Sepeninggalan mereka berenam dari pondok kayu itu. Tampak dari hamparan ilalang setinggi 2 meteran. Muncullah Malaikat Merah dan Malaikat Biru. Yang terlihat menjinjing, masing-masing 2 buah jirigen berisi bensin. Yang entah untuk apa, mereka gunakan nanti. Tetapi yang pasti mereka berdua terus berjalan mendekati Pondok kayu yang sudah kosong itu. Seolah tanpa penghuni sama sekali, selama ini.
Saat mereka tiba di depan pintu utama, sejauh 1 meteran. 2 anggota Malaikat Kematian itu, lalu menaruh 4 jirigen berisi bensin itu di tanah. Dengan tatapan mata ke arah pondok kayu itu, dengan begitu tajamnya.
Sepertinya mereka berdua sedang merencanakan sesuatu hal. Terhadap pondok kayu itu, bersama dua jirigen yang mereka bawa masing-masing, dari dalam markas mereka.
"Ingat Biru, sebarkan bensin ini. Pada lantai dan dinding yang terbuat dari kayu. Jangan sampai ada yang terlewati. Karena Pimpinan, menginginkan mereka dihabisi sekaligus ...," ucap Malaikat Merah, terlihat mulai membuka penutup jirigen itu satu persatu. Dengan tangan kirinya. Mengungkapkan rencana mereka terhadap pondok yang terbuat dari kayu itu.
"Tetapi, bukannya itu sayang, kalau pondok kayu ini dibakar dan habis terbakar nanti ...," sahut Malaikat Biru. Dengan tatapan penuh tanda tanya kepada Malaikat Merah. Yang telah selesai membuka seluruh penutup jirigen berisi bensin itu, dengan tangan kirinya.
"Itu bukan urusan kita, itu urusan Pimpinan. Sekarang sebaiknya kita sebarkan bensin-bensin ini ke segala arah, tanpa terkecuali," ucap Malaikat Merah, memberi perintah kepada Malaikat Biru. Yang terlihat tak b*******h. Menebarkan bensin pada pondok kayu itu.
"Orang itu, benar-benar sudah gila," kata Malaikat Biru bicara sendiri. Mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya.
"Kau baru tahu, kalau dia itu gila?" tanya Malaikat Merah. Yang tak dihiraukan sama sekali oleh Malaikat Biru.
Malaikat Merah lalu membawa sebuah jirigen berisi bensin. Dengan tangan kirinya. Lalu mulai menyebarkan ke lantai dan dinding pondok yang terbuat dari kayu. Dengan terlebih dulu menampungnya pada bekas mi cup. Yang berserakan di sekitar pondok kayu itu. Yang dilakukan oleh para pemenang kuis itu. Sejak awal mereka tiba di Gugusan Pulau Kematian.
Tampak Malaikat Biru mulai melakukan hal yang sama, yang dilakukan oleh Malaikat Merah. Hanya ia berlawanan arah melakukannya, dengan rekannya itu.
Duo Malaikat Kematian itu, terus melakukan hal itu. Hingga seluruh jirigen itu pun kosong tak berisi lagi. Hanya ada sewadah mi cup lagi, berisi bensin yang mereka miliki.
Sesudah selesai melakukan penyebaran bensin oleh mereka berdua terhadap seluruh bagian dari pondok kayu itu. Malaikat Merah dan Malaikat Biru pun berpapasan kembali, saat berada di depan pintu utama pondok kayu itu. Mereka berdua lalu saling tersenyum satu sama lainnya. Seakan ingin memberi isyarat, yang hanya dimengerti oleh mereka berdua saja.
Sehabis saling tersenyum. Tiba-tiba secara bersamaan mereka berdua lalu melempar wadah mi cup berisi bensin, yang ada di tangan kiri mereka masing-masing, ke atap pondok kayu itu.
Setelah mereka berdua melakukan hal itu. Mereka lalu menutup jirigen itu kembali. Dan lalu melangkahkan kakinya menuju ke arah ilalang setinggi 2 meteran itu kembali. Dengan membawa seluruh jirigen yang telah kosong. Agar apa yang mereka telah lakukan tak diketahui oleh siapa pun.
"Kau tetap di sini, untuk menyulut api. Saat mereka masuk ke dalam pondok ini kembali. Sedangkan aku akan kembali ke markas, untuk melaporkan semua kejadian ini," ujar Malaikat Merah, seolah sedang memberi perintah kepada Malaikat Biru sebagai Juniornya.
"Tapi bagaimana dengan bensin yang tersisa?" tanya Malaikat Biru dengan penuh kepolosannya. Menatap ke arah bensin yang berada di cup mi. Yang memang sengaja disisakan. Sebelum para pemenang kuis itu keluar dari dalam pondok kayu itu.
"Itu sebagai pemancing, bensin yang sudah menyerap di kayu-kayu pondok kayu itu. Saat mereka masuk ke pondok kayu itu. Kau sebarkan kembali," tutur Malaikat Merah.
"Tapi, apakah bensin itu akan tetap menyala saat dibakar. Kalau mereka lama kembali?" tanya Malaikat Biru kembali.
"Tentu saja, kayu yang membangun pondok kayu itu adalah kayu khusus seperti kaktus. Yang dapat menyerap bensin seperti air. Apalagi bensin itu, sudah dicampur bahan kimia khusus oleh Pimpinan. Semua hal sudah diperhitungkan oleh Pimpinan sejak dari awal," ungkap Malaikat Merah. Memberi penjelasan kepada Malaikat Biru. Yang dianggapnya sangat membosankan sekali.
"Oh jadi seperti itu," kata Malaikat Biru yang tak ditanggapi oleh rekannya sama sekali.
Malaikat Merah lalu meninggalkan Malaikat Biru di tempat itu seorang diri. Ia menerobos ilalang itu, sebagai akses cepat menuju ke markas mereka yang berada di dalam bukit di Pulau Hitam. Dengan langkah kaki cepat. Seakan dirinya sedang dikejar oleh waktu saja.
"Menunggu ..., sungguh hal yang sangat menyebalkan sekali bagi diriku," ujar Malaikat Biru berbicara sendiri.
Malaikat Biru lalu, merogoh saku pada jubah birunya. Tampak tangan kirinya itu kini memegang botol bergambar tengkorak, yang berisi 5 kapsul berwarna hitam. Dengan tangan kanannya.
Marco lalu membuka penutup botol itu. Lalu membuangnya di udara dan lalu jatuh di padang ilalang itu. Tangan kanannya lalu menarik topeng tengkorak berwarna biru itu, hingga setinggi tulang hidungnya. Yang membuat mulutnya pun terlihat. Ia lalu mengarahkan mulut botol itu yang telah terbuka itu ke dalam mulutnya. Yang membuat 5 kapsul itu satu persatu keluar dari dalam botol itu. Dan lalu masuk ke dalam mulutnya.
Setelah tanpa air, ia menelan 5 kapsul berwarna hitam itu. Malaikat Biru lalu membuang botol itu ke udara, dan jatuh di rerimbunan ilalang di sekitar tempat itu. Lalu dengan tangan kirinya, ia pun lalu menarik ke bawah topeng tengkorak berwarna birunya kembali. Sehingga topeng itu pun menutup utuh kembali wajahnya. Untuk menutupi jati dirinya yang sesungguhnya. Yang mirip dengan wajah aktor dari Korea Selatan
"5 kapsul penambah stamina sudah aku telan. Itu sudah lebih dari cukup, untuk aku mengikuti akhir dari permainan ini ...," ucapnya, lalu menjatuhkan dan merebahkan dirinya sendiri. Di dalam ilalang tinggi itu. Dan menatap langsung langit yang berada di atas dirinya. Seakan sedang menatap bintang di surga.
Baru saja dirinya merebahkan dirinya. Telepon fitur nya berdering dengan kerasnya. Marco langsung saja mengambil ponselnya dari dalam jubah birunya. Dirinya takut, Malaikat Hitam menghubunginya. Karena adanya urusan penting.
Saat telepon berukuran kecil itu ada di genggaman tangan kirinya. Marco melihat, jika yang menghubunginya bukanlah pimpinannya. Akan tetapi Mario, yang sudah berada di Jakarta.
"Kenapa Mario meneleponku? Dan kenapa ia bisa tahu, jika alat penguat sinyal itu sedang diaktifkan?" tanya Marco dengan penuh selidik di benaknya.
Telepon dari Mario ia biarkan begitu saja. Hingga waktunya pun habis. Terputus hubungan seluler itu secara otomatis.