Kejadian siang tadi saat pertemuanku dengan mantan suami di rumah makan membuka kenangan lama yang telah terkubur. Pertemuan yang tidak sengaja itu membuat hariku kacau. Sidang perpisahan itu masih membekas. Caci maki yang mereka ucapkan padaku masih terngiang. Kejadian malam itu ketika Julio ingin mengakhiri hubungan kami begitu manis tapi menyakitkan.
Malam itu di bawah gemericik air shower kukalungkan tanganku di lehernya. Dengan mudah Julio menggendong tubuhku. Getaran halus terasa di setiap sentuhannya. Sudah lama aku mendambakan sentuhan suamiku. Malam ini akan menjadi saksi kami bersatu kembali.
Julio menurunkan tubuhku lalu menyudahi ciumannya. Air shower yang hangat menyamarkan rasa panas tubuhku akibat dari sentuhannya. Julio mendekat, mengurung diriku antara dirinya dan dinding kamar mandi. Kupejamkan mata ketika ia menunduk.
“Ayo kita akhiri sampai di sini. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini,” bisikya dekat telingaku. Seketika mataku terbuka lebar, tubuhku yang terasa panas tiba-tiba menggigil. Sentuhan tangannya di bahuku seperti menggores permukaan kulitku. Terasa sakit seperti tersayat pisau tajam.
“Apa maksud kamu?”
“Aku ingin kita berpisah.”
Kesalahanku yang tidak bisa memberikan apa yang mereka inginkan. Sampai aku berpikir diriku bukanlah wanita sempurna. Memiliki anak adalah hal yang diinginkan setiap pasangan suami istri dan aku tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Kekecewaan mantan suami dan keluarganya masih tersirat jelas dalam ingatan walau sudah berlalu cukup lama.
“Bagaimana kalau aku tidak bisa memilki anak?” tanyaku pada Denis yang sedang menonton bola. Seketika Denis menoleh. Sebelum dia pergi ke luar kota kami menyempatkan diri menghabiskan waktu berdua. Sangat jarang kami bisa bersama menghabiskan waktu menonton tv karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Aku sudah terbiasa menginap di apartemen Denis. Apartemen yang cukup luas dengan satu kamar tidur lengkap dengan dapur. Biasanya aku tidur di kamar dan Denis di sofa ruang tengah. Dia selalu menghormati batasan-batasan yang aku buat.
“Kenapa bicara seperti itu?”
“Kamu tahu sendiri alasan aku cerai selain tidak ada kecocokan juga karena anak.”
Denis mengalihkan penuh perhatiannya padaku. Ini pertama kalinya aku bertanya pada Denis tentang pernikahan dan anak. Pikiranku selalu dihantui dengan kegelisahan itu. Denis bersila menatapku lekat.
“Aku tidak akan memaksakan apa pun.”
“Tapi orang tuamu pasti ingin cucu.”
“Itulah perjuangan, ujian dalam rumah tangga kita nanti. Jika kita beruntung pasti akan dianugerahi anak,” kata Denis sembari menangkup kedua sisi wajahku dengan kedua tangan kekarnya.
“Bagiku cukup melihatmu setiap hari tersenyum dan mendengar suaramu saat menyapa hariku membuat hatiku bahagia. Itu sudah cukup,” ujar Denis.
“Tapi suatu saat kita akan merindukan kehadiran anak. Aku tidak tahu apakah bisa memberikan keturunan padamu,” ujarku yang berusaha menahan suara yang bergetar. Pernikahanku gagal itu membuat aku takut jika suatu hari nanti hal yang sama akan terjadi terlebih dengan alasan yang sama juga. Denis memelukku berusaha menenangkan perasaan yang gusar.
“Banyak jalan yang bisa kita tempuh. Kita akan berusaha bersama. Keajaiban itu akan selalu ada untuk mereka yang berjuang.” Kubalas pelukan hangat Denis lebih erat.
“Aku sepertinya harus memikirkan lagi.” Denis melepas pelukannya lalu mencium keningku.
“Sudah jangan dipikirkan, lebih baik sekarang kamu tidur. Banyak klient yang harus kamu temui besok.”
“Kamu gak tidur?” tanyaku seraya melirik tayangan bola yang baru berjalan sepuluh menit di babak kedua. Belum ada gol yang tercipta dari kedua tim.
“Aku mau nonton bola dulu kamu lebih baik istirahat di kamar.” Perhatian Denis kembali pada televisi. Aku beranjak dari sofa, sebelum masuk kamar kucium pipinya seperti biasa. Perasaanku belum juga membaik saat tiduran.
‘Tan, kamu sudah tidur?’ Pesan singkat itu kukirim dengan penuh pertimbangan.
‘Belum aku masih nunggu Vian pulang. Kenapa?’
‘Besok ketemu di tempat kursus bisa gak?’
‘Pasti mau curhat’kan?’
‘Iya, bisa gak?’
‘Bisa, tapi es krim dua ya. Karena mendengar curhatan butuh energi.’
‘Beres.’
Kututup room chat dengan Intan. Perasaanku sedikit lega meski harus mentraktir Intan es krim. Salah satu sahabat yang bisa mendengarkan keluh kesahku selain Vian adalah Intan. Persahabatan kami terjalin saat masih SMA. Kisah cinta Intan dan Vian pun aku tahu detail.
Berawal dari masa orientasi siswa di mana kami berdua kena hukuman. Saat itu Vian si cowok paling ganteng datang terlambat sehingga ia pun ikut dihukum. Singkat cerita perkenalan Intan dan Vian terjadi di depan banyak siswa. Kedekatan itu berlanjut sampai masa orientasi selesai.
Tuhan mungkin sangat baik pada mereka sehingga kita bertiga bisa berada di kelas yang sama. Jujur saja saat tahu Vian dan Intan saling suka membuat telinga kanan dan kiriku tidak berhenti menerima bisikan.
“Aulia bilangin ke Intan kalau aku suka gambarnya,” bisik Vian di telinga kiriku. Vian kembali menatap ke depan di mana guru seni rupa sedang menjelaskan tentang karya dua dimensi dan tiga dimensi.
“Tan, Vian bilang gambar kamu bagus,” bisikku membuat wajah Intan merona. Sesekali ia melirik Vian yang tampak fokus belajar. Intan mendekatiku lalu berbisik di telinga kanan.
“Bilangin aku juga suka gambar gajahnya. Belalai gajahnya indah banget lurus dan tampak kokoh.”
Intan sedikit mendorong bahuku agar mau menyampaikan pesan itu ke Vian. “Vian, dia bilang milikmu juga bagus, belalainya indah, lurus dan kokoh,” bisikku membuat Vian merapatkan duduknya. Wajahnya merah padam sesekali Vian menggeleng dan memukul jidatnya.
Setelah mereka resmi pacaran telingaku berhenti menerima bisikan. Bukan berarti mereka tidak menggangguku. Melihat kemesraan mereka setiap hari membuat diriku yang jomblo ingin mengusir mereka ke tempat yang jauh.
“Ya Tuhan kenapa setiap kali melihat mereka pacaran aku jadi pengen nikah, tapi aku gak punya pacar.” Begitulah kegalauanku selama tiga tahun menuntut ilmu di SMA.
Kenangan itu seketika membuat aku tersenyum. Jika diingat-ingat lagi banyak hal yang lucu yang terjadi semasa SMA. “Cinta memang indah jika saling tersambut,” gumamku sebelum menarik selimut untuk tidur.