Malaikat Biru terus berlari dengan kecepatan tinggi menuju Bukit Biru, tempat tinggalnya selama ini. Tanpa mengenal lelah sama sekali. Hingga ia pun mencapai jembatan gantung kayu, yang membentang sepanjang 200 meter di udara. Penghubung antara Pulau Merah dengan Pulau Biru.
Ia pun masih terus berlari di atas jembatan gantung kayu, yang bergoyang-goyang di udara menerima beban tubuhnya. Tanpa merasa takut sedikit pun, jika tubuhnya akan jatuh dari ketinggian jembatan gantung kayu itu.
Dan mati secara tragis. Atau terluka parah. Dirinya, seakan merasa memiliki nyawa rangkap saja. Hingga tak takut akan kematian sama sekali.
Sepertinya, 5 kapsul penambah stamina yang telah ia telan nya itu. Telah ikut andil dalam mendongkrak staminanya, hingga ia pun terlihat tak mengalami kelelahan sedikit pun. Walaupun sudah berlari sejauh itu, dengan kecepatan tinggi. Yang mungkin berpengaruh juga pada psikisnya.
Hingga Marco pun tak merasakan ketakutan apa pun sama sekali di dalam hidupnya kali ini.
"Sungguh berenergi tubuhku ini ...," kata Marco, di dalam hatinya dengan penuh kebahagiannya. Terus berlari tanpa mengenal lelah sama sekali. Seakan memiliki stamina tanpa batas.
Sedangkan Aryo dan Tino tampak kelelahan di belakang Malaikat Biru. Dengan napas yang memburu bukan main. Hingga membuat mereka berdua semakin tertinggal jauh saja, dari Malaikat Biru.
Mereka berdua lalu menghentikan larinya, sebelum mencapai jembatan kayu gantung itu. Untuk mengatur napas mereka yang tak beraturan. Akibat dari kelelahan yang sedang mendera diri mereka. Memaksa di batas kemampuan mereka berlari, demi mengejar Malaikat Biru. Yang bagai setan tanpa merasakan kelelahan sama sekali.
"Apakah benar, ia manusia biasa? Kenapa ia terlihat tidak kelelahan sama sekali? Padahal sudah berlari sejauh ini?" ucap Tino dengan penuh keheranannya, mulai teratur napasnya yang memburu, dengan tatapan ke arah Malaikat Biru yang terus berlari menuju puncak Bukit Biru. Tanpa terlihat kelelahan seperti mereka berdua. Yang terlihat begitu jelas di wajah mereka.
"Entahlah, tapi mungkin saja ia mengkonsumsi sejenis n*****a, yang membuat staminanya menjadi terdongkrak seperti itu," sahut Aryo, dengan napas yang masih memburu. Walaupun sedikit demi sedikit ia pun dapat mengatur napasnya itu.
Mereka berdua pun saling pandang satu dengan lainnya. Seakan sedang mencari jawaban pasti. Tentang kondisi sosok yang sedang mereka kejar sejak dari tadi.
"Mereka benar-benar sangat misterius," kata Tino, dengan tatapan terus ke arah Malaikat Biru yang semakin jauh menuju puncak Bukit Biru, dengan kecepatan tinggi.
"Tenang saja, tentang mereka. Nanti akan kita tanyakan kepada Andi," sahut Aryo lalu tersenyum lepas tanpa beban sama sekali.
"Kau benar juga," Tino pun membalas senyum Aryo.
Tino dan Aryo terus mengatur napas mereka. Yang akhirnya kembali ke kondisi normal. Dan siap untuk mengejar Malaikat Biru kembali.
"Sebaiknya, kita lanjutkan pengejaran kita untuk menangkap dirinya!" ujar Tino saat napasnya sudah normal kembali.
"Oh, tentu saja. Kita tak akan melepaskannya," timpal Aryo, dengan penuh percaya dirinya.
"Kalau begitu kita kejar dirinya sekarang," kata Tino dengan penuh semangat.
Tino lalu kembali berlari menyeberangi jembatan gantung kayu itu. Yang diikuti oleh Aryo dari belakang. Yang membuat jembatan gantung kayu itu bergoyang di udara. Demi mengejar Marco sang Malaikat Biru.
Saat Aryo dan Tino sudah pergi jauh dari tempat itu. Andi pun tiba di tempat itu dengan napas memburu.
Dirinya pun berhenti, di mana tadi Aryo dan Tino berhenti.
"Aku rasa Marco sudah menelan pil penambah stamina. Hingga ia pun tak merasakan kelelahan sama sekali," kata Andi di dalam hatinya. Terus mengatur napasnya,yang masih memburu.
"Apakah aku harus meminum pil penambah stamina itu juga?" tanya Andi di dalam hatinya, terus mengatur napasnya yang perlahan-lahan teratur.
"Untuk saat ini, aku tak memerlukannya. Lagipula aku takut ketergantungan," kata Andi di dalam hatinya. Menjawab pertanyaannya sendiri.
"Lebih baik, aku susul mereka sekarang," Andi pun lalu berlari kembali menyeberangi jembatan kayu gantung yang bergoyang, untuk menuju Pulau Biru. Untuk menyusul rekan-rekannya. Yang di pikirannya sedang dalam bahaya. Karena Andi tahu, Marco sedang memancing mereka untuk naik ke puncak Bukit Biru.
Sementara itu Malaikat Biru yang terus berlari tanpa mengenal lelah sama sekali. Akhirnya menghentikan larinya. Saat ia telah tiba di puncak bukit Pulau Biru.
"Akhirnya sampai juga," kata Marco, lalu tersenyum sendiri dengan begitu lepasnya.
Tampak pada puncak bukit itu, hanya ditumbuhi oleh rerumputan yang mengering karena musim kemarau yang tengah melanda gugusan kepulauan kecil itu. Berlandaskan batu-batu yang tertutup oleh tanah yang sedikit basah karena gerimis yang datang sejenak, menerpa tempat itu dengan begitu konstannya.
Terlihat Pulau Biru hanya di kelilingi oleh laut lepas di timur dan di barat oleh Laguna Kematian yang menghubungkan Pulau Biru, dengan Pulau Hitam oleh lautan. Sedangkan di sebelah utara dan selatan dari pulau itu, hanya dipisahkan oleh laut sempit nan dangkal sebagai pemisah dengan pulau terluar lainnya, yang dihubungkan dengan jembatan gantung kayu yang menghubungkan tiap pulau kecil itu.
Nampak Malaikat Biru lalu melipatkan kedua tangannya, Seakan dengan sengaja menanti kedatangan Aryo dan Tino di tempat itu. Untuk menghadapi dirinya, di dalam rencananya.
"Walaupun aku tak bisa menghabisi mereka semua. Paling tidak, dua dari mereka akan ku habisi. Atau jika tak bisa, mereka akan kubawa bersamaku ke alam kematian," kata Malaikat Biru di dalam hati, dengan memandang ke arah dirinya datang. Berharap para pengejarnya segera tiba di tempat itu.
Akan tetapi, sosok yang ditunggunya tak kunjung tiba. Hingga dirinya pun merasa kesal bukan main.
"Lama sekali mereka," kata Marco, kali ini berkata sendiri. Dengan penuh kekesalannya terhadap para pengejarnya.
Terus menunggu dengan penuh kegundahannya. Karena waktu terasa begitu lama berputar. Padahal baru berjalan beberapa menit saja. Hingga ia pun melihat sekelebat bayangan putih. Yang menuruni bukit itu, dengan kecepatan tinggi.
"Jangan-jangan itu hantu Putih?" tanya Marco di dalam hatinya, mulai berspekulasi.
"Bersabarlah, aku akan segera berduel di alam kematian denganmu. Aku akan segera menepati janjiku itu," Malaikat Biru pun lalu tertawa dengan begitu kerasnya. Seakan telah membulatkan tekatnya untuk mati di tempat itu. Agar dirinya dapat berduel dengan Malaikat Putih yang sudah mati, di alam kematian.
Selang beberapa menit kemudian, Aryo dan Tino pun tiba di puncak Bukit Biru.
Mereka berdua lalu menghentikan larinya. Tepat 2 meteran di hadapan Malaikat Biru. Yang terlihat sudah merencanakan sesuatu hal di benaknya sedari tadi.
"Selamat datang di Pulau Biru, milikku ini. Di sinilah kalian akan mati dan tamat ...!" ucap Malaikat Biru dengan keangkuhannya kepada Aryo dan Tino.
"Jangan membual! kamilah yang akan menangkap dirimu," timpal Aryo, kepada Malaikat Biru dengan penuh kegeramannya.
"No, ayo kita tangkap dirinya ...!" ajak Aryo kepada Tino, lalu berlari untuk menangkap Malaikat Biru. Yang diikuti oleh Tino.
"Apakah kalian mampu menangkap ku?" ejek Malaikat Biru kepada Aryo dan Tino.
"Akan kami buktikan!" teriak Aryo, lalu menuju ke arah Malaikat Biru.
Tampak tangan kanan Aryo, berusaha untuk menangkap dan mengunci tangan Malaikat Biru. Tetapi dengan sigapnya, Malaikat Biru dapat menangkisnya, bahkan ia pun dapat memukul perut Aryo dengan tangan kirinya. Hingga Aryo pun terhuyung ke belakang.
"Omong besar saja," kata Malaikat Biru lalu tertawa dengan begitu kerasnya. Yang menggema bersama angin di tempat itu. Seolah ingin menyaksikan baku hantam di antara mereka hingga mati.