Malaikat Merah yang terus berjalan dengan langkah cepat, akhirnya tiba juga di dalam markas mereka yang berada di dalam Bukit Hitam. Tanpa kendala sama sekali.
Ia pun terus berjalan dengan penuh semangat, hingga tiba di ruangan utama. Di mana, Pimpinannya telah menunggu dirinya sejak tadi, dengan penuh kesabarannya. Menunggu para bawahannya berkumpul.
Malaikat Hitam tampak berdiri, di depan patung raksasa Malaikat Kematian. Dengan kedua tangan disilang di dadanya. Ia pun lalu berbicara, di saat Malaikat Merah telah berada di hadapan dirinya.
"Bagaimana, Merah .... Apakah kau sudah melakukan tugas yang aku berikan?" tanyanya, dengan penuh selidik terhadap tangan kanan nya itu.
"Tentu saja aku sudah melaksanakannya dengan baik, karena aku adalah anggota paling loyal dari semuanya," timpal Malaikat Merah, dengan penuh kebanggaannya. Menyanjung dirinya sendiri, sebagai anggota paling royal di kelompok mereka. Padahal belum tentu kenyataannya seperti itu.
"Aku percaya akan hal itu, karena kita ini solid. Baik saat memakai topeng tengkorak ini, maupun di saat kita tidak memakai topeng tengkorak ini ...," timpal Malaikat Hitam, lalu membalikan tubuhnya. Hingga ia pun kini, menghadap ke arah patung raksasa Malaikat Kematian.
"Itu karena, kita memiliki pandangan hidup, komitmen dan penderitaan yang sama selama ini ...," sambung Malaikat Merah, dengan penuh ketegasannya.
"Dan sepertinya, kita memiliki takdir yang sama. Takdir sebagai Malaikat Kematian ...," sambung Malaikat Hitam, lalu tertawa dengan begitu kerasnya. Yang menggema di tempat itu.
Mereka berdua pun lalu tertawa dengan lepasnya secara bersamaan, seakan mereka sedang mendapatkan sesuatu hal yang mereka inginkan selama ini. Hingga Malaikat Merah pun berbicara kembali. Sesudah ia menghentikan tawanya. Karena dirinya ingin membicarakan sesuatu hal penting kepada Malaikat Hitam.
"Tapi sepertinya, ada yang aneh. Mereka dapat melakukan telekomunikasi keluar gugusan Pulau Kematian ini," ucap Malaikat Merah, mengungkapkan apa yang ingin ia katakan sedari tadi.
"Apakah kau yakin, dengan hal itu?" tanya Malaikat Hitam, seakan ia tak yakin atas ucapan dari Malaikat Merah.
"Tentu saja aku yakin Pimpinan, aku dan Biru mengawasi mereka sejak dari tadi. 1 jam sebelum aku menyiram dan menyebarkan bensin di pondok kayu itu. Mereka tengah asyik bertelepon. 4 di antara mereka menelepon di luar. Dan di antaranya Putih. Yang aku kira sedang memberitahu dirimu akan hal itu," tampak Malaikat Hitam terdiam untuk sejenak, sebelum dirinya berbicara kembali.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Malaikat Hitam di dalam hatinya, dengan penuh kebingungannya. Belum menyadari, dengan apa yang sudah dilakukan oleh Malaikat Cokelat.
"Putih tidak menghubungi diriku sama sekali," ucapnya, lalu meluruskan kedua tangannya. Dengan tatapan dingin.
"Itu berarti dialah si pengkhianat itu!?" tanya Malaikat Merah, dengan penuh kecurigaannya terhadap Malaikat Putih, yang sedang menyusup di antara para pemenang kuis itu.
"Itu belum tentu. Jika mereka bisa menghubungi dunia luar. Itu berarti proteksi komunikasi itu sudah dibuka. Dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh 3 orang dari kita. Aku, dirimu dan cokelat ...," ucap Malaikat Hitam dengan suara mendesis kepada Malaikat Merah. Seakan ular yang sedang ingin mematuk musuhnya.
Pimpinan dari 7 Malaikat Kematian itu lalu melangkahkan kakinya dan mendekatkan dirinya kepada Malaikat Merah secara perlahan-lahan. Lalu berbicara kembali, dengan nada sangat mengerikan sekali.
"Apakah dirimu, pengkhianat itu?" tanyanya dengan dinginnya. Yang membuat Malaikat Merah sedikit bergetar tubuhnya, mendengar pertanyaan dari Pimpinannya itu. Yang seakan ingin membunuhnya saat itu juga.
"Tentu ..., itu bukanlah aku, Pimpinan ...," sahut Malaikat Merah. Dengan suara yang bergetar. Tanpa ia bisa mengendalikannya sama sekali.
"Itu juga bukanlah aku. Itu berarti, Cokelat adalah pengkhianat itu," papar Malaikat Hitam, dengan penuh keyakinannya.
"Dan dengan kemungkinan, Cokelat dan Putih sudah merencanakan sejak kemarin hari," sambung Malaikat Merah. Mencoba membuat suasana menjadi panas.
"Kemungkinan itu, bisa saja benar. Dan jika hal itu benar, maka mereka akan kita habisi ...!" ucap Malaikat Hitam. Dengan suara yang bergetar, karena menahan emosinya. Mengetahui jika dirinya sudah dikhianati oleh anak buahnya. Walaupun ia belum memiliki bukti sama sekali.
"Tapi di mana sekarang, cokelat, Pimpinan?" tanya Malaikat Merah. Terus membuat hati Malaikat Hitam semakin panas saja.
"Sebentar lagi juga, ia kemari," jawab Malaikat Hitam, berusaha menahan amarahnya.
Mereka berdua lalu terdiam, satu dengan yang lainnya. Seakan ingin menyatu dengan kesunyian di ruangan itu. Ruangan yang berada di dalam Bukit Hitam.
Menit pun berganti menit, hingga derap langkah sepatu dari Malaikat Cokelat pun terdengar secara sayup-sayup di kejauhan. Dan semakin terdengar jelas, ketika dirinya telah ada di dalam ruangan itu.
"Sepertinya, kalian sudah lama menungguku di tempat ini?" ujar Malaikat Cokelat, lalu menghentikan langkah kakinya, sejauh 2 meteran di hadapan Malaikat Merah dan Malaikat Hitam.
"YA, KAMI SUDAH MENUNGGUMU LAMA. UNTUK KAMI HABISI ...!" teriak Malaikat Merah, lalu menyerang ke arah Malaikat Cokelat. Yang sedikit terkejut atas serangan ini.
Terlihat tangan kiri Malaikat Merah, hampir saja mengenai d**a Malaikat Cokelat. Jika saja ia tak menahannya dengan tangan kirinya.
"KAU INI! APA-APAAN MERAH!?" seru Malaikat Cokelat, sambil memukul perut Malaikat Merah dengan tangan kanannya. Hingga Malaikat Merah pun tersungkur. Tetapi ia pun segera bangkit kembali dari jatuhnya.
"AKU INGIN MEMBUNUHMU! KARENA KAU SUDAH MENGKHIANATI 7 MALAIKAT KEMATIAN!" teriak Malaikat Merah kepada Malaikat Cokelat.
"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan itu? Merah ...?" ujar Malaikat Cokelat menyangkal tuduhan dari rekannya itu.
Malaikat Merah lalu melangkahkan kakinya. Untuk menghampiri Malaikat Hitam, dengan elegannya.
"Sebenarnya, ini ada apa Pimpinan? Kenapa Merah ingin membunuhku?" tanya Malaikat Cokelat kepada Pimpinannya. Lalu menghentikan langkahnya di hadapan Malaikat Hitam, sejauh 1 meter.
"KAU JANGAN BERPURA-PURA BODOH .... PENGKHIANAT!" teriak Malaikat Hitam.
"Ada bukti apa, jika aku mengkhianati Malaikat Kematian?" sahut Malaikat Cokelat dengan nada suara yang tetap tenang. Seakan dirinya bukanlah tersangka dalam hal itu.
"Buktinya ..., proteksi telekomunikasi sudah terbuka, mereka jadi dapat berhubungan dengan dunia luar," papar Malaikat Hitam dengan penuh kegeramannya terhadap Malaikat Cokelat.
"Jika hanya hal itu. Merah pun bisa melakukannya ...," bantah Malaikat Cokelat. Mencoba mengadu domba antara Malaikat Hitam dan Malaikat Merah.
"Kau ingin mencari kambing hitam dan mengadu domba kami, ya? Tapi sayangnya, aku tidak terpengaruh oleh ucapan mu itu! Aku lebih mempercayai Merah daripada dirimu," timpal Malaikat Hitam, lalu melangkahkan kakinya selangkah mendekati Malaikat Cokelat, yang tampak hanya terdiam di tempatnya semula.
"Jikalau itu yang kau anggap benar, anggap saja itu adalah sebuah kebenaran bagi dirimu sendiri ...," kata Malaikat Cokelat dengan menatap tajam ke arah Malaikat Hitam.
"Itu adalah kebenarannya yang sesungguhnya, kau bukan lagi anggota 7 Malaikat Kematian!" ucap Malaikat Hitam, dengan bersiap-siap untuk menyerang Malaikat Cokelat. Yang terlihat telah siap menarik topeng tengkorak berwarna Cokelatnya dengan tangan kirinya.
"Aku pun sudah muak dengan 7 Malaikat Kematian. Jadi sekarang aku tidak perlu memakai topeng ini lagi," ujarnya, lalu benar-benar menarik topeng itu dari atas kepalanya. Lalu melemparkannya ke udara, yang jatuh di atas kepala patung raksasa Malaikat Kematian berwarna hitam. Yang hanya terdiam saja.
Suasana pun semakin memanas di tempat itu. Yang siap membakar mereka, sebentar lagi.