Sinar mentari yang menerobos sela-sela dedaunan dari ranting pohon tercetak jelas di wajah Alana. Semilir angin menyejukkan pagi. Setiap orang menjalankan aktivitas masing-masing dengan semangat baru. Cuaca cerah mampu menaikkan mood semua insan di dunia.
“Ah, benar-benar cuaca yang bagus,” ucap Alana saat dirinya keluar dari bus. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar kurang lebih dua puluh menit dengan bus. Tanpa sadar, Alana berdiri menghalangi pintu keluar-masuk bus.
BRUKKK!
Seseorang tiba-tiba saja menabraknya dari belakang. Jika kakinya tidak refleks menumpu beban tubuhnya, Alana pasti akan langsung terjerembap ke depan.
“Hei! Jangan mendorong, dong!” semprot gadis itu.
Pemuda yang baru saja menabraknya menghentikan langkah. Ia berdiri tepat membelakangi Alana. Diraihnya lengan pria tersebut sehingga berbalik badan. Napas Alana mendadak tercekat begitu pandangan mereka bertaut.
Aishhh, kenapa harus dia? batinnya.
“Kenapa?” ucap orang itu, datar.
Kedua mata Alana mengerjap. Gadis itu segera memperbaiki raut wajahnya. Ia mulai protes dengan suara menantang. “A-apa maksudmu men—”
“Kau menghalangi jalan semua orang,” ucapan Bagas sukses menyela kalimat Alana.
Sebenarnya, ucapan Bagas memang ada benarnya. Dari tadi gadis itu hanya diam di depan pintu bus sementara di belakangnya banyak orang menunggu hendak keluar. Benar-benar bodoh. Alana mengerucutkan bibirnya bagai bebek kesal dan langsung pergi mendahului pemuda itu.
Bagas menaikkan sebelah alisnya. Kemudian, ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Kejadian barusan terlupakan begitu saja.
“Hei, Bagas! Tunggu aku!” panggil seseorang di belakangnya. Dengan malas, lagi-lagi Bagas berhenti dan kembali berbalik. Seorang pemuda lain tengah berlari menghampirinya.
“Wah, sejak kapan seorang Bagas Elvano naik bus?” cibir pemuda berkulit kecokelatan itu.
Bagas mendengkus. “Motorku disita Ayah. Benar-benar menyebalkan.”
Pemuda itu tertawa keras sambil berusaha menyamakan derap langkah mereka.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Bagas, sinis. Cuaca cerah hari ini ternyata tak mampu mengubah mood buruknya.
“Haha. Karena pulang malam? Kan sudah kubilang kau tidak perlu ikut kami ke bar. Ayahmu akan mengamuk. Dan sekarang terbukti, ‘kan?”
“Diamlah, Raka berengsek!”
***
Suasana seketika gaduh saat guru yang seharusnya mengisi kelas itu berhalangan hadir. Beberapa di antara mereka ada yang membaca buku, mengerjakan tugas, atau bahkan sekadar mengobrol. Yang tengah tertidur pulas di meja juga ada. Padahal, guru yang bersangkutan telah memberikan tugas dan harus segera dikumpul saat pulang sekolah. Namun, dua atau tiga orang yang mengerjakan saja sudah cukup. Menyalin pekerjaan adalah tugas mereka yang sesungguhnya.
“Kerjakan tugas milikku. Nanti pulang sekolah aku akan mentraktirmu,” ucap seseorang begitu menghampiri meja Alana. Ia berujar dengan nada memohon, berharap gadis itu mau menuruti kemauannya.
Gadis yang tengah sibuk bergumul dengan tugas itu menghentikan aktivitasnya, diikuti mendongak untuk melihat sang pemilik suara.
“Apa kau tidak lihat kalau aku sedang mengerjakan tugasku? Suruh saja yang lain,” jawab gadis itu ketus, lalu kembali berkutat pada bukunya.
“Aku tidak mau. Semua murid pintar sedang sibuk. Mereka sangat membosankan. Berpura-pura tuli.”
“Aku juga akan berpura-pura tuli,” jawab Alena tanpa mengubah posisinya.
“Kau kan murid yang pintar. Ayolah, aku akan mentraktirmu,” pinta Dika, teman sepermainan dengan Bagas.
“Aku tidak mau. Diamlah! Aku jadi susah berkonsentrasi.” Alana mulai merasa risi pada Dika.
Tidak tinggal diam, Dika mengambil buku Alana dari atas meja dan meletakan buku miliknya di hadapan gadis itu.
“Apa maksudnya?!” tanya Alana, kesal.
“Kerjakan yang itu dulu. Setelah itu, kau boleh mengerjakan milikmu.”
“Kembalikan bukuku, Dika!” Alana bangkit beridiri, hendak merampas buku dari genggaman pemuda di hadapannya, namun tidak berhasil.
“Kenapa kau begitu cerewet? Kau tinggal mengerjakan milikku. Apa susahnya?” gerutu Dika. Ia terus saja memaksa Alana agar mengerjakan tugasnya lebih dahulu.
“Kubilang tidak ya—”
“Diamlah, telingaku berdengung mendengar suara kalian.” Bagas tengah sibuk membaca komik di meja paling belakang. Kedua kakinya diletakkan di atas meja layaknya seorang raja.
Dika menoleh. Ketika melihat bosnya yang berbicara, ia mundur beberapa langkah.
“Bagas, aku hanya minta tolong kepadanya. Tapi dia terus-terusan berteriak tidak mau. Kau pikir telingaku juga tidak pengang?” Dika membeberkan maksud dan tujuan dirinya.
“Apa kau bilang barusan? Minta bantuan apanya?! Dari tadi kau hanya memintaku mengerjakan tugas milikmu!” bantah Alana.
Bagas berdeham keras, mengisyaratkan agar tidak mengganggunya membaca komik.
“Ck, baiklah.” Dika pun segera meninggalkan meja Alana dan pergi menuju meja lain, mencari target berikutnya.
“Hei, bukankah Pak Amin melarangmu membawa komik? Kenapa kau masih membawanya?” tegur Alana.
“Bukan urusanmu. Lagi pula, kau bukanlah ketua kelas.”
"Semoga kau kena hukuman lagi!" umpat gadis bersurai panjang itu.
“Urus saja urusanmu sendiri.” Bagas tidak memedulikan Alana. Bahkan, ucapan Alana saja tak sepenuhnya didengar. Ia hanya tidak suka jika ada yang mengusik ketenangannya.
“Apa? Astaga, kenapa bisa ada makhluk sepertimu di sekolah ini? Dasar!”
“Apa kau bisa diam?! Kau berisik sekali! Benar-benar mengganggu.” Kali ini pemuda itu benar-benar kesal. Ia mendorong meja di depannya, lalu beranjak pergi keluar dari kelas.
Alana tersentak kaget. Seharusnya dia tidak mengusik Bagas. Sikap peduli yang biasanya disukai teman sekelas ternyata tidak berlaku untuk pemuda itu. Selama perhatian Alana teralihkan, diam-diam Dika kembali dan mengambil tugas milik Alana. Bocah cerdik dan licik itu menyalin sebisanya tanpa sepengetahuan sang pemilik.
Dasar tukang contek!
- TBC