Bab 26. (Tujuan Berkumpul Mendadak)

1137 Kata
Melihat Malaikat Biru yang terus bertingkah seperti itu. Malaikat Merah langsung saja berbicara dengan kerasnya. Seolah dirinya benar-benar tak menyukai tingkah rekannya yang seperti itu. "Hai, Artis Korea! Kau itu jangan bergaya seperti supermodel saja. Ingat, saat kau berkostum seperti ini. Bergayalah seperti seorang Malaikat Kematian," kata Malaikat Merah, lalu menyikut Malaikat Biru. Hingga Malaikat Biru pun tersadar kembali sebagai anggota 7 Malaikat Kematian, dari khayalannya. "Oh ya, aku lupa," sahut Malaikat Biru, lalu tertawa dengan renyahnya. "Biru, kau ini berisik sekali," kata Malaikat Kuning. "Sendirinya, seperti tak pernah tertawa saja," timpal Malaikat Biru dengan ketusnya kepada Malaikat Kuning, seusai menghentikan tawanya. "Sudahlah, kalian berisik sekali," kata Malaikat Hitam. Yang membuat semuanya terdiam. Tak berani saling bersilat lidah lagi. Akan tetapi sesaat kemudian Malaikat Merah pun berbicara kepada Malaikat Hitam. "Pimpinan, sebenarnya kau ingin apa memanggil kami mendadak seperti ini?" tanya Malaikat Merah dengan penuh selidik. "Aku akan memberitahu tahu kalian. Jika semuanya sudah berkumpul," jawab Malaikat Hitam dengan ringannya. "Pasti kau sedang menunggu Putih?" seloroh Malaikat Merah. "Ya, tentu saja," jawab Malaikat Hitam lalu menatap ke arah Bulan di langit. "Kau masih saja mengandalkannya. Apakah kah, kau tak mempercayai firasat ku?" papar Malaikat Merah. "Aku memakai logika. Tak mempercayai akan hal seperti itu," beber Malaikat Hitam. "Tapi kenapa kau takut, dengan Putih di dalam mimpimu?" tanya Malaikat Merah dengan penuh selidik. "Aku tak pernah takut, dengan hal seperti itu," sahut Malaikat Hitam dengan nada datar. Seakan tak pernah dihantui oleh Malaikat Putih yang sudah mati di dalam mimpinya. "Aneh, kau berbeda dengan yang tadi. Jangan-jangan benar, kau itu ada dua orang. Saat dulu aku melihatmu, di tempatmu," ungkap Malaikat Merah, yang membuat semuanya terkejut bukan main dengan perkataan rekan mereka itu. "Apakah yang dikatakan oleh Merah itu benar?" tanya Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Walaupun disudutkan seperti itu. Akan tetapi Malaikat Hitam, terlihat begitu tenang menghadapi hal itu. "Kau itu waktu itu sedang mabuk jadi berhalusinasi seperti itu," sahut Malaikat Hitam dengan begitu santainya, tanpa beban sama sekali. Malaikat Merah pun terdiam, berusaha untuk mengingat kejadian itu. Hingga dirinya pun mengingat kejadian itu. Dirinya memang sedang mabuk pada saat itu. "Apa, aku benar-benar mabuk saat itu? Lebih baik aku iya kan saja. Agar dirinya senang," tanya Malaikat Merah, lalu tertawa di dalam hatinya. "Kau benar Pimpinan, memang pada saat itu aku sedang mabuk," ucap Malaikat Merah, dengan penuh keyakinannya. Padahal hanya pura-pura saja. Yang membuat rekan-rekannya menjadi tenang. Kecuali Malaikat Cokelat, yang menduga jika Malaikat Merah sedang dimanipulasi oleh pimpinan mereka. "Aku tetap percaya, dengan perkataan Merah yang pertama. Jika Hitam ada dua. Sesuai dengan apa yang diduga oleh Putih," tutur Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Mereka berenam lalu terdiam. Hingga tiba-tiba saja terjadi gempa bumi di tempat itu. Yang mengguncang tempat itu dengan cukup keras. Hingga membuat tsunami setinggi 10 cm. Mereka berenam yang sedang terdiam bermain dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba saja tersentak, dengan tubuh yang terhuyung. "Kenapa sekarang sering terjadi gempa bumi?" tanya Malaikat Biru, berusaha menstabilkan tubuhnya. Bersama rekan-rekannya. "Ya, gempa ini seperti sebuah pertanda saja," lanjut Malaikat Kuning, dengan penuh kepolosannya. "Tapi pertanda apa?" sambung Malaikat Hijau, dengan penasarannya. "Pertanda kematian kalian!" seru Malaikat Cokelat, lalu tertawa. Namun bukan suara dan tawa yang biasa ia keluarkan. Yang membuat semuanya melirik ke arahnya. Suara itu, suara yang pernah mereka kenal. Akan tetapi saat ini pemilik suara itu sudah mati. "Kau jangan asal bicara saja!" teriak Malaikat Kuning, terhadap perkataan Malaikat Cokelat. Yang tiba-tiba menghentikan tawanya. "Aku memang bicara apa Kuning?" kata Malaikat Cokelat, seakan ia tak mengatakan hal apa pun tadi. Mendadak semuanya terkejut. Dan mengingat suara yang berkata tadi bukanlah suara Malaikat Cokelat, tetapi suara dari Malaikat Putih yang sudah mati. Menurut keyakinan mereka semua. Mereka berenam terdiam. Hingga Malaikat Hitam pun berkata kepada Malaikat Cokelat. "Apa kau benar-benar tak ingat sudah mengatakan apa tadi?" tanya Malaikat Hitam dengan melirik ke arah Malaikat Cokelat yang ada di sampingnya. "Aku dari tadi hanya terdiam. Aku sedang mengingat Malaikat Putih yang sudah mati. Jika kau tak percaya, tatap lah mataku ini ...," Malaikat Cokelat lalu mengarahkan wajah bertopeng tengkorak cokelatnya ke arah wajah topeng tengkorak hitam, pimpinannya. Malaikat Hitam, lalu memandang sepasang mata Malaikat Cokelat dengan begitu tajam. Di dalam mata anak buah berwarna cokelat itu. Pimpinan dari 7 Malaikat Kematian tak menemukan sama sekali. Dusta di atas perkataannya Malaikat Cokelat. "Tak ada kebohongan di matanya itu. Tapi kenapa ia bisa berkata, dengan suara Putih?" tanya Malaikat Hitam di dalam hatinya. Terus termenung dengan tatapan mata tajam kepada Malaikat Cokelat. Hingga Malaikat Cokelat pun bertanya kembali kepada pimpinan, untuk menghilangkan kejenuhannya. "Apakah, kau menemukan kebohongan di mataku ini?" tanya Malaikat Cokelat kepada Malaikat Hitam, yang tetap saja menatap matanya dengan begitu tajam. Perkataan itu, telah membuat Malaikat Hitam tersadar dari lamunannya. "Ya, aku tak menemukan kebohongan di matamu," sahut Malaikat Hitam. Yang disambung oleh perkataan dari Malaikat Merah. "Lalu siapa yang berkata tadi. Dengan suara Putih?" tanya Malaikat Merah dengan penuh selidik. "Ya, dia memang Putih," sahut Malaikat Hitam dengan entengnya. Seakan bertolak belakang dengan dirinya, yang ketakutan dihantui oleh Malaikat Putih di dalam mimpinya. "Jadi tadi Cokelat kerasukan?" tanya Malaikat Biru kali ini. "Ya, bisa dibilang begitu," balas Malaikat Hitam dengan entengnya. "Tapi kenapa kau tak takut dengan dirinya?" lanjut Malaikat Biru dengan penuh keheranannya. "Kenapa aku harus takut?" tanya balik Malaikat Hitam kepada Malaikat Biru. "Bukannya kau takut dengan Putih yang selalu menghantui mu dalam mimpi?" ungkap Malaikat Biru. "Sudahlah, jangan diungkit hal itu lagi. Dengarkanlah ini langkah kaki Putih," kata Malaikat Hitam mengalihkan pembicaraan mereka. Semuanya pun terdiam. Hingga suara langkah kaki Malaikat Putih semakin terdengar jelas. Hingga sosoknya muncul di samping Malaikat Cokelat. "Maaf, aku terlambat lagi," kata Malaikat Putih, membuyarkan keheningan tempat itu. Yang langsung saja dijawab oleh Malaikat Merah. Yang entah kenapa sangat membenci Malaikat Putih. Seakan memiliki dendam kesumat saja terhadap anggota termuda dari 7 Malaikat Kematian itu. "Itu sudah biasa. Jika tak terlambat, itu yang aneh," timpal Malaikat Merah dengan ketusnya. "Kau pikir mudah menjadi aku. Menyusup dan harus menyatu dengan mereka?" jawab Malaikat Putih tak kalah ketusnya. "Bagiku mudah saja. Aku tak harus menyusup, aku akan membunuh mereka sekaligus. Dengan membakar pondok kayu itu," balas Malaikat Merah, lalu tertawa dengan begitu kerasnya. Baru saja Malaikat Putih ingin membalas perkataan dari Malaikat Merah. Malaikat Cokelat pun berkata, untuk membela Malaikat Putih. "Bicara apa kau Merah? Semua itu sudah menjadi peraturan yang dibuat oleh Pimpinan. Jika kau melakukan hal itu, tanpa perintah dari Pimpinan. Maka kau bisa disebut pengkhianat," tutur Malaikat Cokelat. Yang langsung membuat Malaikat Merah naik pitam. "Jadi kau menuduhku pengkhianat!?" teriak Malaikat Merah tak terima dituduh sebagai seorang pengkhianat, Hingga membuat pimpinan mereka harus turun tangan. Untuk mendamaikan anak buahnya. "Diam Kalian!" ujar Malaikat Hitam dengan suara yang bergelegar di tempat itu. Semua pun terdiam. Tak ada yang berani berkata sepatah kata pun. Seolah pimpinan mereka, adalah malaikat kematian yang sesungguhnya bagi mereka semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN