Bab Empat : Kedatangan Zombi

913 Kata
Bagas benar-benar tidak habis pikir dengan orang tuanya. Bagaimana mungkin mereka membiarkan anak satu-satunya tinggal serumah dengan seorang perempuan? Bagas kan seorang laki-laki tulen. Seharusnya, para orang tua biasanya khawatir jika anak laki-laki dan perempuan ditinggal berduaan. “Hei, kau kenapa?” tanya Raka saat melihat sahabatnya hanya mengaduk-aduk minuman sambil melamun. Arya yang duduk di sebelahnya pun langsung menoleh. “Kau sakit?” “Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Bagas, tidak bersemangat. "Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan dari tadi. Apa itu?” celetuk Dika usai menelan gigitan bakwan. “Aku tidak memikirkan apa pun.” Bagas memasukkan sedotan ke dalam mulut, menghabiskan minumannya dengan sekali minum. Ketiga sahabatnya hanya saling memandang. “Duh, hari ini aku bosan sekali. Bagaimana kalau kita bolos ke rooftop?” ajak Raka. “Ide bagus. Cuacanya mendukung untuk tidur siang.” Bagas memag paling senang jika diajak membolos kelas. “Kurasa aku tidak bisa ikut. Setelah ini aku ada ulangan Matematika. Pak Agung bisa membunuhku jika bolos lagi. Aku ketahuan sudah dua kali bolos di jamnya,” ucap Arya. Padahal ia ingin sekali ikut tidur siang. “Kurasa kau akan tetap dihukum meskipun kau masuk kelas,” ledek Dika. Arya langsung menatapnya kesal. Ingin sekali rasanya meninju temannya itu, tapi mood buruk Bagas menahannya. Mereka berdua selalu saja seperti anak SD, gemar ribut hanya dengan hal sepele. *** “Baiklah, cukup untuk materi hari ini. Kita akan melanjutkannya di pertemuan yang berikutnya,” ucap sang guru mengakhiri kelas terakhir, lalu beranjak keluar kelas usai menerima ucapan salam yang dipimpin oleh ketua kelas. “Hei, Alana, bangunlah. Sudah waktunya pulang. Kelas sudah mulai sepi.” Mita mengguncangkan tubuh sahabatnya, berusaha membangunkan. Namun, gadis itu masih bergeming. “Woi! Alana Putri! Bangun atau aku akan meninggalkanmu di sini!” teriak gadis berkulit putih itu. Ia mendengkus pelan dengan kedua alis yang sudah saling bertaut.  Mendengar lengkingan suara Mita, Alana menggeliat pelan. “Mmmhhh … lima menit lagi, Bu.” Orang yang berdiri tepat di samping kursinya mulai habis kesabaran. Ia menatap Alana kesal sembari melipat kedua tangan di depan d**a. “Sejak kapan aku jadi ibumu? Ih, berhentilah mengingau atau aku benar-benar akan meninggalkanmu!” ancam Mita. Namun, Alana hanya menjawabnya dengan suara dengkuran halus. “Ck! Baiklah. Kau yang memintanya. Aku akan pulang. Bye.” Mita yang kesal segera pergi meninggalkan Alana seorang diri di dalam kelas. Beberapa lama kemudian, gadis itu kembali menggeliat dan segera bangun dari tidurnya. Ia mereggangkan otot-ototnya sembari menatap ke sekitar. Sepi, pikirnya. Ia mengerjapkan mata berulang kali, memastikan benar-benar tidak ada siapa pun di dalam kelas. “Ke mana semua orang?” gumamnya dengan mata masih menyipit. Alana melirik jam dinding yang terpajang di atas papan tulis. Pukul 05.20 sore. Matanya seketika membulat. “Sial! Sekolah sudah tidak ada kehidupan lagi. Aku harus cepat-cepat pulang. Sial! Kenapa Mita tidak membangunkanku, sih?” Tak hentinya Alana mengoceh sendiri. Gadis itu terburu-buru memakai tasnya, lalu beranjak keluar kelas. Nahas, baru mencapai jendela kelas, tali sepatu alana lepas dan tidak sengaja terinjak sendiri. Tubuh gadis itu langsung jatuh tersungkur ke depan. “Awhhh ....” Alana mengerang sembari memegangi lututnya yang berdenyut sebelum akhirnya mencoba berusaha berdiri. Tap! Tap! Tap! Tiba-tiba telinganya mendengar suara derap langkah kaki. Seketika detak jantungnya bertalu-talu. Wajahnya juga mendadak memucat. Siapa itu? Kemudian, dengan terburu-buru gadis itu mencoba mengikat kembali tali sepatunya sebelum bergegas keluar. “Duh, kenapa mengikat tali sepatu saja menjadi sesulit ini, sih?” Tangan Alana mendadak gemetar. Perasaan was-was menyelimuti dirinya. Tap! Tap! Tap! Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Film thriller yang ditontonnya semalam mendadak terngiang dalam kepala. Dengan asal, ia mengikat tali sepatunya dan langsung berlari keluar. Baru saja satu langkah ia melewati pintu, tiba-tiba matanya menangkap sosok bayangan hitam di ujung koridor. Alana menelan ludahnya kasar. Keringat langsung bercucuran di dahi. Bukannya segera berlari, ia justru kembali ke dalam kelas dan langsung menutup pintu serapat mungkin. Kemudian, gadis itu bersembunyi di bawah salah satu meja. Suara langkah kaki itu semakin dekat. Suasana sekolah yang sepi membuat derap langkah itu menggema di sepanjang koridor dan terdengar menyeramkan. “Bagaimana jika itu hantu?” lirih alana. Detik berikutnya, ia menggeleng cepat. “Ah, tidak, tidak! Hantu tidak menimbulkan suara langkah kaki.” Ia berusaha menghibur diri sendiri. Alana menelan ludah. Pikirannya sudah sangat kacau. “Bagaimana jika itu zombi? Ya Tuhan, bagaimana jika zombi itu membunuhku di sini kemudian memakanku? Duh, awas kau Mita sialan. Kau akan menjadi orang pertama yang kugentayangi jika aku mati sekarang! Huaaa ... Ibu, aku tidak mau mati dimakan zombi.” Suara itu terdengar berhenti persis di depan kelas. Panik, gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ada zombi, zombi ke sini, zombi akan memakanku. Pikiran-pikiran seperti itu terus berputar dalam kepala Alana. Ia memejamkan matanya kuat. Keringat semakin membasahi wajah. Namun, suara langkah kaki itu mendadak hilang. Perlahan Alana membuka matanya. “A-apa sudah pergi?” BRAKKK! Tiba-tiba pintu kelasnya terbuka. Jantung Alana spontan seperti akan meloncat keluar. Bahkan ia sendiri pun dapat mendengar debarannya. Ia tidak sanggup melihat dan kembali memejamkan matanya erat. “Ibu ... tolong aku,” lirihnya sembari terisak pelan. Gadis itu mulai menangis. Samar-samar suara langkah kaki itu kembali terdengar, semakin mendekati Alana yang tengah meringkuk ketakutan. Beberapa detik berikutnya, suara itu berhenti tepat di depannya. Tidak dapat digambarkan lagi degup jantung Alana yang semakin tidak terkontrol. Ia tersentak saat merasakan sesuatu menyentuh pundaknya. Tubuhnya semakin bergetar hebat. “Ku-kumohon ... ja-jangan membunuhku,” mohonnya pelan, tanpa membuka mata. - TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN