Hujan terus turun membahasi Bumi dengan keanggunannya. Seakan ingin memadamkan kebakaran yang sedang terjadi di sekitar pondok kayu yang sudah tak berbentuk itu. Yang telah di bumi hanguskan oleh api, sejak dari tadi. Api yang seakan mengamuk. Hingga bertindak bar-bar seperti itu.
Akan tetapi hujan gerimis itu belum mampu menghentikan kebakaran hebat yang sedang menggila. Membakar ilalang-ilalang kering dengan begitu buasnya. Hujan memerlukan meningkatkan kekuatannya, untuk memadamkan kebakaran itu. Jika tidak, maka gerimis akan memerlukan waktu lama untuk memadamkan sang api.
Sementara itu Andi dan yang lainnya, yang masih berjalan di lorong gelap yang berada di dalam tanah. Terlihat saling berhimpitan satu sama lainnya, di lorong sempit yang entah sampai di mana akhirnya itu.
Mereka terus berjalan di kegelapan tanpa bantuan cahaya apa pun sama sekali. Hingga mereka hanya mengikuti langkah kaki Andi di lorong sempit di dalam tanah. Seperti orang yang sedang meraba-raba saja.
Mereka sudah seperti tikus yang berjalan di dalam tanah, untuk menuju ke arah tujuannya mereka. Yaitu ujung lorong itu, yang entah ada di mana. Yang seakan tak memiliki ujung sama sekali. Hanya ada kegelapan di hadapan mereka.
Hening tanpa saling berbicara satu dengan lainnya. Hanya terdengar langkah kaki mereka, yang terasa terdengar di telinga mereka. Hingga akhirnya Andi pun mengeluarkan suaranya.
"Pasti kalian tidak terbiasa berjalan di kegelapan dalam tanah seperti ini?" ucap Andi, membuka topik pembicaraan di antara mereka. Berusaha untuk mencairkan suasana dari ketegangan yang telah terjadi dan mereka alami saat ini.
"Ya, seperti itulah kenyataannya," timpal Noval, yang tepat berada di belakang Andi.
"Untung saja ponselku ada fitur lampu senternya ...," sahut Andi berusaha santai dalam keadaan seperti itu. Keadaan yang benar-benar mencekam mereka.
Andi lalu merogoh kantong celana kirinya. Dan lalu mengambil ponsel fiturnya. Ia pun lalu mengaktifkan fitur lampu senter pada ponselnya. Hingga keluarlah cahaya cukup terang dari lampu senter, yang berada di atas kepala bagian ponsel itu.
"Dengan ini, pasti kalian akan sedikit terbantu," ujar Andi, sambil terus berjalan memimpin di dalam lorong sempit yang kini agak sedikit terang dengan bantuan lampu senter pada ponsel Andi itu.
"Kenapa kita tak berpikiran dari tadi. Menggunakan flash ponsel kita," sambung Noval, lalu mengambil ponselnya dari saku celananya.
Noval langsung saja mengaktifkan lampu flash ponselnya. Hingga suasana pun menjadi lebih terang dari yang tadi.
"Ya, kau benar," Andro pun mengambil ponselnya dari saku celananya. Lalu mengaktifkan lampu flash ponselnya. Hingga suasana pun menjadi lebih terang di dalam lorong dalam tanah itu.
"Aku rasa ini sudah cukup, aku tak ingin menggunakan lampu flash ponselku," ucap Tino, tak berniat untuk menggunakan lampu flash pada ponselnya. Untuk menerangi lorong di dalam tanah itu.
"Ya, kau benar," sambung Aryo tak berniat untuk mengaktifkan lampu flash ponselnya.
"Ya. aku mengikuti kalian berdua," kata Tomy, lalu tersenyum. Untuk menutupi ketegangan yang sedang melanda jiwanya.
Mereka berenam terus berjalan tanpa mengenal lelah di dalam lorong gelap, yang sudah terang itu. Hingga mereka pun melihat setitik cahaya di kejauhan. Yang semakin lama, semakin terlihat terang. Hingga jelaslah, bila sinar cahaya itu merupakan sinar cahaya Matahari yang menerobos masuk dari ujung jalan rahasia itu.
Melihat akan hal itu, mereka pun menjadi bersemangat dan mempercepat langkah kaki mereka itu. Karena dunia luar sudah terlihat di penglihatan mereka.
Mereka pun semakin mempercepat langkah kaki mereka, agar lebih cepat mendekati ujung dari lorong itu. Yang ternyata semakin mendekati ujungnya. Lorong itu semakin menanjak dan terus menanjak. Hingga akhirnya, Andi tiba di ujung lorong itu terlebih dahulu, disusul Noval dan yang lainnya. Dan ternyata ujung lorong itu, berada di ujung bukit yang mengarah ke Pulau Merah, yang berada di ujung kanan dari Pulau Hitam.
Andi, Noval dan Andro lalu mematikan lampu flash ponsel mereka. Dan lalu menaruh ponsel mereka pada kantung celana mereka masing-masing.
"Akhirnya kita tiba juga ..., di ujung jalan rahasia ini," ucap Tomy, sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah tubuhnya. Yang merasa kegerahan berada lama, di dalam lorong itu.
"Sekarang kita akan ke mana? Ndi?" tanya Aryo, seakan ingin meminta kepastian kepada Andi.
"Ikuti saja langkahku ...," jawab Andi, lalu melangkahkan kakinya. Yang diikuti oleh yang lainnya, dengan langkah mantap. Seolah mereka adalah pasukan tentara saja.
Matahari pun telah tampak kembali di langit, menghentikan aksi dari hujan di musim kemarau itu. Mencerahkan langit yang sempat meredup karena awan pembawa hujan.
Mereka berenam terus berjalan secara beriringan di jalan setapak di kaki bukit itu. Tanpa menyadari kehadiran Malaikat Biru, yang tengah bersembunyi di ilalang tinggi, di samping jalan setapak itu.
"s**l! mereka dapat meloloskan diri, ini gara-gara Putih. Tapi biar bagaimana pun caranya, aku harus dapat membunuh mereka!" ucap Malaikat Biru di dalam hatinya, dengan penuh rasa kegeramannya, terhadap para pemenang kuis itu. Terutama Malaikat Putih, alias Andi.
Tampak tangan kirinya pun lalu merogoh saku jubah birunya. Saat tangan kirinya keluar dari saku jubah birunya. Tangan kirinya, telah menggenggam belati bergagang tengkorak biru. Yang sudah dilumuri oleh racun.
Malaikat Biru lalu ke luar dari dalam ilalang itu, lalu berlari dengan cepatnya. Untuk mengejar mereka berenam. Sehingga jarak antara Malaikat Biru dan mereka berenam pun semakin mendekat. Hingga saat tiba 1 meter di belakang Tomy. Ia pun lalu bersiap menghunuskan belati bergagang tengkorak birunya, ke arah punggung Tomy. Yang sempat menyadari keberadaan Malaikat Biru di belakang dirinya.
"Sepertinya ada yang ingin menyerang diriku?" kata Tomy di dalam hatinya. Menyadari jika ada yang ingin menyerang dirinya.
Benar saya Marco pun langsung menyerang Tomy, dengan nafsu membunuhnya yang begitu besar.
Tomy secara rileks lalu menangkis belati bergagang tengkorak biru itu, dengan tangan kanannya. Hingga tangan kanannya pun tergores. Lalu dengan sigapnya, kaki kanannya pun menendang perut Malaikat Biru. Hingga ia pun terjatuh ke tanah. Beserta belati bergagang tengkorak birunya.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Malaikat Biru lalu bangkit dan melarikan diri, ke arah jembatan gantung kayu. Yang menghubungkan Pulau Hitam, dengan Pulau Biru, yang merupakan salah satu pulau terluar di gugusan Pulau Kematian.
Melihat Malaikat Biru melarikan diri, Aryo dan Tino pun mengejar Malaikat Biru. Sedangkan Tomy tampak bersimpuh di tanah. Yang didampingi oleh Andro, Noval dan Andi yang masih berdiri dengan tegak.
"Tidak, akan kubiarkan mereka membunuh kalian lagi!" teriak Andi, sambil merogoh kantong celana kanannya, dengan tangan kirinya.
Andi ternyata ia mengambil sebuah slayer yang langsung diikatkan, di dekat luka itu. Agar racunnya tidak dapat menyebar ke dalam tubuhnya Tomy. Lalu ia pun mengambil kapsul berwarna putih yang merupakan penawar dari racun itu. Yang berada di dalam sebuah botol putih, pada kantung celananya.
Andi lalu memberikan botol itu kepada Noval. Yang segera mengambil dengan tangan kanannya.
"Ini adalah penawar racun itu, setelah menelan kapsul putih itu. Aku jamin racun itu, akan menjadi tawar. Sekarang aku akan menyusul mereka, aku takut mereka sedang digiring di dalam sebuah jebakan," jelas Andi dengan nada yang terburu-buru.
Setelah mengucapkan akan hal itu. Andi pun berlari. Menyusul Aryo dan Tino, yang sedang mengejar Malaikat Biru untuk masuk ke dalam jebakannya.