Keesokan hari Denis mengantarku ke tempat kursus. Ada tiga klient yang harus kutangani hari ini termasuk klient yang kemarin. Mas Agung dan Mbak Lela. Mereka sudah konfirmasi akan datang ke pembekalan pra nikah.
“Pagi Mbak Aulia. Pangerannya gak ikut turun Mbak?”
“Enggak, dia buru-buru balik ke istana,” gurauku membuat Mia mengangguk. Mia berjalan ke kulkas mengambil sebotol air lalu menyusulku ke ruang kerja.
“Jam berapa mulai kelas hari ini?” tanyaku pada Mia seraya menyalakan laptop untuk menyiapkan materi.
“Jam 10 Mbak.” Mia menuangkan air ke dalam gelas lalu meletakkan botol minuman itu di samping gelas yang sudah terisi air. Masih ada satu jam untuk mempersiapkan semuanya sebelum calon pengantin itu datang.
“Saya sudah siapkan proyektor dan membersihkan ruang kelas. Mbak Aulia saya juga mau memberitahukan venue untuk seminar.”
Seketika perhatianku teralihkan. “Ada masalah?”
“Venue sudah di booking sama orang lain, Mbak. Saya masih berusaha mencari yang baru,” kata Mia.
“Tolong,ya, Mia. Kamu tahukan apa yang saya butuhkan.”
“Mbak Aulia butuh pertolongan,’kan?”
“Iya, tapi maksud aku kebutuhan untuk menunjang seminar,” jalasku membuat Mia tersenyum lebar.
“Tahu Mbak. Secepat mungkin akan saya kabari.” Mia mengedipkan matanya sebelum pergi membiarkan pintu ruang kerjaku terbuka. Aku tidak terlalu suka dengan ruanan yang tertutup. Setidaknya bisa mengawasi Mia yang sedang bekerja dari ruanganku.
Tiga puluh menit, empat puluh menit belum juga ada yang datang. Sampai aku selesai menyiapkan materi.
“Mia, coba hubungi klient lagi siapa tahu lupa,” ujarku sembari bersandar pada pintu.
“Sudah Mbak. Klient pertama bilang masih macet, yang kedua bilang lagi nyasar dan yang ketiga bilang lagi ngambekan.”
“Lebih baik online saja kalau begitu.”
“Sudah saya saranin Mbak, tapi mereka gak mau,” jawab Mia.
“Coba bawa ke sini hp kantor,” perintahku untuk memastika Mia memberikan informasi yang jelas pada klient. k****a pesan panjang yang Mia kirimkan.
Selamat datang di Asmara Pra Nikah. Kursus pra nikah yang bikin kalian pengen nikah terus (becanda, nikahnya sekali saja, ya). Anda sudah terdaftar dalam layanan pembekalan pra nikah dan bisa mengikuti sesi konsultasi besok mulai pukul 10.00 (bisa sesuaikan dengan kebutuhan kalian). Kami himbau untuk membawa pasangan Anda dan juga beban percintaan yang ingin dituntaskan (Jangan bawa beban hidup yang lain,ya, berat kami gak akan kuat). Jika ada yang ingin ditanyakan bisa chat ke nomor ini (tidak untuk layanan telepon) jangan lupa sertakan nama dan pertanyaan Anda jika tidak ingin kami kira pinjol. Sekian dan sampai bertemu nanti.
Ttd. Admin Asmara Pra Nikah, Membangun Rumah Tangga Tanpa Masalah.
Perutku tergelitik membaca pesan yang Mia tuliskan.
“Ya sudah tunggu tiga puluh menit lagi, setelah ini saya harus bertemu klient lain,” kataku lalu kembali ke ruang kerja. Baru saja aku duduk suara mobil terdengar di luar. Satu per satu klient datang dan menunggu di ruang kelas.
Baru saja aku tersenyum senang melihat satu pasang klient. Namun, itu hanya sesaat sebelum aku melihat pasangan yang masih mengenakan seragam SLTA memarkir motornya di halaman.
“Mia, mereka mau magang?” tanyaku pada Mia yang sedang mencari informasi klient dari formulir.
“Enggak kok Mbak. Ini benar mereka,” ujar Mia membuat aku seketika merebut formulir itu. Tertulis nama dan usia mereka yang masih berumur 17 tahun dan mengenyam pendidikan di sekolah yang sama.
“Kenapa bisa?” gumamku.
“Karena mereka sudah bayar, Mbak Aulia,” kata Mia.
Kutatap matanya tajam membuat Mia menunduk. “Saya mendinginkan kepala dulu,ya, Mbak.” Mia bergegas ke belakang di mana ia bisa mendinginkan kepalanya di kulkas. Kebiasaannya tidak pernah hilang, setiap kali pusing mikir kerjaan atau merasa bersalah Mia akan mendinginkan kepala.
Pasangan itu mendekat lalu menghampiri aku yang masih berdiri dekat pintu dengan satu formulir yang berisi data diri yang mencengangkan. Tampak si gadis malu-malu digandeng oleh calon suaminya yang tampak bahagia dengan senyum merekah di wajah manisnya.
“Kalian beneran mau daftar kursus pra nikah?” tanyaku membuat mereka mengangguk.
“Oke, silakan masuk. Kita bisa konsultasi pribadi dulu.”
Mereka masuk dan menunggu di ruang khusus konsultasi. Kutatap Mia yang masih mendinginkan kepala di kulkas.
“Mau sampai kapan dia di sana?” gumamku.
Aku bergegas menemui sepasang muda-mudi itu. Sedikit heran dan sedih melihat anak-anak ini ingin menikah di saat mereka masih sekolah. Mereka pasti punya alasan yang kuat hingga berani membuat keputusan besar dalam hidup mereka.
Kutatap keduanya dengan senyum tipis. “Kalian apa kabar? Sekolahnya lancar?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.
“Kabar kami baik, Bu. Semuanya lancar,” ucap si pria bernama Agas.
“Syukurlah. Aluna baik-baik saja?” tanyaku mencoba seramah mungkin meski di kepala ini sudah terkumpul beribu-ribu pertanyaan untuk mereka.
“Ba-baik,” ujarnya gugup. Mia masuk membawa dua botol air mineral dingin untuk mereka.
“Terima kasih Mia, sudah selesai mendinginkan kepala?” tanyaku membuat gadis itu cengengesan.
“Sudah beku Mbak, sekarang susah mikir, saya mau cairkan dulu,” ucapnya lalu keluar dari ruang konsultasi. Agas dan Aluna menatap Mia tanpa kedip sepertinya mereka menganggap Mia aneh. Karena aku juga memikirkan hal itu ketika pertama kali bertemu Mia.
“Itu asisten saya namanya Mia. Dia baik kok orangnya.”
“Oh, jadi Mbak Mia ini yang balas chat saya?” tanya Agas.
“Iya begitulah. Apa ada yang aneh?” tanyaku takut-takut Mia kurang sopan. Agas dan Aluna mengulum tawanya.
“Enggak ada yang aneh,” jawab Agas. Aku semakin curiga dengan si Mia. Akhir-akhir ini aku sibuk jadi aku percayakan layanan sosial media dan chat klient padanya. Aku berharap Mia melakukan yang terbaik.
“Kita mulai saja, ya. Sebenarnya saya kaget kalian ingin menikah muda. Boleh saya tahu apa yang kalian pikirkan tentang pernikahan?” tanyaku.
Mereka saling bertatapan. “Bagiku pernikahan itu hidup bersama dengan orang yang dicintai. Kami akan bersama dan tidak satu orang pun yang bisa memisahkan,” jawab Agas membuat Aluna tersipu.
“Bagaimana dengan kamu, Aluna?”
“Bagi saya menikah itu memiliki anak, suami dan hidup bahagia bersama. Tidak ada sekat untuk kita berdua. Gak ada larangan ini itu kayak semasih pacaran. Biar gak dosa juga,” jawabnya. Aku tersenyum tipis mendengar jawaban polos dari dua remaja ini.
“Jawaban kalian bagus. Kalian sudah mengetahui sedikit gambaran tentang pernikahan. Menikah memang mengharuskan dua orang hidup bersama, tujuannya memang untuk mendapat keturunan dan hidup bahagia dengan pasangan. Namun, itu hanya gambaran luarnya saja. Ada ego, pikiran-pikiran dan hal lainnya yang juga berpengaruh.”
“Kami saling mencintai apa pun halangan yang merintang akan kami hadapi,” jawab Agas.
“Itulah kenapa anak seusia kalian perlu melihat dunia lebih luas lagi agar bisa menghadapi masalah hidup nantinya. Menikah bukan hanya tentang sek, bukan hanya tentang tinggal di rumah yang sama. Bukan hanya menghabiskan waktu bersama setiap hari, tapi menikah adalah menjadi satu. Satu tubuh, satu pikiran dan satu jiwa,” jawabku membuat mereka terdiam.
“Saya ingin kalian menjawab jujur, apa faktor utama kalian ingin menikah? Apa orang tua kalian tahu?” tanyaku sedikit sedih dengan keputusan mereka. Mereka saling bertatapan cukup lama sampai akhirnya Agas melihatku. Tergambar jelas di wajah mereka banyak hal yang ingin mereka sampaikan.
“Bagaimana dengan orang tua kalian?” tanyaku lagi.
“Mereka ….”