Terhalang Restu

1012 Kata
Suasana sedikit kaku hanya helaan napas yang terdengar menyapa. “Aku tahu kamu belum siap membina rumah tangga lagi. Jangan dipikirkan aku sudah terbiasa diminta nikah sama mama. Bahkan sebelum aku punya pacar.” Denis tertawa hambar. Aku tahu dia serius membina hubungan ini, tapi aku masih takut akan kegagalan. “Terima kasih sudah ngertiin aku.” Denis tersenyum lebar lalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Suasana sedikit mencair setelah membahas pernikahan. Jujur aku tidak mengerti sama diri sendiri. Bagaimana bisa aku meyakinkan orang lain dalam memilih pasangannya, tapi aku sendiri tidak bisa menasehati diriku sendiri. Memang benar kata orang, menasehati orang lain sangat mudah, tapi menasehati diri sendiri itu susah. Pikiranku teringat pada sepasang calon pengantin yang ingin menikah tapi terhalang restu. Hal yang menurut kita sepele justru menjadi masalah serius pada sebagian orang. Tidak salahnya kita berempati pada setiap masalah yang orang lain ceritakan walau kita tidak merasakannya. “Jadi Mbak Lela gak direstui nikah sama Mas Agung?” tanyaku pada calon pasutri di depanku. Lela gadis cantik, imut dan ceria. Tingginya mungkin tidak lebih dari 155 cm sementara pasangannya, Mas Agung berpostur tinggi dan lumayan berisi. Ada tato bergambar Hello Kitty dan Telletubies di masing-masing lengan. Di pergelangann tangannya ada nama Lela terukir indah. Benar-benar pasangan romantis. “Karena masalah sepele sebenarnya Mbak.” Lela menatap calon suaminya yang mengangguk pelan. “Boleh saya tahu?” Tatapan Lela kembali pada Aku. “Masalah tatto. Ibu saya gak suka cowok bertatoo apa lagi Hello Kitty. Katanya mengingatkan ibu pada masa lalunya.” “Masa lalu yang seperti apa?” “Ini adalah cerita sedih Mbak jadi jangan tertawa,ya. Dulu ibu saya punya boneka Hello Kitty. Ibu sering dimarahi nenek karena gak mau makan dan sibuk main boneka jadinya boneka itu direbus sama nenek biar ibu saya gak mainin boneka itu lagi. Kasihan bonekanya direbus.” Aku sebenarnya mau tertawa, tapi ini cerita sedih. Untuk menunjukkan rasa simpati kutekuk wajahku lalu mengusap punggung tangan Lela sembari bilang, “Turut bersedih.” Lela pun mengangguk dengan wajah murung. Cintanya terhalang Hello Kitty yang direbus. “Intinya ibu kamu tidak suka gambar Hello Kitty atau karena tatonya?” Kembali Lela mengangkat kepalanya. “Keduanya, terus kami harus bagaimana Mbak? Satu sisi kami ingin dapat restu.” Agung kini angkat bicara setelah Lela bercerita. “Ibunya Lela gak suka pria bertato. Saya tidak tahu banyak tentang tato, apa bisa dihapus? Mungkin juga ibunya Lela gak suka tatto Hello Kity, apa gak bisa diganti?” “Bisa sih Mbak dihapus, tapi prosesnya lama. Lela juga suka sama gambarnya kasihan kalau dihapus. Gambar ini juga Lela yang pilih,” kata Agung. “Jangan sayang, kasihan kamu kesakitan.” Lela merengek meminta kekasihnya untuk tidak menghapus gambar itu. “Kalian sudah pernah bilang ke ibunya Lela kalau bakal hapus gambar Hello Kitty itu.” “Sudah Mbak, tapi ibu tetap kukuh gak mau ngasi restu,” kata Lela. Dia menghela napas sembari bersandar pada lengan Agung. Mereka tampak sangat mencintai satu sama lain. “Berarti bukan masalah tato, ada sesuatu yang membuat ibunya Lela belum merestui. Mungkin ada pertimbangan lain yang membuat ibunya Mbak Lela belum merestui. Tatoo mungkin jadi salah satunya, tapi bukan yang utama.” “Apa yang harus kami lakukan Mbak? Kita sudah kehabisan cara.” Aku terdiam sejenak. “Bersabar. Jangan terburu-buru, tunjukkan saja keseriusan Mas Agung pada Mbak Lela.” “Apa mama akan luluh?” Agung merangkul pundak Lela. Ingatanku kembali pada mantan mertuaku. Sebaik apa pun aku bersikap akan selalu salah di matanya. Empat tahun bahkan belum cukup waktu untuk meluluhkan hati ibu mertuaku. “Sebelum membahas lebih lanjut tentang restu apa saya boleh tahu kenapa kalian mau menikah?” Seketika mereka saling bertatapan. “Memangnya salah,ya, Mbak kalau kita mau nikah?” tanya Lela. “Maksud saya kalian masih sangat muda untuk menikah. Kalian baru 21 tahun masih sangat muda sekali,” ujarku membuat keduanya bertatapan. “Saya mencintai Mas Agung.” “Saya mencintai Lela.” Mereka saling bertatapan penuh cinta mengabaikan aku yang seolah tidak ada di antara mereka. “Menikah karena cinta itu bagus, tapi harus disadari juga banyak hal yang perlu disiapkan dalam pernikahan. Bukan sekadar materi, tapi juga mental,” ucapku membuat tatapan mereka terputus. “Hidup bersama artinya mau menurunkan gengsi dan ego. Harus belajar bersabar dan memahami satu sama lain. Pria dan wanita diciptakan dengan sifat yang berbeda sehingga sulit untuk menyatukan pikiran karena memiliki ego masing-masing. Kalian sudah siap menerima kekurangan pasangan?” Mereka terdiam lalu Lela menatap aku tanpa keraguan. “Saya siap.” Calon suaminya pun mengangguk yakin. “Saya senang kalian sudah siap menerima kekurangan pasangan. Datanglah kembali ke sesi pembekalan pra nikah selanjutnya saya akan menjelaskan lebih lanjut tentang biduk rumah tangga sebagai pembekalan sebelum kalian menikah. Mungkin setelah itu kalian bisa memutuskan apakah ingin menikah muda atau menundanya.” Kuberikan selembar formulir yang ada di atas meja untuk mereka isi. Kami berbincang hangat mencairkan suasana. Aku coba menggali informasi tentang hubungan mereka untuk memahami lebih lanjut hubungan yang mereka jalankan. “Mbak Aulia boleh saya tanya sesuatu?” tanya Lela setelah selesai mengisi formulir. “Silakan.” “Mbak Aulia sudah menikah? Maaf saya hanya mau tahu kalau tidak berkenan tidak perlu dijawab Mbak.” Aku tersenyum untuk membuatnya nyaman. “Saya pernah menikah, tapi kurang beruntung. Untuk itu saya tidak mau orang lain bernasib sama seperti apa yang saya alami. Saya ingin membantu sebisanya.” “Maaf, ya, Mbak.” “Tidak apa, saya sudah berdamai. Beberapa orang pasti ada yang mengalami hal yang sama seperti saya.” Denis menyenggol lenganku membuyarkan lamunan tentang pasangan itu. “Mikirin apa sih?” tanya Denis sembari membelokkan mobilnya memasuki parkiran rumah makan. “Tiba-tiba teringat sama salah satu klientku. Cinta mereka terhalang tatoo,” ujarku membuat Denis tersenyum lebar. “Mereka pasti mengalami hari yang sulit. Ayo turun.” Aku segera turun setelah Denis keluar. Kami bergandengan tangan saat memasuki rumah makan itu. Mobil putih yang terparkir dekat pintu masuk rumah makan itu mengingatkan diriku pada mantan suami. Mobilnya sama percis seperti milik Julio atau jangan-jangan ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN