Bab 61. (Hujan Di Musim Kemarau)

1038 Kata
Api yang membakar pondok kayu itu, terlihat masih menyala dengan liarnya, walaupun pondok kayu itu sudah rubuh menjadi arang. Yang masih membara seluruhnya. Api itu seakan ingin menambah korban, bagi keganasan dirinya. Karena merasa tak cukup hanya membakar pondok kayu itu saja. Tanpa adanya korban nyawa sama sekali. Bahkan dengan bantuan angin yang berhembus kencang. Yang seakan memberi kekuatan bantuan untuknya. Sehingga membuat api itu terus menyala dan merembet ke segala arah, dengan liarnya. Tak terkendali sama sekali, oleh apa pun. Tak terkecuali dengan ilalang yang ada di sekitar pondok kayu itu. Yang ikut terbakar dengan hebatnya. Hingga membuat asap dari hasil pembakaran itu. Membumbung tinggi di langit pulau itu. Yang tampak menyelimuti puncak bukit di Pulau Hitam. Di mana Malaikat Hitam dan Malaikat Merah tengah menyaksikan semua kejadian itu. Sejak dari tadi, dengan seksama. Tak ingin melewati setiap detik peristiwa itu. Peristiwa yang bagi mereka sangat menyenangkan sekali. Melihat kebakaran seperti itu. Ada keraguan pada diri Malaikat Hitam, jika para pemenang kuis itu sudah mati terbakar termasuk Andi alias Malaikat Putih. Keraguan itu begitu besar berkecamuk di benaknya. Keraguan yang sebenarnya adalah sebuah kenyataan. "Kenapa aku tak yakin, jika mereka semua sudah mati terbakar?" tanya Pimpinan 7 Malaikat Kematian di benaknya, dengan ketidakyakinannya. "Apakah mereka semua sudah mati terbakar di dalam pondok kayu itu?" tanya Malaikat Hitam berbicara sendiri. Mengungkapkan apa yang ada di dalam kalbunya. Bersama angin yang menerpa tubuhnya. Malaikat Hitam tak berharap ada sebuah jawaban. Akan tetapi pertanyaan itu dijawab oleh Malaikat Merah. "Entahlah ...? kita belum dapat memastikannya, sekarang ini," timpal Malaikat Merah. tampak masih sibuk dengan teropongnya. Seakan sedang memastikan kematian para pemenang kuis itu. Yang pada kenyataannya telah terselamatkan berkat Andi sang Malaikat Putih. Firasat Malaikat Merah pun mengatakan jika mereka semua masih hidup. Akan tetapi ia belum berani mengatakannya saat ini. Dirinya bisa langsung kena semprot saat ini. Dirinya hanya butuh waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu, kepada pimpinannya. Terlihat posisi mereka saling membelakangi satu dengan yang lainnya. Dengan tubuh bagian belakang saling menempel satu dengan yang lainnya. Seperti pasangan kembar dempet saja. Yang tak dapat dipisahkan sama sekali, sejak mereka lahir. Asap-asap pun semakin pekat, yang dibawa oleh angin ke arah mereka berdua. Yang sebenarnya membuat napas mereka berdua tak nyaman. Karena memakai topeng tengkorak mereka. "Jika mereka sudah mati terbakar, seharusnya ada bau daging yang terbakar. Yang dibawa oleh asap-asap ini, tapi ini kenapa tidak ...?" ucap Malaikat Hitam, lalu menyampingkan tubuhnya, dari posisi semula. Seakan sudah bosan dengan posisi dempet mereka. Seperti posisi yang saling melindungi satu dengan lainnya. "Sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengatakan firasat ku," ucap Malaikat Merah di dalam hatinya. "Firasat ku juga mengatakan, bila mereka semua selamat. Lewat jalan rahasia, yang diberitahu oleh si k*****t Putih!" ujar Malaikat Merah dengan penuh kegeramannya terhadap Malaikat Putih, sambil menyampingkan tubuhnya. Hingga posisi mereka berdua, kini saling berdampingan. Dengan saling bersentuhan satu sama lainnya. Malaikat Merah pun tersentak mendengar perkataan Malaikat Merah. "Firasat, kenapa kau tak mengatakannya dari tadi?" tanya Malaikat Hitam, lalu mendengus dengan penuh kekesalannya. "Aku pun baru mendapatkannya. Kita salah perhitungan. Dan melupakan jalan rahasia itu," sahut Malaikat Merah. Jelas tak ingin disalahkan dalam masalah ini oleh pimpinannya. "Kau benar juga. Tidak aku sangka, ia dapat lepas dari doktrin-doktrin yang aku tanamkan di pikirannya itu," ujar Malaikat Hitam, lalu menatap ke arah langit berselimut asap-asap pekat. Yang seakan sedang menuju langit, untuk mencapai surga. "Katanya, dia, kau latih sendiri? Tapi kenapa kenyataannya seperti ini?" sindir Malaikat Merah kepada Pimpinannya itu. Tanpa rasa takut sama sekali terhadap Malaikat Hitam kali ini. Mendengar perkataan dari tangan kanannya. Malaikat Hitam, langsung saja melirik ke arah Malaikat Merah dengan begitu tajamnya. Seakan ingin membunuh tangan kanannya saat itu juga. "Memang ia aku latih sendiri selama ini. Tapi, sepertinya ia dan Cokelat memiliki hubungan yang kuat, hubungan yang melebihi teman biasa. Mungkin hubungan mereka adalah hubungan kekasih sesama jenis ...," timpal Malaikat Hitam. Berusaha untuk mencari alasan dalam hal itu. Karena dirinya tak ingin disalahkan dalam hal ini. Dan hal ini dipahami oleh Malaikat Merah. Yang sudah paham, sifat Malaikat Hitam itu seperti apa. "Sudahlah, kau itu jangan hanya mencari alasan saja, Pimpinan ... Terimalah kenyataan, jika kau sudah gagal mendidik dirinya.," sindir Malaikat Merah, masih sibuk meneropong ke arah sekitar pondok kayu yang telah tak tersisa bentuknya itu. "Aku ini Pimpinan kalian, aku ini tidak pernah gagal," sahut Malaikat Hitam, masih terus mengamati langit, dengan teropong yang ada di tangan kirinya. Dengan tatapan yang terfokus pada awan mendung yang semakin menghitam di atas pulau itu. "Itu terserah dirimu, di mana pun seorang Pimpinan memimpin. Mereka itu tidak pernah salah, alias tidak pernah ingin dipersalahkan ...," sindir Malaikat Merah, yang tampak tak digubris lagi oleh Malaikat Hitam. Yang terlihat sibuk dengan dengan pengamatannya itu. "Sepertinya hujan akan datang. Hujan di saat musim kemarau. Entah ini kebetulan, firasat atau efek dari asap-asap itu?" tutur Malaikat Hitam, yang seakan sedang berbicara sendiri. "Itu lebih baik, hujan bisa membuyarkan asap-asap k*****t itu!" lanjut Malaikat Merah, sambil mengibaskan tangan kanannya. Untuk mengusir asap-asap yang menghalangi penglihatannya itu. Awan mendung pembawa hujan pun akhirnya membuyarkan kandungannya dari langit. Tetapi bukan hujan lebat yang terjadi. Namun hanya gerimis yang membasahi Bumi gugusan pulau kecil itu. Terlihat Malaikat Hitam lalu mengalihkan pandangannya dari langit. Tetapi ia tampak masih meneropong ke arah reruntuhan pondok kayu itu. Seakan ia sedang mencari sesuatu hal di bawah sana. "Apakah kau ingin berlindung di dalam bukit ini, dari terpaan hujan di musim kemarau ini?" tanya Malaikat Hitam kepada Malaikat Merah, dengan seringainya. "Hujan ini tidak lebat dan tidak berpetir. Hujan ini, hanyalah gerimis lokal. Aku malah ingin menikmati hujan di musim kemarau ini ...," timpal Malaikat Merah, sambil merentangkan tangan kanannya di udara. Dengan melakukan hal seperti itu, Malaikat Merah seakan ingin menyambut kedatangan hujan di musim kemarau itu, dari langit. Dengan penuh kebahagiannya. "Ya, lebih baik kita menikmati hujan di musim kemarau ini," sahut Malaikat Hitam, lalu membaringkan tubuhnya di atas puncak bukit itu. Dengan merentangkan kedua tangannya di tanah. Dengan teropong masih ia pegang di tangan kirinya. Hujan pun terus turun mengguyur gugusan pulau kecil itu. Seakan ia ingin memadamkan api dan membuyarkan asap-asap itu. Entah demi keuntungan siapa. Dan ingin membantu siapa, hujan di musim kemarau itu. Mungkin hanya dirinyalah yang mengetahui akan hal itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN