Danis melongo menatap punggung Ainun yang kian samar. Ingin rasanya dia memanggil wanita yang pergi membelah merahnya senja tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Bahkan hanya sebuah lirikan pun tidak Danis dapatlan.
"Haha, baguslah dia pergi juga." Sebuah suara yang terdengar sumringah membuyarkan lamunan Danis. Ternyata Anita yang tengah mendekatinya dan masang wajah cerah.
"Kenapa kamu bicara begitu, Nita? Ainun pergi dengan motor, bagaimana kalau kenapa-kenapa." Danis tampak kesal terhadap Anita, di sisi lain raut wajahnya terlihat sangat khawatir.
"Paling juga jatuh."
"Hey apa maksudnya, paling juga jatuh?" Danis menyambar kesal.
" Enggak, anu...bisa saja istrimu jatuh, maksudku. Paling lecet dikit lah." Nita menjawab sekenanya.
Danis mendengus. Bergegas menuju kamar meraih jaketnya
"Mau kemana, Danis?" Mama yang menyusul Anita ke luar kamar menatap putranya dengan wajah tidak senang.
"Menyusul Ainun."
"Ngapain pake acara disusul segala, Danis. Ayo, mending kita bebenah kamar Anita, kasihan Anita terbiasa tidur di kamar mewah, sekarang harus tidur di kamar jelek. Dasar istrimu itu gak pandai bebenah." Mama memotong ketus
"Dia, sedang hamil muda, Ma."
" Mau hamil muda, mau hamil tua, gak penting." Mama kembali mendecih.
Danis tidak menjawab. Bergegas menuju garasi.
"Danis, Anita sekarang yang paling penting di rumah ini." Mama mengejar.
"Betul, Mas. Aku harap kamu mengerti." Anita Memasang wajah melas.
"Ma, aku lelah, ingin rebahan."
"Danis, ayolah kita bereskan kamar Anita. Kasihan dia harus istirahat dengan nyaman ."
Danis mendengus. Meski hatinya sedikit tidak karuan, terpaksa mengikuti permintaan Mama, membereskan kamar Anita.
Jam sudah pukul setengah delapan malam, saat Danis selesai menggeser lemari dan membantu Mama merapikan kamar adik iparnya. Tubuhnya sedikit lunglai saat dia meninggalkan Mama dan Anita untuk masuk ke dalam kamar dan menghentakkan tubuh di kasur.
Suasana terasa sunyi. Tak ada celoteh Ainun yang selama ini mewarnai malam-malamnya. Danis meraih gawai dan memeriksa pesan masuk, berharap ada kabar dari perempuan yang saat kepergiaannya terlihat begitu sedih.
Sepi.
Ainun tidak memberinya kabar. Apakah dia sudah sampai?
[Ainun]
[Ainun, sudah sampai]
Centang satu. d**a Danis gemuruh. Ada perasaan was-was yang kini terasa makin membuncah. Ainun pernah bercerita, kalau dirinya terakhir mengendarai motor empat tahun yang lalu. Sudah terlalu lama, bagaimana kalau dia lupa lagi? Danis terus membatin.
Bagaimana kalau Ainun tidak sampai dengan selamat? Bagaimana Ainun yang telah sekian tahun tidak pernah mengendarai motornya kini tiba-tiba harus membawanya seorang diri?
Sialan, kenapa aku bisa begitu bodoh membiarkan perempuan hamil muda pergi sendiri? Danis merutuki kebodohannya.
Mungkin perasaannya pada Ainun tidak seperti suami pada umumnya, perempuan yang dinikahi hanya karena almarhum Papa, keukeuh memintanya dengan alasan Ainun Putri sahabatnya yang berperangai santun dan berbudi pekerti yang baik. Tapi di rahim wanita itu tersimpan benih dirinya, calon anaknya.
Lama Danis termenung. Suara detak jam dinding terasa begitu keras kali ini, mungkin karena kamarnya begitu sunyi.
Bahkan Danis bisa mendengar suara desau angin di luar sana.
Desau angin yang membuat antara satu dedaunan dengan dedaunan lain bergesek dan berbunyi riuh, bunyi yang mengingatkannya pada Ainun.
Ainun takut suara angin, dia biasanya spontan menyelinap ke dalam dadanya dan menyembunyikan wajahnya sekian lama bahkan sampai terlelap. Hal yang selama ini kadang membuatnya jengkel, karena menganggap Ainun cengeng dan penakut. Tapi entah mengapa saat ini, saat Ainun pergi, Danis rindu pada pelukan ketakutan wanita itu.
"Mas Danis." Sebuah suara manja yang memanggilnya di luar kamar membuyarkan lamunan Danis.
Anita, ada apa malam-malam mengetuk pintu? Meski enggan dan heran Danis terpaksa berjalan membuka pintu kamarnya.
"Anita ada apa?" Danis berkerut, apalagi melihat penampakan pakaian istri almarhum Aditya adiknya, yang dirasanya terlalu berani. Gaun tidur tipis selutut itu benar-benar menonjolkan keindahan tubuh Anita yang berkulit Langsat dengan wajah yang cantik jelita.
"Mas, aku pingin minum, anterin dong."
Astaghfirullah. Danis mengusap wajah.
"Kamu bisa pergi sendiri Anita. Kamu bisa kan nyalain saklar lampunya?" Suara Danis terdengar jengkel. Dari pagi, ini kali kelima perempuan itu meminta tolong ini itu.
"Ah, aku takut gelap juga kecoa, Mas."
"Danis, apa salahnya kamu antar." Suara Mama, membuat Danis tidak jadi menggeleng.
"Anita takut gelap dan kecoa. Anterin lah," lanjut Mama.
"Di rumah ini gak ada kecoa, Ma." Danis berkilah.
"Hadeuh, Danis. Cuma nganter ke dapur saja, ayolah kasihan Anita." Mama memaksa.
"Baiklah. Ayo." Meski kesal, Danis akhirnya ke luar duluan, diikuti Anita yang memasang senyum kemenangan.
Danis bergegas membuka pintu dapur dan menyalakan saklar lampu, melirik Anita yang pura-pura ketakutan. Danis menggaruk rambut dengan sedikit kesal, selama ini Mama selalu bilang Ainun cengeng dan manja, tapi tidak pernah sekalipun Ainun minta diantar ke dapur hanya untuk minum atau mengambil sesuatu. Ainun hanya minta diantar-antar ke pasar, kalau Danis libur. Itupun karena dia tidak berani naik motor karena trauma dulu sewaktu gadis Ainun pernah jatuh dan nyaris kelindes angkutan kota.
"Sudah, Anita?" Danis yang merasa lelah melirik Anita yang tengah menuang air dan berlama-lama dengan pura-pura mengaduk es batu yang diambilnya dari kulkas.
"Cepatan, Nita, aku lelah. Aku ingin tidur." Danis yang merasakan tubuh dan hatinya lelah meminta Anita segera mengikutinya masuk kembali ke ruang tengah.
"Baiklah, Mas. Sudah selesai." Anita tersenyum genit, dengan menenteng gelas berisi air dia berjalan di belakang Danis.
"Aduh, Mas....ada kecoa." Tanpa di duga Anita memeluk tubuh Danis dari belakang.
"Anita? Aduh lepaskan." Danis yang tidak menduga Anita berani memeluknya sangat kaget. Berusaha melepaskan dari pelukan Anita.
"Takut, Mas." Anita memekik pura-pura.
"Iya, ayo cepat masuk." Danis menarik tangan Anita ke dalam rumah.
"Makasih, Mas." Anita mengerling nakal, sesaat Danis melepaskan pegangannya.
"Iya, cepat tidur sudah malam."
Tanpa melirik lagi ke arah Anita yang tersenyum puas, Danis bergegas ke kamar tidur.
Drrrt.
Suara panggilan di gawai Danis membuat Danis terlonjak. Ainun.
Nyess.
Dada Danis terasa dingin. Wajahnya yang tampan tampak sangat bahagia, Seolah ada bergalon-galon air yang menyiram hatinya.
"Ainun? Kamu sudah sampai? Jam berapa? Kamu baik-baik saja kan?" Belum sempat Ainun bicara, Danis sudah memberondongnya dengan pertanyaaan.
"Iya, Mas aku baik-baik saja." Suara Ainun datar.
"Mas, Bapak telah meninggal dunia, sesaat aku sampai di rumah. Mohon maafkan segala kesalahannya, maafkan juga khilafnya karena telah memintamu menikahiku." Tak ada tangis dalam nada bicara Ainun. Danis sepertinya telah berubah jadi orang asing dalam hidupnya. Luka mengubah segalanya.
"Apa maksudmu, Ainun." Suara Danis tercekat, entah mengapa dadanya tergetar hebat.
"Mas, kini tidak ada yang menghalangimu untuk menceraikan diriku. Jika kau tidak bahagia hidup bersama perempuan cengeng ini, lepaskan dirimu. Aku ikhlas."
"A-ainun?" Suara Danis hampir hilang di tenggorokan. Dadanya berdegup kencang.
Tut.
Ainun tiba-tiba menutup gawainya.