Danis mengusap wajahnya yang terasa beku. Meski dia menggunakan mobil untuk sampai di tempat Ainun, tapi berjam-jam lamanya menyetir, tak urung dinginnya AC membuat pipinya terasa beku.
Ainun biasanya tidak suka AC, dia akan meminta Danis mematikan dan menggantinya dengan udara segar dari kaca mobil yang dibiarkan secikit terbuka. Dasar udik, begitu Mama menyindir. Tapi Ainun tidak perduli. Danis jarang sekali melihat Ainun mengeluh dengan sikap Mama yang Judes. Perempuan itu lebih banyak diam dan mengalah, mungkin menelan sakit hatinya seorang diri..
Atau...karena Ainun sadar, dia tidak memiliki bahu dan d**a untuk bersandar, bahkan dia tidak memiliki sepasang telinga yang akan mendengar segala kesedihannya, mungkin alasan itu yang membuat Ainun hanya diam saat Mama sering menyakitinya.
Beda Papa, beda juga Mama. Jika di mata almarhum Papa Ainun adalah istri yang baik dan menantu yang manis, maka di mata Mama adalah kebalikannya. Ainun yang lembut dan perasa disebutnya cengeng dan kampungan.
Ainun yang mudah luruh dan iba pada kesedihan orang kain, di mata Mama adalah sikap cengeng dan rapuh yang memuakkan. Ainun yang tidak berani membawa mobil dan motor dan tidak pernah keluyuran dipanggilnya dengan sebutan menantu lomot dan pengecut.
Ainun yang mudah menangis melihat penderitaan sesama di mata Mama adalah hal receh yang menyebalkan.
Apapun tentang Ainun, semuanya hina di mata Mama. Danis menghela napas. Untuk pertama kali dalam hidup, dia perduli dengan seorang Ainun.
Ya, dirinya perduli pada kesedihan dan kekecewaan perempuan yang selama ini disebutnya cengeng justru pada saat Ainun tak lagi minta dilindungi dan memberinya kemerdekaan untuk pergi.
"Mas Danis." Paman Hasan dan beberapa orang pria dewasa yang menyambutnya di pintu membawanya pada sosok Bapak mertua yang telah terbujur di ruang tengah di kelilingi saudara dan tetangga yang ikut menunggui. Rencananya Bapak akan di makamkan esok pagi.
"Maafkan, Bapak mertuamu." Suara Paman Hasan, adik satu-satunya Bapak terdengar lirih.
"Maafkan jika selama hidupnya almarhum memiliki kesalahan dan dosa."
Ya Allah. Akulah yang banyak berbuat salah pada pria yang terbujur kaku dan bisu itu. Aku lah yang bertahun telah mengkhianati amanah yang dititipkan di pundak ku. Akulah yang telah berbuat dosa karena tidak pernah menjadi suami yang baik buat Ainun putrinya. Bisik hati Danis tercekat, matanya basah saat bersimpuh di hadapan jasad Bapak mertuanya.
Perlahan Danis membuka penutup wajah Bapak, tampak wajah pria yang selama ini begitu menyayanginya, terpejam dan begitu tenang.
"Maafkan aku, Bapak." Suara Danis lirih, apalagi menyadari ada Ainun yang tengah bersimpuh di sisi jasad Bapak tak jauh darinya.
"Ainun." Setelah mencium wajah Bapak dan menutupnya kembali dengan kain panjang yang digunakan menutup jenazah Bapak, Danis melirik ke arah perempuan yang tengah bersimpuh dengan mata yang sembab, berharap Ainun mendekatinya dan seperti biasa akan menyembunyikan wajah di dadanya saat menangis atau bersedih.
"Ainun," panggil Danis sekali lagi, tapi Ainun hanya menatap sekilas. Wajahnya tak berekspresi saat menyadari kehadirannya.
"Kamu tidak..."
Ainun menggeleng.
"Aku sudah berjanji tidak akan lagi menangis di hadapanmu.'
"Ainun."
"Aku sudah berjanji, betapapun aku takut, sakit dan terluka, aku tidak akan membebaniku, Mas."
"Kenapa?" Danis menghela napas.
Ainun tersenyum getir.
"Aku tahu Allah menciptakan air mata agar meredakan jiwa yang murka dan menghapuskan hati yang penuh nestapa, sayang aku juga tahu, bahwa aku tidak berharga untukmu. Jadi untuk apa aku meminta belas kasihan mu, jika kau tidak sekalipun menganggap air mataku berharga?"
Ainun tersenyum lirih. Tak membiarkan satu titik pun air mata yang meleleh di pipinya.
Danis tercekat dan menghela napas. Ada yang betul-betul hilang dari sosok Ainun.
"Ainun?"
"Tidak, Mas. Terimakasih. Aku tidak butuh d**a dan bahumu, untuk bersandar. Izinkan aku bersandar hanya pada Allah."
Danis menelan ludah. Saat dia tidak mendapati sosok cengeng itu menangis, mengapa rasanya begitu sakit?