"TIDAK MUNGKIN!" seru Malaikat Putih, dengan penuh keterkejutannya, atas penjelasan dari Malaikat Cokelat. Yang terlihat semakin bersedih saja atas kematian Malaikat Hijau. Padahal selama ini, dirinya tak dekat dengan Malaikat Hijau sama sekali. Bahkan bisa dikatakan mereka berdua lebih banyak saling berseberangan daripada saling sepahaman, satu dengan lainnya.
"Tapi itu adalah kenyataannya," timpal Malaikat Cokelat, masih dengan nada lirih.
"Bukannya kita sebagai seorang teman, seharusnya saling menolong dan membantu. Di saat teman kita dalam kesulitan?" papar Malaikat Putih, dengan ketidakmengertiannya. Dengan apa yang dilakukan Malaikat Hitam terhadap Malaikat Hijau, senja tadi.
"Itu teori bagi manusia normal, tapi kenyataannya ia tidak seperti itu. Ia hanya menganggap kita sebagai pion nya saja. Jika sudah tidak ia butuhkan, maka ia akan membuangnya begitu saja. Habis manis ..., sepah dibuang ...," jelas Malaikat Cokelat. Atas perkataan dari Malaikat Putih.
"Kalau seperti itu, buat apa kita tetap mengikuti dirinya lagi. Lebih baik kita melepaskan diri, dari dirinya. Kalau kita tidak ingin bernasib seperti Hijau. Habis manis, sepah dibuang," ucap Malaikat Putih, dengan penuh kegeramannya terhadap Malaikat Hitam.
"Itu tidak semudah yang kita bayangkan. Sebenarnya kita pun sudah terjebak di gugusan Pulau Kematian ini. Di dalam permainan Pimpinan kita," timpal Malaikat Cokelat, dengan nada yang kembali normal. Karena sudah dapat menguasai emosinya kembali.
"Ya, kita benar-benar pion bagi dirinya. Tapi aku juga bisa nekat. Aku bisa membuka jati diriku kepada mereka. Dan bergabung untuk menghadapi Pimpinan," ucap Malaikat Putih, yang tiba-tiba saja merasakan kepalanya pening. Tanpa sebab yang pasti.
"Kenapa, kepalaku menjadi pusing seperti ini?" ujar Malaikat Putih, lalu mengambil botol bergambar tengkorak dari dalam jubahnya dengan tangan kirinya.
Malaikat Cokelat pun memperhatikan dengan penuh seksama dengan apa yang terjadi dengan Malaikat Putih. Dirinya pun langsung bisa menebak, apa yang sebenarnya. Terjadi dengan rekannya itu.
"Sepertinya, ia sudah menelan kapsul hitam itu," tebak Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Terus memperhatikan rekannya.
Saat botol itu sudah ada di tangan kirinya, tiba-tiba saja Malaikat Cokelat merebut dengan tangan kirinya. Lalu melemparnya ke arah laut lepas. Yang membuat Malaikat Putih terkejut dengan ulah dari Malaikat Cokelat. Tak menduga sama sekali, jika rekannya akan melakukan hal itu.
"Apa-apaan kau Cokelat! Itu obat untukku," ujar Malaikat Putih, dengan penuh kekesalannya dengan apa yang sudah dilakukan oleh rekannya itu.
"Itu sebenarnya bukan obat penghilang sakit kepalamu. Akan tetapi sejenis obat, perpaduan dari berbagai obat terlarang. Kalau kau terus mengkonsumsinya, maka rasa ingin membunuhmu akan semakin kuat ...," jelas Malaikat Cokelat. Yang membuat Malaikat putih begitu terkejut bukan main.
"Lalu apa yang harus aku lakukan, untuk menghilangkan rasa sakit kepalaku ini?" tanya Malaikat Putih, dengan nada panik kepada Malaikat Cokelat. Karena dirinya benar-benar tak ingin menjadi seorang pembunuh. Sejak awal dirinya berada di kelompok itu, karena sebuah keterpaksaan.
"Aku punya cara efektif untuk menghilangkan pengaruh obat itu, sekaligus sakit kepalamu itu," sahut Malaikat Cokelat, menawarkan solusi yang ia miliki kepada rekannya.
"Bagaimana caranya?" tanya Malaikat Putih dengan penuh selidik kepada Malaikat Cokelat.
"Tenang saja, aku akan melakukannya sekarang," timpal Malaikat Cokelat, lalu tersenyum lepas. Seakan tak memiliki beban sama sekali di dalam hidupnya.
Malaikat Cokelat lalu menggenggam pergelangan tangan kanan Malaikat Putih. Dengan tangan kirinya, lalu menekan urat nadinya dengan kencangnya. Yang maksudnya tak dimengerti sama sekali oleh Malaikat Putih.
Perlahan-lahan rasa pening di kepala Malaikat Putih itu pun menghilang sama sekali. Seakan dirinya tak pernah merasakan rasa sakit kepala itu. Yang sebenarnya disebabkan oleh kapsul hitam pemberian Malaikat Hitam, yang sudah ia telan beberapa waktu yang lalu.
"Apakah, sekarang rasa sakit di kepalamu sudah menghilang?" tanya Malaikat Cokelat, dengan nada tenang terhadap Malaikat Putih.
"Sudah," mendengar jawaban dari Malaikat Putih. Malaikat Cokelat lalu menghentikan tekanannya pada urat nadi pergelangan tangan kanan Malaikat Putih.
Tampak tangan kirinya pun, lalu menggenggam kanan kiri Malaikat Putih dengan eratnya.
"Kenapa kau mengetahui tentang cara, mengendalikan efek dari pengaruh dari obat itu?" tanya Malaikat Putih dengan penuh selidik kepada Malaikat Cokelat.
"Karena aku pun pernah diberikan kapsul hitam seperti itu. Tapi aku berbeda dengan yang lainnya. Yang langsung percaya begitu saja, dengan doktrin-doktrin yang dianggapnya paling benar oleh dirinya itu-" Malaikat Cokelat lalu melepaskan genggaman tangannya. Dan lalu melanjutkan perkataannya kembali.
"Aku hanya menelan kapsul hitam itu hanya satu kali, di saat aku diberikan oleh Pimpinan. Karena aku merasa ada yang tidak beres dengan kapsul itu. Aku pun lalu menyelidiki komponen kimia dari kapsul hitam itu," bebernya, seakan menggantung ucapannya itu. Yang membuat Malaikat Putih penasaran dibuatnya.
"Kau menyelidiki kapsul hitam itu? Memang kau itu seorang dokter?" tanya Malaikat Putih, semakin penasaran saja dengan sosok asli dari Malaikat Cokelat.
"Bisa dibilang, aku ini adalah dokter yang gagal," jawab Malaikat Cokelat dengan santainya, tanpa beban sama sekali.
"Dokter yang gagal? Maksudmu itu apa?" tanya Malaikat Putih, dengan polosnya.
"Aku tidak menyelesaikan kuliahku," timpal Malaikat Cokelat, dengan entengnya.
"Dengan alasan apa, kau tidak menyelesaikan kuliahmu itu?" tanya Malaikat Putih dengan penuh selidik dan keingintahuannya. Hingga membuat Malaikat Cokelat tak suka dengan pertanyaan dari rekannya itu. Yang terlalu ingin tahu, siapa dirinya yang sebenarnya.
"Sudahlah, kau jangan banyak bertanya tentang diriku. Karena hal itu tidak penting bagimu-" Malaikat Cokelat lalu duduk. Dan melanjutkan ucapannya kembali.
"Aku tahu, kau tidak tega untuk membunuh orang. Oleh karena itu, Pimpinan memberi kapsul hitam itu kepadamu," lanjut Malaikat Cokelat. Yang membuat Malaikat putih duduk di samping Malaikat Cokelat.
"Ya, hal itu benar," jawab Malaikat Putih dengan jujurnya.
"Kalau begitu, kita sama. Kita sudah terjebak, masuk ke dalam kelompok gila ini. Di saat diri kita labil," tutur Malaikat Cokelat dengan penuh kegeramannya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Malaikat Putih, dengan penuh keseriusannya.
"Kita akan mengkhianati, 7 Malaikat Kematian," beber Malaikat Cokelat dengan nada dingin, seraya melirik ke arah Malaikat Putih yang ada di sampingnya.
"Tapi katamu, itu bukannya hal yang tidak mudah?" Malaikat Putih pun merasa heran, dengan perkataan Malaikat Putih yang seakan tak konsisten dengan perkataan sebelumnya.
"Itu kalau dilakukan tanpa rencana," timpal Malaikat Cokelat.
"Lalu apa rencana mu?" Malaikat Putih semakin penasaran saja.
"Aku akan membuka akses telekomunikasi, yang selama ini dikunci. Agar semua nomor telepon para pemenang kuis itu dapat terhubung, dan dapat menghubungi dunia luar, yang selama ini tak dapat mereka lakukan, " timpal Malaikat Cokelat. Dengan tatapan yang menerawang entah ke mana.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Malaikat Putih kembali.
"Kau tetap menyusup di antara mereka. Aku takut, kalau kau membuka penyamaran mu di saat yang tidak tepat. Itu bisa menjadi bumerang bagimu," papar Malaikat Cokelat.
"Hanya karena alasan itu?"
"Tidak juga, kita akan membuat permainan psikologi terhadap Malaikat Kematian," timpal Malaikat Cokelat, lalu tersenyum tipis kepada Malaikat Putih.
"kalau itu keinginanmu, baiklah akan ku turuti keinginanmu itu," ucap Malaikat Putih, dengan nada lirih.
Mereka berdua pun terus berbincang, dengan rencana mereka semua. Rencana untuk mengkhianati 7 Malaikat Kematian. Tempat mereka bernaung selama ini. Yang mungkin karena terpaksa, dengan alasan yang hanya mereka sendiri ketahui.