Bab 51. (Ku Pastikan Kau Mati!)

1124 Kata
Marco tetap terdiam bermain dengan pikirannya sendiri. Tentang motif Mario menghubungi dirinya. Dengan tetap menggenggam ponselnya, dengan begitu eratnya. Telepon genggam fitur itu pun berdering kembali. Mario kembali menghubungi Marco. Yang kali ini langsung mengangkatnya. Hingga hubungan seluler khusus itu pun terjadi. "Marco, kenapa kau lama sekali mengangkat telepon dariku?" tanya Mario dengan nada ketus terhadap sepupunya. Yang ditanggapi datar-datar saja oleh Marco. "Kenapa pula kau ingin menghubungiku. Dan kenapa kau juga tahu, jika alat penguat sinyal khusus itu sedang dibuka, entah oleh siapa. Hingga bisa berhubungan dengan dunia luar? Aku jadi curiga, kau memiliki rencana lain terhadap kami, 7 Malaikat Kematian," cecar Marco dengan panjang lebarnya. Mencurigai Mario memiliki rencana buruk terhadap 7 Malaikat Kematian. "Kau pasti habis menelan obat-obatan yang diberikan oleh orang gila itu. Jadi tak mengingat, jika ponsel kita dapat mendeteksi. Jika alat penguat sinyal itu dibuka secara total," sahut Mario dengan nada ketus. Yang membuat Marco tertawa dengan lepasnya. "Bagaimana aku bisa lupa? Lalu kenapa kau menghubungiku?" tanya Marco kembali. "Aku hanya ingin memberitahumu. Jika semua anak buah mu, sudah ditangkap oleh pihak berwajib. Dan mereka sedang mencari keberadaan mu," beber Mario kepada Marco. Yang langsung terasa terkena shock terapi, mendengar kabar itu. Deg! Jantung Marco pun berdegup dengan begitu kencangnya. Namun dapat segera ia kendalikan. Hingga tak dapat dirasakan oleh Mario, di ujung telepon sana. "Kau jangan bercanda!" teriak Marco berharap apa yang dikatakan oleh sepupunya, hanyalah candaannya saja. "Apanya yang bercanda. Pihak berwajib malah mengira diriku, adalah dirimu. Tapi untung saja sidik jari kita beda," tutur Mario dengan penuh kekesalannya terhadap sepupunya, yang menyeret dirinya. Akibat dari wajah mereka yang serupa dengan Aktor dari Korea Selatan. Marco lalu menarik napasnya, lalu menghembuskan nya kuat-kuat. Seakan ingin melepaskan semua beban hidup yang ada selama ini. Yang hanya ia pendam sendiri di hatinya. "Baiklah. Aku hanya ingin meminta kau menjaga keluargaku. Dan aku berharap, kau tak mengikuti jejak ku," tutur Marco dengan nada lembut. "Kau seperti ingin mati saja, berkata seperti itu," kata Mario di seberang telepon sana. "Aku memang ingin mati," jawab Marco dengan penuh keseriusannya. "Jangan asal bicara." "Aku sudah bosan hidup. Aku tak ingin menyusahkan semuanya. Lebih baik aku mati, daripada melibatkan keluarku. Ingat pesanku, Mario," selesai berkata seperti itu. Marco pun memutuskan hubungan seluler itu. Lalu mematikan ponselnya. Seakan dirinya sudah malas untuk berbicara dengan sepupunya. "Tenang saja, aku tak mungkin melibatkan siapa pun dalam masalahku ini," ujar Marco di dalam hatinya sambil menaruh ponselnya di dalam saku jubah birunya itu. Lalu memejamkan matanya. Berusaha untuk tertidur di tempat itu. Tanpa menyadari kehadiran Malaikat Cokelat, yang berada di dalam ilalang, sejauh 100 meter dari Malaikat Biru. Yang sudah memperhatikan mereka. Sejak mereka berdua, bersembunyi di dalam ilalang itu. Dengan menggunakan teropong yang ada di tangan kirinya. "Mereka benar-benar, ingin menghabisi para pemenang kuis itu dengan membakarnya hidup-hidup, termasuk putih," kata Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Sembari menaruh teropong lipatnya di dalam saku jubah cokelatnya. "Aku harus segera menghubungi Putih," Malaikat Cokelat, lalu mengambil ponsel fiturnya dari dalam saku celana panjangnya yang tertutup oleh jubah cokelatnya. Saat ponselnya berada di tangan kirinya. Malaikat Cokelat pun segera menghubungi nomor telepon rekannya. Yang ternyata tak aktif. "Dia itu, kenapa tak mengaktifkan ponselnya?" keluh Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Baru saja dirinya ingin menaruh ponsel fiturnya. Tiba-tiba ada panggilan masuk ke ponselnya dari Malaikat Hitam. Malaikat Cokelat terdiam, seakan enggan untuk menerima panggilan telepon dari pimpinannya. "Apakah, Merah sudah memberitahunya? Tapi sepertinya ia menggunakan jalur khusus bagi kami, 7 Malaikat Kematian," tanya Malaikat Cokelat di dalam hatinya. "Tapi jika memang ia sudah tahu. Aku sudah siap dengan keadaan buruk yang akan terjadi," timpal Malaikat Cokelat. Lalu mengangkat sambungan telepon dari pimpinannya. "Ada apa Pimpinan, meneleponku?" ujar Malaikat Cokelat, langsung the to poin kepada Malaikat Hitam yang sedang berada di dalam Bukit Hitam. "Aku menginginkan kau datang ke markas," sahut Malaikat Hitam the to poin pula. "Ada perlu apa, aku sedang beristirahat," dusta Malaikat Cokelat, dengan memandang ke arah pondok kayu itu dari kejauhan. "Aku ingin membicarakan tentang rencana kita selanjutnya," beber Malaikat Hitam kepada Malaikat Cokelat. "Sepertinya, ia belum tahu. Apa yang sedang terjadi di luar. Lebih baik aku menemui. Karena cepat atau lambat, pastinya akan ketahuan juga. Dan aku pun sudah siap akan hal itu," ucap Malaikat Cokelat di dalam hatinya. "Baiklah, aku akan ke markas sekarang," tegas Malaikat Cokelat kepada pimpinannya. "Aku tunggu secepatnya," Malaikat Hitam pun mengakhiri, perbincangan seluler di antara mereka. Malaikat Cokelat lalu memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. "Mungkin ini sudah takdir, jadi jalani saja," ucap Malaikat Cokelat di dalam kalbunya. Lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ilalang raksasa itu. Untuk masuk ke dalam Bukit Hitam. *** Malaikat Biru tiba-tiba saja terbangun. Ketika wajahnya disentuh oleh sosok Malaikat Putih dengan entengnya. Secara reflek, Malaikat Biru pun terbangun. Dan lalu berbicara keras kepada Malaikat Putih yang ada di hadapannya. "Kenapa kau membangunkan aku. Bukannya kau sedang menyusup!?' tanya Malaikat Biru, dengan tatapan penuh kebencian terhadap Malaikat Putih. "Aku membangunkan mu, karena aku ingin membunuhmu ...," sahutnya, yang membuat Malaikat Biru begitu terkejut. Karena suara darinya, adalah suara Malaikat Putih yang sudah dianggapnya mati. "Kau! Bukannya sudah mati?" kejut Malaikat Biru, dengan menunjuk ke arah Malaikat Putih. "Mati atau tidak. Aku hanya menginginkan kematian mu ...." Belum sempat Malaikat Biru menjawab perkataan itu. Dirinya pun sudah menerima bogem mentah pada wajah tampan dibalik topeng tengkorak birunya. Bak Malaikat Biru pun terhuyung terkena tinju dari Malaikat Putih, tanpa sempat menangkisnya sama sekali. "Berani-beraninya kau, meninju wajah tampanku ini!" teriak Malaikat Biru, dengan penuh amarahnya terhadap Malaikat Putih. "Kenapa tak berani," ejek Malaikat Putih, yang membuat amarah dari Malaikat Biru melonjak dengan hebatnya di dadanya. "Masih hidup, atau pun sudah mati. Aku pastikan dirimu, akan menerima akibatnya! Telah meninju wajah tampan ini!" Malaikat Biru lalu menyerang Malaikat Hitam, dengan puncak amarahnya. Yang dilayani dengan santainya oleh Malaikat Putih. Akan tetapi hanya dalam sekejap. Malaikat Putih sudah dapat mengalahkan Malaikat Biru. Yang terkapar tak berdaya sama sekali. Dengan posisi kaki kiri Malaikat Putih di dadanya. "Banyak bicara, kenyataannya nihil. Aku pastikan, kau akan mati hari ini," Malaikat Putih, lalu menghentakkan kakinya kiri dengan begitu kerasnya. "Ah!" teriak Malaikat Biru. Tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, dengan posisi masih terlentang. Ternyata apa yang dialami oleh Malaikat Biru, hanyalah mimpi semata. "s**l! Sepertinya aku mendapat karma dari Pimpinan. Dengan mimpi buruk ini," kata Malaikat Biru di dalam hatinya. Sambil mengingat saat dirinya mengolok-olok Malaikat Hitam, tentang mimpi buruknya dengan Malaikat Putih. "Lebih baik aku tidur lagi. Siapa tahu mimpi itu berlanjut. Dan aku pastikan, kali ini akulah yang menang," ucap Malaikat Biru masih di dalam hatinya. Lalu memejamkan sepasang matanya. Berharap mimpinya yang terputus itu berlanjut kembali. Dan dirinyalah yang akan menjadi juaranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN