Bab Lima : Kedatangan Zombi 2

937 Kata
Tidak terdengar jawaban apa pun. Hanya deru napas Alana sendiri yang terdengar selama beberapa detik. “Tu-tubuhku tidak enak. Ka-kau bisa sakit perut kalau memakanku,” ucapnya polos. Kemudian, Alana tidak lagi merasakan sentuhan di bahunya. Apa usahaku berhasil? Apa zombi itu takut sakit perut? batinnya lega. “Apa yang kau bicarakan?” Suara bariton tiba-tiba memecah keheningan. Apa zombi bisa bicara? Dengan ragu-ragu, Alana pun mendongakkan kepala. “Ka-kau,” ucapnya terbata-bata, "Ba-Bagas?” “Kau pikir aku psikopat yang membunuh manusia secara kejam kemudian memakannya seperti kanibal? Dasar bodoh." Bagas menggelengkan kepala. Pemuda itu berjalan melewati Alana yang masih bengong di lantai menuju bangku paling belakang. “Apa? Barusan aku benar-benar ketakutan! Lagi pula, apa yang kau lakukan di jam segini?” protes Alana. “Aku biasa pulang saat sekolah sudah sepi. Lantas, kau sendiri? Menunggu para hantu memakanmu?” cibir Bagas sembari mengambil tas miliknya. “A-aku ketiduran. Lagi pula, aku tidak tahu kalau itu kau. Kukira kau zombi.” Alana mendengkus seraya memalingkan wajahnya ke sembarang arah. “Hahahaha!” Ledakan tawa Bagas menggema ke segala penjuru ruangan. Ia tidak habis pikir akan mendengar alasan setidak masuk akal itu. “Dasar bodoh. Zombi itu tidak ada.” Alana menatap pemuda itu kesal. Kemudian, ia bangkit dan berjalan ke arah pintu dengan langkah lebar. Pipinya menggembung dengan bibir mengerucut. Melihat itu, Bagas hanya tertawa pelan. Dasar gadis bodoh. Bagas segera menyusul Alana keluar kelas. “Hei, kau pulang sendiri?” tanya Bagas saat mereka tiba di halte dekat sekolah, tempat biasa anak-anak menunggu angkutan umum. “Aku biasa naik bus. Kau sendiri? Kukira kau selalu naik motormu itu,” ucap Alana ketus. Gadis itu masih merasa malu dengan kejadian di kelas tadi. “Hm, benar, tapi sekarang sedang disita ayahku.” Mood Bagas sedang bagus untuk menjawab pertanyaan orang lain, berkat tidur siang tadi. ‘Kenapa?” tanya Alana penasaran. “Kau tidak perlu tahu.” Alana kembali mengerucutkan bibirnya, kesal. Tidak butuh waktu lama, sebuah bus berhenti dan mereka segera naik. Bagas duduk di bangku paling belakang, sementara Alana duduk di bangku depan Bagas. Drrrttt! Drrrttt! Ponsel gadis itu bergetar tak lama setelah dia duduk. Ia mengambil benda pipih itu dari saku. “Ya, Ibu?” ucap Alana menjawab panggilan. “Kau di mana? Kenapa belum pulang?” sahut Kirana dari ujung speaker phone. “Aku sedang dalam perjalanan pulang. Ibu tidak perlu khawatir.” “Baguslah. Ibu kira kau kabur karena tidak mau dititipkan pada anak teman Ibu.” Alana memutar bola matanya malas. Kenapa harus membahas itu lagi? “Duh, aku tidak akan kabur, sungguh. Ngomong-ngomong, kenapa Ibu harus menitipkanku pada anak teman Ibu itu, sih? Temanku kan banyak, aku bisa mengajak mereka menginap di rumah.” Tanpa disadarinya, orang yang duduk dibelakang diam-diam mendengarkan ucapan Alana. Pemuda itu mengernyit bingung. “Tidak, tidak. Rumah akan hancur jika itu terjadi. Kau ingat terakhir mereka menginap di rumah? Rumah berubah menjadi kandang kudanil saat Ibu pergi. Lagi pula, tidak ada anak laki-laki. Siapa yang akan melindungimu jika sesuatu terjadi?” Lagi, Alana memutar bola matanya malas. Sejak kapan Ibunya secerewet itu? “Kalau begitu, aku bisa menyuruh Kevin menginap di rumah. Bagaimana?” tawar Alana. “Apa? Tidak! Ibu tidak akan mengizinkanmu membawa laki-laki ke rumah!” Alana menjauhkan ponselnya dari telinga. “Kenapa? Bukannya Ibu bilang tadi cemas karena tidak ada laki-laki untuk menjagaku? Aku akan menyuruh Kevin menginap di rumah. Bukankah itu ide bagus? Ayolah, dia tidak akan macam-macam padaku. Kami sudah berteman lama sekali.” “TIDAAAK!” Lagi-lagi Alana menjauhkan ponselnya dari telinga. Jika begini terus, bisa-bisa ia harus operasi telinga karena gendang telinganya pecah. “Pokoknya, Ibu tidak akan mengubah keputusan. Anak itu bahkan lebih baik dari Kevin. Dia akan menjagamu dan Ibu sangat percaya itu.” Alana berpikir sejenak. Lebih baik dari Kevin? Jangan-jangan …. “Ibu, jangan bilang kalau anak teman Ibu itu laki-laki?” tebaknya. “Kenapa? Dia memang laki-laki Memang Ibu belum bilang? Karena itu Ibu menitipkanmu padanya,” jawab Kirana santai. “Apa? Bu, aku tidak mau! Apalagi kalau harus satu rumah dengannya! Aku bahkan tidak tahu orangnya. Apa Ibu sudah gila?!” Alana terus saja protes. Sementara di belakang, Bagas kebingungan dengan percakapan sepihak Alana dan ibunya. Apa yang sebenarnya dia bicarakan? Kenapa aku merasa dejavu? batinnya. “Ibu tidak akan mengubah keputusan. Lagi pula, k Kedua orang tuanya juga sudah setuju. Mereka juga menitipkan putra mereka padamu.” “Yang benar saja? Jadi maksud Ibu, orang tuanya juga akan pergi? Kenapa jadi saling menitip begini, memangnya aku barang?” “Ah, sepertinya Ibu lupa bilang. Perusahaan yang akan bekerja sama dengan kita adalah perusahaan milik orang tuanya. Jadi, kami besok akan berangkat bersama.” Manik hitam Alana membulat. “Hah? Jadi, aku benar-benar akan tinggal satu rumah dengan seorang laki-laki asing?” “Kan, Ibu sudah bilang, kalian satu sekolah. Dia tidak akan berbuat macam-macam. Percayalah.” “Tapi, Bu, bagaimana kalau dia—” “Sudahlah, Ibu sedang memasak. Ibu akan tutup teleponnya.” “Ibu! Aku tidak—” Terdengar suara nada panggilan terputus. “Halo? Bu? Ibu?! Ah, sial.” Alana memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku baju dengan kesal. “Iiih ... bagaimana jika laki-laki itu ternyata m***m lalu menerkamku tiba-tiba?” Alana yang mulai frustrasi mengacak kasar rambutnya. “Ah, tidak, tidak! Ibu tidak akan membiarkanku satu rumah dengan laki-laki seperti itu. Jadi, itu artinya dia itu benar-benar laki-laki yang baik.” Ia menenangkan diri dan berusaha berpikir positif. Bagas pun menggubris pikiran yang sempat terlintas di kepalanya. Melihat Alana berbicara sendiri sembari mengacak rambut, Bagas lantas menilai gadis itu aneh.  - TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN