Sepeninggalan Andi, Noval langsung saja membuka botol berisi kapsul berwarna putih itu. Dirinya langsung saja mengambil sebutir kapsul yang langsung ia berikan kepada Tomy. Tanpa keraguan sana sekali. Jika kapsul putih itu adalah racun. Secara Andi adalah anggota 7 Malaikat Kematian. Yang bisa saja, dirinya hanya berpura-pura berpihak kepada mereka. Sebagai rencana dari 7 Malaikat Kematian.
Kemudian menikam mereka dari belakang. Tanpa perasaan sama sekali.
"Cepat telan kapsul putih ini, Tom. Sebelum terlambat," ujar Noval kepada Tomy dengan penuh kekhawatirannya terhadap keselamatan Tomy.
Tomy segera mengambil kapsul berwarna putih itu, dengan tangan kanannya.
Tampak dirinya kebingungan belum meminum kapsul putih itu. Karena tidak adanya air untuk menelannya. Seumur hidupnya, Tomy sangat jarang meminum obat. Kecuali jika sudah sakit parah. Pola hidup dan makanlah, yang membuat dirinya sangat jarang sekali sakit dan meminum obat dalam jenis apa pun selama ini.
"Aku tidak bisa menelannya, kalau tak ada air. Lagipula, aku tak terbiasa meminum obat seperti kapsul ini," kata Tomy dengan penuh kejujurannya. Lalu tersenyum kepada Noval. Yang tampak memasukan botol kecil pemberian Andi ke dalam saku celananya.
"Paksakan saja, daripada kau mati sia-sia," sahut Noval dengan tegasnya. Tanpa membalas senyum dari Tomy sama sekali.
Mendengar perkataan Noval, dan melihat wajah judes Noval. Tomy pun langsung memasukan kapsul putih itu ke dalam mulutnya, dengan cara memejamkan sepasang matanya. Seakan tak ingin melihat kapsul putih itu masuk ke dalam mulutnya.
Pikirannya berkata, pasti saat berada di dalam mulutnya. Pil berwana putih itu akan melumer, dengan rasa yang sangat pahit. Akan tetapi apa yang ia takutkan tak terjadi sama sekali. Memang kapsul berwarna putih itu langsung melumer saat berada di dalam mulutnya. Akan tetapi bukan terasa pahit, tetapi terasa manis seperti madu saja. Hingga ia pun membuka sepasang matanya kembali.
"Ternyata kapsul itu manis seperti madu," kata Tomy, lalu tersenyum kepada Noval dan Andro yang ada di hadapannya.
"Untung saja Andi memiliki penawar racun itu. Kalau tidak, pasti dirimu mungkin akan bernasib seperti Thomas," tutur Andro, akhirnya berbicara juga. Yang dari tadi hanya terdiam dan bermain dengan pikirannya sendiri.
"Ya, kau mengingatkanku pada dendam ku. Aku tak ingin mati, sebelum menghabisi mereka," ujar Tomy dengan penuh kebenciannya terhadap 7 Malaikat Kematian yang sudah membunuh teman-temannya terutama Thomas.
Suasana pun menjadi sedikit panas. Dengan perkataan dari Tomy yang dipenuhi oleh dendam kepada 7 Malaikat Kematian.
Andro terdiam tak ingin merespon perkataan dari Tomy. Dirinya takut, masalahnya akan melebar kemana-mana. Yang bisa saja membuat Tomy nekat, untuk membalaskan dendamnya kepada 7 Malaikat Kematian. Saat itu juga. Yang bisa saja berujung pada kematiannya. Yang tak diinginkan oleh Noval sama sekali.
"Aku harus merubah topik pembicaraan ini," kata Noval di dalam hatinya. Sambil melirik ke arah Andro. Agar tak bicara yang bukan-bukan lagi.
"Tom, kau baik-baik saja sekarang?" tanya Noval kepada Tomy. Dengan basa-basi nya.
"Ya, aku baik-baik saja. Keadaan ku sudah normal kembali," sahut Tomy, lalu tersenyum kembali.
"Syukurlah," Noval pun tersenyum tulus.
"Sekarang aku ingin menelepon Ayu," kata Andro lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya.
Andro segera membuka kuncian ponselnya itu. Akan tetapi ia melihat, tak ada bar sinyal pun yang terlihat. Hanya ada tanda silang pada ponselnya. Pertanda tak ada sinyal operator yang dapat ditangkap oleh ponselnya.
"s**l! Sinyalnya sudah hilang," kata Andro dengan penuh kekesalannya. Di mana penguat sinyal yang diaktifkan oleh Malaikat Cokelat di Bukit Hitam, sudah di non aktifkan oleh Malaikat Hitam kembali. Hingga hanya 7 Malaikat Kematian yang bisa saling terhubung di antara mereka.
Andro lalu memasukan ponselnya kembali ke dalam kantung celananya. Dengan penuh kedongkolannya.
"Sepertinya mereka sudah menutup penguat sinyal itu. Tapi kenapa mereka masih bisa menghubungi kita?" tanya Tomy, dengan penuh keheranannya.
"Aku rasa, itu hanya satu arah saja," tebak Noval dengan penuh keyakinannya.
"Maksudmu bagaimana, Val?" tanya Andro dengan kebingungannya.
Baru saja Noval ingin menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu. Tomy pun langsung saja mendahuluinya, sebelum Noval berbicara.
"Sudahlah jangan membahas hal itu lagi. Sekarang lebih baik kita menyusul mereka," ajak Tomy, seraya bangkit yang diikuti oleh Noval dan Andro.
"Lebih baik jangan. Nanti kita hanya menjadi beban saja. Lebih baik kita ke pinggir laguna itu, untuk melihat apa yang akan terjadi di pulau itu," usul Noval menunjuk ke arah Laguna Kematian yang hanya berjarak 300 meter dari tempat mereka saat ini.
"Baiklah, kalau begitu," sahut Tomy, lalu melangkahkan kakinya menuju ke arah Laguna Kematian, yang diikuti oleh Noval dan Andro.
Terus melangkahkan kakinya ke Laguna Kematian. Tanpa mereka sadari jika mereka sedang diawasi oleh Malaikat Hitam dan Malaikat Merah dari atas puncak Bukit Hitam dengan teropong khusus mereka berdua.
"Aku ingin membunuh mereka bertiga. Apakah kau mengizinkannya, Pimpinan?" tanya Malaikat Merah kepada Malaikat Hitam yang sedang meneropong ke arah Tomy, Noval dan Andro. Yang akhirnya tiba di pinggir Laguna Kematian. Begitu juga dengan Malaikat Merah, melakukan hal sama. Dengan apa yang dilakukan oleh pimpinan dari 7 Malaikat Kematian.
"Tidak perlu, cepat atau lambat. Pastinya mereka akan mati juga. Lebih baik, kita lihat apa yang akan dilakukan oleh Biru kepada mereka," sahut Malaikat Hitam. Lalu merubah arah teropong khususnya ke arah Malaikat Biru alias Marco, yang sedang berlari menuju ke arah Bukit Biru, yang merupakan kediamannya selama ini.
"Sepertinya ini menarik," ucap Malaikat Merah lalu menyeringai. Sembari mengarahkan teropongnya ke arah Malaikat Biru, yang terus berlari dengan begitu cepatnya menuju Pulau Biru.
"Ya, aku rasa ia akan mati kali ini," ujar Malaikat Hitam, dengan nada dingin membunuh.
"Firasat ku juga mengatakan seperti itu. Tapi kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Malaikat Merah, dengan penuh selidik kepada Malaikat Hitam.
"Ya, aku rasa sudah saatnya ia mati. Aku juga sudah menghubungi anak buah ku untuk membunuh Mario di Jakarta," papar Malaikat Hitam.
Malaikat Merah tak merespon perkataan dari pimpinannya itu. Karena pembicaraan mereka sudah tak menarik lagi. Dirinya lebih tertarik mengamati Malaikat Biru, yang sedang dikejar oleh Tino dan Aryo, dan Andi dengan jarak yang cukup jauh.
"Itu Putih, aku ingin menghabisinya sendiri," kata Malaikat Merah, mulai melakukan perbincangan kembali dengan Malaikat Hitam.
"Aku bilang, amati saja apa yang akan dilakukan oleh Biru. Jangan bertindak tanpa perintahku. Atau kau akan menerima tulah ku. Mati seperti Kuning dan Hijau," sahut Malaikat Hitam dengan penuh kekesalannya terhadap tangan kanannya itu.
Tampak Malaikat Merah pun, tak berani membantah perkataan pimpinannya.
"Baiklah, aku tak berani bertindak tanpa perintah mu," kata Malaikat Merah, lalu terdiam. Fokus mengamati Malaikat Biru alias Marco, yang terus berlari menuju Pulau Biru. Dengan teropong di tangan kirinya. Begitu juga yang dilakukan oleh Malaikat Hitam.
Asap-asap Hitam pun terus membumbung tinggi ke arah puncak Bukit Hitam, menyelimuti tubuh Malaikat Hitam dan Malaikat Merah. Seakan ingin membungkus mereka berdua dengan misterinya.