Pukul 07.15 pagi.
Kirana telah selesai dengan persiapannya. Wanita itu berjalan menuju ruang TV dengan sebuah koper berukuran sedang di tangan. Alana telah menunggu di sana. Gadis itu juga memegang sebuah koper, tetapi ukurannya sedikit lebih kecil.
“Kau sudah siap?” tanya Kirana.
“Aku tidak akan pernah siap,” jawab sang putri ketus. Bibirnya mengerucut seperti anak kecil sedang merajuk.
“Berhentilah melakukan itu!”
Alana hanya mendengkus kesal.
“Ayo berangkat. Ibu harus segera mengantarmu ke sana,” ucap Kirana sembari berjalan mendahului Alana. Mau tidak mau, gadis itu mengikuti ibunya.
Mereka segera menaiki taksi yang sebelumnya telah dipesan oleh Kirana. Selama di perjalanan, Alana hanya melihat keluar jendela. Kira-kira siapa laki-laki itu? Ia terus bertanya-tanya dalam hati. Gadis itu pasti tidak akan mau jika mengetahui siapa orang tersebut.
***
“Bangunlah, sudah siang.” Seorang wanita paruh baya berusaha membangunkan putranya yang masih betah berada di dalam selimut. “Cepat, bangun. Dasar pemalas!”
Bukannya segera bangun, Bagas semakin mengeratkan selimutnya. Dengan sekuat tenaga, Maria menyingkap untaian kain berbusa tipis yang tengah membungkus tubuh putranya itu. Bagas sontak beranjak duduk.
“Cepat bangun! Mereka akan segera tiba di sini!”
“Aduh, Ibu, ini masih pagi.” Bagas yang masih setengah sadar tidak sepenuhnya mendengar ucapan sang ibu.
"Cepat, Sayang! Segera bersihkan tubuhmu. Lima belas menit lagi kau sudah harus berada di bawah. Mengerti, ‘kan?” tegas Maria.
Terpaksa Bagas pun bangkit dan sempoyongan masuk kamar mandi. Beberapa menit kemudian, bel pintu rumah keluarga Elvano berbunyi. Kurang dari satu menit, Maria segera membukakan pintu. Seorang wanita yang berusia tidak jauh dengannya tengah tersenyum. Oh, jangan lupakan juga seorang gadis yang berdiri disampingnya. Dia terlihat cantik. Persis seperti ibunya. Gadis itu tampak sedikit terkejut.
“Anda kan ....”
“Iya, Sayang. Tante yang kemarin ke rumahmu,” sapa Maria. “Mari, masuklah.”
Pandangan Alana tidak bisa lepas dari sekitar. “Wah, mereka benar-benar kaya,” gumamnya. Ia benar-benar takjub dengan segala kemewahan desain rumah itu. Kemudian, ia mengikuti ibunya duduk di sofa.
“Oh, kalian sudah datang rupanya,” ucap seorang pria dari dalam. Setelan jas hitam yang membalut tubuhnya memberi kesan hormat bagi siapa pun yang melihatnya, terlihat sangat berwibawa.
“Pak,” sapa Alana sopan.
David membalas senyum gadis itu, lalu berpaling pada Kirana. “Ini putrimu? Cantik seperti ibunya,” pujinya.
“Terima kasih, Om.” Alana menjawab dengan malu-malu. Rona merah menyembul dari kedua pipi.
“Mana anak itu?” tanya David pada sang istri.
“Dia sedang mandi. Sebentar lagi akan kemari,” jawab Maria. “Susah sekali dibangunkan.”
“Dasar anak itu. Aku akan menyusul ke kamarnya,” ujar David.
Maria segera menahannya. “Biar aku saja.”
Menit berikutnya, Maria telah sampai di depan kamar Bagas di lantai dua.
“Sayang, cepatlah. Mereka sudah datang!” teriak Maria sambil mengetuk pintu kamar.
“Iya, iya! Aku akan segera ke sana,” sahut Bagas dari dalam.
Walau samar, Alana dapat mendengar ucapan Maria. Bagas? Apa aku salah dengar?
“Dia akan segera turun.” Maria baru saja kembali dari atas, lalu duduk lagi di sofa.
“Ibu ... Siapa itu Bagas?” bisik Alana.
Kirana pun menoleh. “Tentu saja putra mereka.”
Alana tidak mau bertanya lebih jauh. Ia menggigit bibir bawahnya.
“... Dan kalau tidak salah, dia juga satu sekolah denganmu.”
Tiba-tiba Alana teringat ucapan Kirana. Satu sekolah? Siapa lagi kalau bukan Bagas yang itu. Tidak, tidak! Nama Bagas tidak hanya satu kan? Batin gadis itu terus menolak. Namun, kenyataan tidak berpihak padanya.
“Ah, dia sudah datang,” ucap Maria. “Kemarilah.”
Dengan patuh Bagas menghampiri. Maria senang melihat putranya tampil rapi.
“Ini Tante Kirana.” David memperkenalkan tamu kepada putra semata wayangnya itu.
“Halo, Tante, saya Bagas,” sapa Bagas sembari menyodorkan tangan kanannya. Kemudian, ia duduk di sebelah David.
“Wah, kau tampan sekali,” puji Kirana.
Bagas tersenyum tipis. Baginya, hal itu sangat klise. Ia sudah ribuan kali mendengar ucapan yang sama, dan ia tidak pernah meyangkal. Bagas memang tampan sejak lahir.
“Dan ini adalah putri Tante Kirana yang akan dititipkan padamu,” ucap David.
Bagas memicingkan mata menatap gadis yang dimaksud, gadis yang duduk di sebelah Kirana. Saat itu Alana yang mengenali Bagas lebih dulu, berusaha menyembunyikan wajahnya dengan terus menunduk. Kedua tangannya mengepal, meremas bagian bawah baju.
“Alana, ayo sapa Bagas.” Kirana menyikut putrinya karena lama merespons.
Dengan ragu-ragu, Alana mengangkat wajahnya.
Rambut panjang, senyum yang menyebalkan itu …. Kedua mata Bagas sontak membelalak.
“KAU …!”
- TBC