalah, asal perutku terisi.”
Gadis itu menatapnya sebal. “Jangan menyuruhku lagi. Aku di sini bukan untuk menjadi pembantu!”
“Diam dan makanlah. Kau benar-benar cerewet.”
Tidak terima, gadis itu langsung merebut piring milik Bagas. Baru saja pemuda itu hendak menyuapkan satu gulungan penuh ke dalam mulut.
“Apa yang kau lakukan?!” protes Bagas. Siapa yang tidak marah jika berada dalam posisinya.
“Masak saja sendiri! Dasar tidak tahu berterima kasih. Sudah untung aku mau memasak untukmu.”
“Apa?! Hei, orang tuaku menitipkanku padamu. Itu artinya kau juga harus merawatku, setidaknya dengan memasak untukku. Dasar bodoh.” Bagas langsung sewot.
Keduanya dikuasai emosi. Tidak bisa barang sebentar saja akur. Sama-sama tidak ada yang mau mengalah.
“Tapi tidak dengan menjadikanku pembantu! Dan berhenti menyebutku bodoh! Kau lebih bodoh dariku, tau!” ketus Alana.
“Apa?! Diam kau pendek! Berikan makananku sekarang!” Bagas meraih piring yang tadi diambil Alana, tetapi gadis itu segera menariknya kembali.
“Kau juga pendek! Dasar albino!”
“Kau lebih pendek dariku, Bodoh!”
“Kubilang, berhenti memanggilku bodoh, Makhluk Aneh!”
“Cerewet! Berikan makananku!”
Bibir Alana membentuk senyum tak simetris. “Aku yang memasaknya. Jadi ini milikku!”
“Kau gila, ya? Bahan-bahannya milikku!”
“Diam kau!”
Baru hari pertama, suasana di rumah itu mendadak ricuh. Keduanya keras kepala dan terus membentak satu sama lain. Masing-masing mata mereka seakan-akan mengeluarkan laser yang bisa membunuh lawannya. Benar-benar, deh.
- TBC