“Lusa nanti, Ibu akan pergi ke Jepang. Kau ingat, ‘kan?” ucap seorang wanita paruh baya sembari menata piring di atas meja makan.
“Oh.” Bagas merespons tanpa berniat bertanya lebih. Meski demikian, bibirnya mengerucut tanda sebal, membuat sang ibu langsung menghela napas.
“Perusahaan Ayah dan Ibu akan bekerja sama dengan sebuah perusahaan desain ternama di Jepang. Pemiliknya orang Indonesia, tapi Ibu harus menghadiri sebuah acara penting di sana. Dan ini tidak bisa diwakilkan,” jelas Maria. Bekerja di dunia desain terkadang membuatnya harus meninggalkan putra semata wayangnya seorang diri di tanah kelahiran.
“Lalu bagaimana denganku?” Akhirnya Bagas bertanya.
“Kau akan Ibu titipkan pada salah satu anak teman Ibu. Kebetulan orang tuanya juga pergi bersama kami. Ibu tidak bisa membiarkanmu terus-menerus sendiri di rumah. Kau tahu kan ayahmu sangat tidak bisa memercayaimu, Bagas.”
Bagas mendelik setelah sempat berdecak. “Kenapa tidak tanya pendapatku dulu? Aku tidak mau.”
“Kau tidak bisa menolak jika masih menginginkan uang saku,” titah Maria. Meski berkata dengan lembut, kalimat itu seolah mengandung ancaman bagi Bagas.
Setelah Bagas tidak dapat menolak lagi, Maria kembali berkata, “Anak itu seorang perempuan.”
“A-APA?! Yang benar saja!” Bagas langsung membelalakkan mata. “Aku tidak mau!”
Suasana di ruang makan keluarga Elvano mendadak gaduh saat sang putra, Bagas Elvano, dengan tegas menolak permintaan orang tuanya. Bahkan setelah David turun tangan sekalipun, Bagas tetap bersikeras.
“Sayang, ayolah. Hanya lima hari. Tidak akan lebih,” bujuk Maria.
“Aku tidak mau, Bu. Dia seorang perempuan. Apa kalian tidak salah membuat keputusan? Pikirkan lagi!” pekik pemuda itu.
“Ibu percaya kalian bisa saling menjaga. Gadis itu sudah tidak memiliki ayah. Hanya ibunya yang bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga. Kasihan kan anak perempuan ditinggalkan sendiri.”
“Tapi—”
“Lima hari bukan waktu yang lama, Sayang. Ibu sudah berteman dengan ibunya sejak SMP. Hanya Ibu yang benar-benar bisa dipercaya.”
“Aish, kalian sama saja. Aku tetap tidak mau!” Bagas mendesah sebal. Napasnya berderu berusaha meredam rasa kesal.
“Bagas, gadis itu juga yang akan mengawasimu selama kami pergi. Jangan membuat masalah selama kami tak ada,” timpal David, sang ayah. “Soal biaya hidup kau tak perlu khawatir. Ayah akan memberi lebih.”
Mendengar kata ‘lebih’, Bagas memutar bola mata ke atas. “Baiklah, baiklah. Terserah kalian saja,” jawab Bagas. Mau tidak mau ia harus menerima permintaan orang tuanya meski dengan iming-iming.
Tinggal serumah bersama seorang gadis? Yang benar saja. Aku bahkan tidak tahu wujudnya sama sekali, batinnya.
“Kapan kalian berangkat?” tanya Bagas sembari menyuapkan nasi ke mulut.
“Lusa.” Jawaban dari sang ayah sukses membuat pemuda itu tersedak.
“A-apa? Secepat itu?”
“Hm. Ayah harap kau benar-benar tidak membuat gadis itu kesulitan,” ucap David sembari melirik putranya tajam.
“Oh, iya. Kudengar gadis itu juga satu sekolah denganmu,” sambung Maria.
“Benarkah?”
Maria mengangguk. “Kalian pasti akan mudah akrab. Atau mungkin saja kalian saling kenal.”
“Siapa namanya?” tanya Bagas penasaran.
Maria menggaruk belakang kepala yang tak gatal. “Ibu sudah sempat kenalan, sayang Ibu tidak ingat namanya.”
Bagas tampak menerka-nerka. Kira-kira siapa ya gadis itu?
***
Di sisi lain, namun di waktu yang sama.
“Alana, Ibu takut terjadi sesuatu padamu. Hanya lima hari saja,” bujuk Kirana.
“Huh, baiklah. Asalkan anak teman Ibu itu tidak membosankan, aku tidak keberatan,” ucap Alana pada akhirnya.
Mendengar itu, sang ibu tersenyum. “Percayalah, dia sama sekali tidak membosankan. Kalau tidak salah, dia juga satu sekolah denganmu.”
“Benarkah?” Seketika raut wajah Alana berubah riang. “Wah, aku jadi penasaran. Kuharap dia satu kelas denganku.”
“Kalian pasti akan mudah akrab. Ibu tidak akan terlalu khawatir. Setidaknya ada yang bisa menjagamu. Nah, sekarang makanlah. Kau pasti sudah lapar.” Kirana menyendokkan lauk di piring putrinya.
“Aku harap begitu.”
Saat itu yang Alana ingat, ia cukup akrab dengan teman sekelasnya, baik cewek maupun cowok. Jadi, ia tidak lagi merasa khawatir.
- TBC