Malaikat Hitam dan Malaikat Merah terus berjalan di lorong-lorong dalam Bukit Hitam, yang terlihat temaram. Karena sebagian lampu-lampu yang biasa menerangi tempat itu padam. Akibat dari ledakan bom waktu, yang dilakukan oleh Malaikat Cokelat, beberapa waktu yang lalu.
Dari tadi mereka berdua hanya saling terdiam saja. Seakan tak ada topik yang menarik untuk dibicarakan. Yang membuat mereka berdua untuk berbincang. Seakan mereka berdua, bagai sosok yang tak saling mengenal saja satu dengan lainnya. Hingga terasa seperti orang asing saja.
Tetap terdiam, berjalan secara beriringan di dalam lorong setinggi 3 meter, untuk menuju puncak Bukit Hitam. Dengan penuh kekesalannya. Dengan kejadian yang sudah berlalu.
Mereka berdua terus bermain dengan pikirannya sendiri. Seolah tak ingin saling berbicara di perjalanan mereka.
"Aku masih penasaran dengan perkataan Cokelat. Jika Biru ada dua. Satu Mario dan satu lagi Marco. Aku harus menanyakannya kepada Pimpinan tentang kebenarannya," ujar Malaikat Merah di dalam hatinya, sambil menatap Malaikat Hitam yang berada 2 langkah di hadapannya.
Malaikat Merah terus mengumpulkan keberaniannya, untuk menanyakan ganjalan di benaknya. Hingga keberanian itu pun muncul di benaknya.
"Pimpinan, aku ingin bertanya kepadamu," ucap Malaikat Merah, seraya terus mengekori langkah dari Malaikat Hitam.
"Biasanya juga kau langsung bertanya. Tak harus seperti itu," sahut Malaikat Hitam terus berjalan di lorong temaram itu, tanpa menoleh ke arah Malaikat Merah.
"Aku takut kau marah," Malaikat Merah berusaha tenang mengatakannya.
"Sudah jangan bertele-tele. Kau ingin menanyakan apa kepadaku?" tanya Malaikat Hitam, lalu menghentikan langkah kakinya dan bersandar di dinding lorong itu.
Begitu juga dengan Malaikat Merah yang ikut menyandarkan dirinya ke dinding lorong itu. Di kiri Malaikat Hitam, yang seakan ingin memberi kesempatan bagi tangan kanannya untuk mengungkap apa yang ingin tanyakan kepada dirinya selaku pimpinan dari 7 Malaikat Kematian.
Walaupun diberi kesempatan seperti itu. Malaikat Merah terlihat masih saja meragu, mengatakan apa yang ingin ia katakan. Hingga Malaikat Hitam pun harus bertanya kembali, kepada tangan kanannya itu.
"Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan kepadaku. Cepat katakan, jangan membuang waktu seperti ini," kata Malaikat Hitam dengan nada tegas.
"Tapi kau berjanji, jangan marah?" ragu Malaikat Merah kepada pimpinannya.
"Aku berjanji, tak akan marah. Dengan apa yang akan kau tanyakan nanti," jawab Malaikat Hitam dengan lugasnya.
Akan tetapi keraguan masih merajai diri Malaikat Merah.
"Apa perkataan mu dapat aku percaya?" tanya Malaikat Merah, dengan melirik ke arah Malaikat Hitam.
"Tentu saja, perkataan ku sangat dapat dipercaya. Sekarang katakanlah," Malaikat Hitam pun menghembuskan napasnya. Seakan ingin melepaskan seluruh beban di hatinya, saat itu juga.
"Aku hanya ingin bertanya tentang perkataan Cokelat. Jika Biru ada dua orang. Apakah itu benar? Aku butuh jawaban jujur darimu, Pimpinan," tutur Malaikat Merah.
Mendengar pertanyaan dari tangan kanannya. Pimpinan dari 7 Malaikat Kematian itu menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan nya.
"Apa kau benar-benar memerlukan jawaban itu?" tanya Malaikat Hitam dengan nada datar.
"Tentu saja," jawab Malaikat Merah dengan lugasnya.
"Ya, Biru memang ada dua. Satu Mario, satu lagi Marco," jawab Malaikat Hitam, akhirnya mengungkapkan kejujuran. Yang selama ini ia sembunyikan kepada para anak buahnya selama ini. Jika sebenarnya Malaikat Biru ada dua orang.
"Ternyata, kau benar-benar tak mempercayai aku 100?" kata Malaikat Merah, dengan kekecewaannya.
"Atas dasar apa, aku harus mempercayaimu 100%?" ujar Malaikat Hitam dengan nada sinis kepada tangan kanannya itu.
Malaikat Merah terdiam. Sedangkan Malaikat Hitam mengambil ponsel outdoor nya dari dalam jubah hitamnya. Seakan sudah tak mempedulikan kehadiran anak buahnya itu di tempat itu.
Malaikat Hitam pun, langsung menghubungi Malaikat Biru alias Marco.
Tak diangkat pada panggilan pertama.
Menelepon lagi. Hingga akhirnya di angkat oleh Malaikat Biru.
"Ada apa lagi, kau memanggilku. Pimpinan ...?" tanya Malaikat Biru, di ujung telepon sana. Yang menggunakan jalur khusus seluler mereka.
"kau memberitahukan tentang Malaikat Biru ada dua orang kepada Cokelat?" tanya Malaikat dengan begitu tajamnya kepada Malaikat Biru. Yang langsung saja menjawab pertanyaan melalui hubungan seluler itu.
"Aku mana berani Pimpinan," sahut Marco dengan nada lirih. Sambil mengingat perkataan Mario, jika dirinya telah bercerita tentang mereka berdua kepada Malaikat Putih.
"Kalau begitu, pelakunya Mario. Berani-beraninya dia melakukannya! Akan ku habisi dirinya. Setelah semua ini selesai!" teriak Malaikat Hitam dengan penuh amarahnya.
"Kau marah-marah juga percuma. Orangnya tak ada di sini. Lebih kau menyusun rencana ulang, untuk menghabisi para pemenang kuis itu," kata Marco, menyadarkan Malaikat Hitam dari amarahnya.
"Kau benar Marco. Dan aku minta kau jalani tugasmu dengan benar," ujar Malaikat Hitam, dengan tegasnya.
"Siap Pimpinan," jawab Marco, lalu menutup hubungan telepon seluler khusus itu.
Mengetahui hubungan telepon seluler itu sudah diakhiri oleh Marco. Malaikat Hitam lalu menaruh ponsel outdoor nya ke dalam saku jubah hitamnya kembali.
Dirinya lalu terdiam, dengan memandang ke arah dinding lorong setinggi 3 meter yang ada di hadapannya. Bermain dengan pikirannya sendiri. Seakan tak menganggap kehadiran Malaikat Merah di sampingnya sama sekali.
Merasa diabaikan oleh Pimpinannya. Malaikat Merah pun lalu berbicara. Yang memecahkan keheningan tempat itu.
"Pimpinan, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Malaikat Merah. Yang langsung membuat Malaikat Hitam tersadar dari lamunannya.
"Tentu saja melanjutkan perjalanan kita," jawab Malaikat Hitam, lalu melangkahkan kakinya kembali. Menyelusuri lorong yang menuju puncak bukit itu.
Tak ada pilihan lainnya bagi Malaikat Merah, kecuali mengikuti keinginan pimpinannya itu.
Terus melangkah di dalam lorong berliku setinggi 3 meter itu. Hingga mereka berdua pun tiba di puncak Bukit Hitam, tanpa halangan apa pun.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pimpinan?" tanya Malaikat Merah kepada Malaikat Hitam.
"Tentu saja menunggu mereka untuk masuk ke dalam pondok kayu itu, dan lebih baik kita menunggu dengan berbaring. Agar mereka tak mengetahui keberadaan kita," sahut Malaikat Hitam, lalu membaringkan tubuhnya. Yang diikuti oleh Malaikat Merah, tanpa berkata apa pun lagi.
***
Efek dari ledakan bom waktu itu, tak hanya di rasakan di sekitar bukit itu. Akan tetapi getaran, seperti gempa bumi juga. Dirasakan oleh Noval dan yang lainnya. Yang tengah menyelusuri pantai di pulau terluar. Untuk mencari kapal laut yang telah membawa mereka ke gugusan pulau kecil itu.
Mereka berenam tampak terkejut dengan getaran itu. Yang berpusat di bukit di Pulau Hitam. Dan mereka mengira, getaran itu adalah gempa bumi. Yang bisa memicu timbulnya tsunami. Yang akan menerpa gugusan kepulauan kecil itu.
"Sebaiknya, kita menjauhi pantai. Gempa bumi tadi, bisa saja memicu tsunami dalam beberapa menit hingga jam, mendatang," ucap Aryo, lalu menjauhi pantai itu cepat-cepat. Yang diikuti oleh yang lainnya.
"Tapi air laut tidak surut, bukannya itu salah satu dari tanda akan adanya tsunami," ucap Andro, berusaha menjelaskan. Apa yang terjadi bukankah mengarah pada tanda-tanda tsunami, yang ia ketahui selama ini.
"Teorinya, memang seperti itu. Tapi untuk berjaga-jaga lebih baik kita menjauhi pantai," timpal Aryo, dengan terus melangkahkan kakinya secara cepat.
"Aku rasa ini bukan gempa bumi. Tapi aku malah merasa, sudah terjadi sesuatu yang tidak wajar. Di dalam bukit, di Pulau Hitam itu," beber Noval, yang disambung oleh ucapan Tomy.
"Kalau begitu, lebih baik kita kembali ke Pulau Hitam saja. Dan menyelidiki, apa yang sebenarnya terjadi di dalam bukit itu," usul Tomy, dengan penuh semangatnya.
Mereka berenam lalu sepakat untuk meninggalkan pulau itu. Untuk menuju ke arah Pulau Hitam. Yang dipandu oleh Matahari yang semakin terik, untuk menuntun langkah mereka. Di dalam likuan takdir mereka yang akan terjadi nanti.