Ledakan akibat dari bom waktu, yang diledakkan oleh Malaikat Cokelat pun berefek domino, dan menjalar ke segala arah. Bukannya hanya di dalam bukit itu saja yang terguncang. Akan tetapi di sekitar bukit itu pun ikut terguncang dengan hebatnya.
Saking dahsyatnya ledakan itu, bukit di Pulau Hitam pun berguncang, seperti sedang terjadi gempa bumi di pulau itu.
Kerikil-kerikil tampak berjatuhan dari puncak Bukit Hitam. Dan satu dari kerikil-kerikil itu, ada yang mengenai wajah bertopeng tengkorak, Malaikat Biru yang terlihat sedang tertidur dan masih berbaring di ilalang tinggi itu, menghadap ke langit tanpa batas.
"s**l! untung aku memakai topeng tengkorak ini. Jika tidak, maka wajah tampanku ini, akan terluka terkena kerikil itu ...," ucap Malaikat Biru berkata sendiri. Seperti orang yang sudah tak waras saja.
Malaikat Biru lalu bangkit dari berbaring nya, dan duduk di dalam ilalang, dengan tatapan mata mengarah ke atas puncak Bukit Hitam. Berusaha untuk menyelidiki apa yang sebenar telah terjadi di bukit itu. Hingga kerikil-kerikil berjatuhan dari atas puncak bukit itu, dengan begitu masifnya.
"Sebenarnya ada apa dengan bukit ini? Tadi aku merasakan adanya getaran gempa bumi?" tanyanya di dalam hatinya, dengan penuh penasarannya.
"Lebih baik, aku tanyakan saja pada Pimpinan," pikir Malaikat Biru di dalam hatinya.
Tangan kiri Malaikat Biru lalu merogoh kantong pada jubah berwarna birunya. Dan saat tangan kirinya telah kembali ke luar dari kantong jubah birunya itu. Tangan kirinya pun sudah menggenggam sebuah ponsel berbentuk candy bar. Yang langsung ia aktifkan.
Sesaat kemudian telepon fitur itu pun aktif. Ia lalu menelepon Pimpinannya. Saking ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di dalam Bukit Hitam. Bukan mengkhawatirkan keadaan Malaikat Hitam dan Malaikat Merah yang sedang berada di dalam bukit itu. Baik-baik saja atau tidak.
Satu panggilan tak ada respons dari Pimpinannya. Hingga ia pun menghubunginya kembali untuk yang kedua kalinya.
Hasilnya tetap sama. Malaikat Hitam seakan sedang mengabaikan dirinya. Hingga tak mengangkat sambungan seluler internal itu.
"Sebenarnya ada apa dengan Pimpinan, kenapa tak mengangkat teleponku?" tanya Malaikat Biru di dalam hatinya. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran saja.
Dirinya lalu menghubungi Malaikat Hitam kembali. Dengan harapan kali ini ada hasilnya.
Tut ..!!
Akan tetapi tetap saja tak ada respon dari Pimpinan 7 Malaikat Kematian.
Marco tetap tak menyerah. Ia pun menelepon Malaikat Hitam kembali.
Dan kali ini direspon oleh Pimpinannya. Yang membuat jalinan telekomunikasi seluler independen pun terjadi di antara mereka berdua.
"Ada apa Biru, kau menghubungi diriku?" tanya Malaikat Hitam, dengan nada suara. Seperti orang yang kelelahan.
"Aku hanya ingin bertanya. Kenapa tadi Bukit Hitam ini, bergetar dari dalam?" tanya Malaikat Biru kepada Malaikat Hitam, yang sedang terjebak di dalam Bukit Hitam bersama tangan kanannya, alias Malaikat Merah.
"Itu karena ulah si k*****t Cokelat, ia sudah membom ruang utama markas kita, dengan bom waktu yang sudah ia tanamkan di ruang utama, markas kita. Dan efeknya tidak aku sangka sedahsyat ini. Aku dan Merah pun sedang terjebak di dalam, di tengah bukit ini," sahut Malaikat Hitam, dengan penuh kekesalannya terhadap Malaikat Cokelat. Yang di dalam pikirannya sudah mati.
"Bagaimana bisa?" tanya Marco, seakan tak mempercayai perkataan dari Malaikat Hitam.
"Apa kau tak mempercayai aku?" tanya Malaikat Hitam dengan penuh kegeramannya kepada anak buahnya itu.
"Kau jangan kesal seperti itu. Aku percaya dengan semua perkataan mu itu. Tapi kenapa dengan Cokelat, hingga melakukan hal seperti itu?" tanya Malaikat Biru dengan penuh selidik terhadap pimpinannya.
"Dia bersama Putih sudah mengkhianati kita!" sahut Malaikat Hitam dengan penuh kegeramannya terhadap sosok kedua anak buahnya.
"Oh ..., ternyata apa yang kuduga benar. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke markas, untuk menolong diri kalian?" tanya Malaikat Biru. Menawarkan bantuan kepada Malaikat Hitam.
"Tidak perlu, kami bisa menolong diri kami sendiri. Kau tetap jalani tugasmu. Habisi mereka berenam, termasuk Putih ...," ucap Malaikat Hitam, memberi perintah kepada Malaikat Biru. Yang sangat bahagia menerima perintah, untuk membunuh para pemenang kuis itu, termasuk Malaikat Putih.
"Baiklah, akan aku lakukan. Dengan apa yang kau inginkan itu," timpal Malaikat Biru, lalu memutuskan hubungan seluler internal itu.
"Ini benar-benar di luar dugaan ku. Aku tak menyangka Cokelat akan senekat dan bertindak secepat ini. Adanya pembelotan di dalam tubuh 7 Malaikat Kematian. Menyebabkan keadaan benar-benar darurat. Ditambah kematian Hijau dan Kuning ...," ucap Malaikat Biru di dalam hatinya. Dengan segala kekhawatirannya.
"Akan tetapi, ini sangat menyenangkan bagiku. Aku diberi perintah untuk menghabisi mereka," kata Marco di dalam hatinya. Lalu tertawa dengan penuh kebahagiannya.
Ia pun lalu merebahkan dirinya kembali di antara ilalang tinggi itu. Yang ditemani oleh Matahari di langit. Yang seakan sedang mengamati semua kejadian di gugusan pulau kecil itu. Dengan ponsel masih ada di genggaman tangan kirinya.
Baru saja Marco ingin tertidur kembali. Tiba-tiba saja ponselnya berdering kembali.
Sontak saja dirinya begitu terkejut bukan main. Dirinya mengira, jika Pimpinannya lah yang sedang menelepon dirinya. Karena ada sesuatu hal yang luput ia katakan tadi.
Akan tetapi pikirannya itu salah. Ternyata yang menelepon itu adalah Mario. Sang Malaikat Biru cadangan.
Sebenarnya Marco malas untuk mengangkat panggilan telepon itu. Akan tetapi dirinya tak memiliki alasan untuk menolak panggilan itu. Dan dirinya pun merasa. Mungkin ini adalah saat terakhir dirinya berbincang dengan Mario. Bukan sekedar firasat, akan tetapi dirinya ingin mati. Agar keluarganya tak dapat masalah apa pun. Karena perbuatannya. Ia ingin menanggung semua perbuatannya selama ini seorang diri.
Marco akhirnya mengangkat panggilan telepon dari sepupunya. Akan tetapi, ia hanya terdiam, tak berbicara sepatah katapun. Hingga akhirnya Mario lah yang mengawali pembicaraan di antara mereka.
"Hai Marco, apa kau sudah mati?" tanya Mario dengan nada serius dan penuh kekesalannya. Dengan sikap Marco yang tetap terdiam.
"Apa kau ingin aku cepat mati?" sahut Marco, dengan ketusnya.
"Tidak. Aku hanya mengkhawatirkan mu. Tadi aku bermimpi kau mati, di bunuh oleh Pimpinan. Oleh karena itu, sekarang lebih baik kau tinggalkan mereka. Dan cepat pulang ke Jakarta," tutur Mario, dengan alasannya.
"Aku ke Jakarta, pasti aku langsung ditangkap oleh pihak berwajib. Dan lebih parah lagi, kalau aku meninggalkan mereka. Pasti mereka akan menghabisi aku dan keluargaku, dan pastinya kau pun akan menanggung akibatnya," sahut Marco dengan panjang lebarnya.
Mario terdiam di ujung telepon. Hingga Marco pun bersuara kembali.
"Kenapa kau terdiam, Artis Korea?" tanya Marco dengan penuh penasarannya.
"Maafkan aku-" perkataan Mario pun dipotong oleh Marco.
"Maaf untuk apa?" tanya Marco dengan penuh selidik.
"Kau ini, aku ini belum bicara. Tapi kau main potong saja," ketus Mario pun berkata.
"Iya, kau meminta maaf untuk apa?" Marco pun semakin penasaran saja.
"Aku sudah menceritakan tentang kita kepada Putih. Kalau Malaikat Biru itu ada dua," jelas Mario, yang membuat Marco bagai tersambar petir di siang bolong.
"Kau itu benar-benar. Apa kau tak tahu, kalau Putih membocorkannya kepada yang lain?" sewot Marco kepada Mario.
"Maafkan aku, itu sudah terjadi. Sekarang lebih baik kau pulang," pinta Mario, dengan penuh penyesalannya.
"Aku pertegas, aku tak akan pulang. Aku lebih memilih mati di sini!" sahut Marco, lalu memutuskan hubungan teleponnya dengan sepupunya itu.
"Semua hal pasti ada risikonya, dan aku siap menanggung semua risiko itu," kata Malaikat Biru, lalu tersenyum kecut. Seakan sedang melihat kematiannya.
"Lebih baik, aku bermain game saja," Malaikat Biru lalu masuk ke aplikasi game di ponsel fitur itu.
Sesaat kemudian, ia pun sudah terbuai oleh permainan dari game sederhana di ponsel fiturnya itu. Ditemani oleh Matahari yang semakin meninggi di langit.