Bab 44. (Pesan dari Malaikat Putih)

1112 Kata
Kekalutan yang sedang dirasakan oleh Noval pun dapat dibaca oleh Malaikat Putih. Yang langsung saja mengungkapkannya kepada Noval. Yang ada di hadapannya secara langsung. "Kau jangan panik seperti itu. Tujuanku menemui dirimu. Aku ingin kau mempercayai, Malaikat Putih," sahut Malaikat Putih. Mengutarakan maksudnya kepada Noval. "Bukannya itu kau?" tanya balik Noval, sudah merasa tenang. Karena ia yakin, jika sosok di depannya. Tak memiliki niat untuk membunuhnya sama sekali. "Ya, aku adalah Malaikat Putih," timpal Malaikat Putih, mempertegas dirinya. "Ya, aku mempercayaimu," Noval pun tersenyum. Walaupun dirinya tak mampu menggerakkan tubuhnya sama sekali. "Pokoknya percaya saja pada Malaikat Putih," sosok itu pun lalu menghilang begitu saja dari penglihatan Noval. Yang begitu terkejut menyaksikannya. Seolah tak terima, jika dirinya telah mengalami hal aneh seperti itu. "Hantu ...?" tanya Noval bicara sendiri dengan nada lirih. Menatap hampa, tempat lawan bicaranya tadi berada. Yang kini telah hilang bagai di telan Bumi saja. "Apakah aku sedang berhalusinasi?" kata Noval masih di dalam hatinya, dengan penuh kebingungannya. Atas kejadian yang sedang ia alami. Noval lalu memejamkan matanya, saking tak percayai dengan apa yang sudah ia alami barusan. Untuk memastikan jika kejadian itu, bukan sekedar hanya halusinasinya saja. "Ini benar-benar di luar nalar ku," Noval pun membuka sepasang matanya kembali. Betapa terkejut dirinya. Saat matanya terbuka dengan sempurna. Mahasiswa itu, mendapati dirinya masih berbaring di tempat tidur di samping Andro, yang sedang menghadap ke arah tubuhnya. Suasana sudah benar-benar sepi. Hingga Noval pun tak berniat untuk mengganggu Andro atau pun siapa pun. Yang ada di dalam kamar itu. Yang bisa membuat keadaan menjadi kisruh, jika dirinya menceritakan apa yang ia alami. Hingga membuat mereka tak dapat tertidur kembali. Padahal tidur pulas sangat mereka perlukan saat ini. Untuk memulihkan stamina mereka, yang sangat terkuras oleh kejadian-kejadian yang sudah mereka hadapi sedari pagi tadi. "Lebih baik aku tidur lagi. Aku tak ingin mengganggu mereka, untuk mendengar cerita tentang mimpiku. Yang tak penting itu," kata Noval di dalam hatinya. Noval pun memejamkan sepasang matanya. Hingga sesaat kemudian dirinya terlelap ke alam mimpinya. Tanpa menyadari ada yang masih terjaga di dalam kamar itu. Yang merupakan seorang penyusup dari 7 Malaikat Kematian. Yang sedang menunggu mereka tertidur pulas. Karena dirinya ingin keluar, menemui rekannya. Tanpa ingin diketahui oleh siapa pun. Penyusup itu, alias Malaikat Putih menunggu mereka semua benar-benar tertidur dengan pulas nya. Agar penyusupan nya tak diketahui oleh para pemenang kuis itu, hingga saat ini. *** Malam pun semakin melarut, saat Noval dan yang lainnya telah benar-benar terlelap di dalam kamar itu. Kecuali satu orang yang sedang menunggu momen itu. Yaitu Malaikat Putih. Yang akhirnya keluar dari dalam kamar itu. Dengan begitu santainya. Seakan dirinya, bukanlah penyusup dari 7 Malaikat Kematian. Di langit tampak purnama semakin benderang, walaupun bentuknya itu. Tak sebesar malam kemarin, di saat purnama mencapai bentuk sempurnanya. Yang memancar aura kecantikannya ke penjuru semesta .Sebagai Dewi Malam. Tampak dari dalam pondok kayu itu, keluarlah sosok Malaikat Putih. Dari balik pintu utama pondok itu. Yang segera ia tutup kembali dengan penuh kehati-hatian nya. Agar tidak mengganggu penghuni lainnya yang sedang tertidur lelap di dalam kamar itu. Dirinya sangat berhati-hati dalam penyusupan nya itu. Hingga dirinya tak ketahuan hingga saat ini. "Andai aku tak berjanji, aku malas untuk memakai kostum ini," keluh Malaikat Putih di dalam hatinya. Sesudah menutup pintu pondok utama itu kembali. Akhirnya ia pun melangkahkan kakinya kembali. Meninggalkan dan menjauhi pondok kayu itu. Ia terus berjalan, hingga berada pada jembatan gantung kayu, sepanjang 200 meter dan setinggi 30 meteran. Yang menghubungkan Pulau Hitam dengan Pulau Cokelat secara langsung. Tak ada rasa ketakutan pada dirinya, saat dirinya tengah menyeberangi jembatan gantung kayu itu. Malaikat Putih berjalan cepat, bahkan seperti sedang berlari kecil saja. Yang membuat jembatan kayu itu bergoyang ke sana-kemari. Karena menerima beban tubuh Malaikat Putih. Yang bergerak di tubuhnya, dengan begitu liarnya. Akan tetapi ia terlihat sangat tenang. Tak takut terjatuh, dari atas jembatan gantung kayu, yang bergoyang dengan kencangnya. Karena beban dirinya. Selang beberapa menit kemudian. Ia pun telah tiba di ujung jembatan gantung kayu itu. Yang merupakan bagian dari badan terluar dari pulau terluar di gugusan Pulau kematian, yaitu Pulau Cokelat. Setelah tiba di Pulau Cokelat. Ia pun lalu menyelusuri jalan setapak yang akan menuju ke atas puncak bukit di Pulau Cokelat. Tetap dengan langkah cepatnya. Seakan seorang prajurit yang sedang ingin berperang melawan musuhnya di medan perang. Untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Tampak Malaikat Putih terus berjalan cepat, hingga akhirnya ia pun tiba di puncak Bukit Cokelat, dengan selamat dan tanpa diketahui oleh siapa pun. Di puncak bukit itu, ternyata ia telah di tunggu oleh Malaikat Cokelat. Yang nampak sedang memandang ke arah laut lepas, dengan tatapan hampa seakan sedang terseret ke masa lalunya. Membelakangi laguna yang ada di dalam gugusan kepulauan kecil itu. Walaupun Malaikat Cokelat sedang bermain dengan pikirannya sendiri. Akan tetapi dirinya menyadari kehadiran sosok yang sedang ia tunggu sedari tadi. "Rupanya kau sudah datang, Putih ...," sapa Malaikat Cokelat kepada Malaikat Putih. Tanpa melepaskan pandangannya ke arah laut lepas yang jauh di hadapannya, dengan remang cahaya Bulan di langit. "Ada apa Senior, memanggil dan ingin menemui ku di pulau ini?" tanya Malaikat Putih dengan sedikit formal. Seakan mereka tak akrab saja selama ini. "Jangan memanggilku, dengan sebutan Senior. Itu terlalu formal ...," timpal Malaikat Cokelat. Seraya melirik ke arah Malaikat Putih. Yang masih berada 2 meter di samping kanannya. "Baiklah Cokelat ...," ucap Malaikat Putih. Lalu menggeser kan kakinya, agar lebih dekat berada di samping Malaikat Cokelat. Yang segera berkata kembali. "Aku memanggilmu, hanya ingin memberitahu. Tentang kematian Hijau," ucapnya datar, seakan tak memiliki emosi sama sekali di dalam dirinya. "Aku sudah tahu itu, dari SMS yang dikirimkan oleh Pimpinan, kepada para pemenang kuis itu," timpal Malaikat Putih datar pula. "Tapi ini tentang kronologi kematiannya ...," kata Malaikat Cokelat dengan nada lirih. Sembari mengingat kematian Malaikat Hijau. Yang benar-benar diakhiri oleh Malaikat Hitam secara langsung. Untuk menuju alam kematian. "Aku sudah tahu itu, ia mati karena jatuh dari puncak Bukit Kuning," ungkap Malaikat Putih. Merespon ucapan Malaikat Cokelat. "Saat ia terjatuh dari puncak Bukit Kuning. Ia itu belum mati. Ia hanya terluka parah. Dan jika ditolong, ia aku rasa masih bisa diselamatkan nyawanya, Walaupun akan mengalami cacat sepanjang hidupnya," kata Malaikat Cokelat terus mengingat saat kematian Malaikat Hijau di benaknya. Yang benar-benar ia saksikan dengan mata kepalanya secara langsung. Bagaimana kejamnya pimpinan dari 7 Malaikat Kematian. Malaikat Putih pun terdiam. Seakan ingin memberi waktu. Untuk rekannya itu, berbicara kembali. Sesudah menghentikan ucapannya. Malaikat Cokelat pun lalu melanjutkan ucapannya kembali. "Ia mati, karena dihabisi oleh Pimpinan kita ...," lanjut Malaikat Cokelat, dengan nada semakin sedih saja. Tampak matanya pun berkaca kaca saat ia menceritakan akan hal itu. Yang terlihat di matanya, yang memang tak tertutup oleh topeng yang hanya menutupi wajahnya. Sebagai Malaikat Cokelat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN