Siswa Pindahan

1042 Kata
Pukul 08.00, di SMA Cendana. Riuh suara anak-anak menggema di seluruh penjuru sekolah, saat bel baru saja berbunyi. Ada yang baru datang, ada yang berlarian dari arah luar gerbang karena terlambat, dan ada pula yang berlari dari kantin. Beberapa yang lain juga ada yang sudah duduk dengan tenang di ruang kelas. Seorang guru BP terlihat berdiri di depan gerbang sekolah. Mengawasi siswanya yang datang terlambat. Dengan sebuah tongkat rotan sepanjang lima puluh centi di tangannya, ia mengayun-ayunkan pada tangan yang lainnya. "Cepat tutup pintunya, Pak. Bel sudah berbunyi," titahnya pada seorang pria berseragam security. "Baik, Pak." Dengan patuh, lelaki berbaju putih dengan celana hitamnya itu segera menarik gerbang besi hingga tertutup. "Yah, Pak. Please lah, izinkan kita masuk." Beberapa siswa tampak memohon. Meminta dibukakan pintu gerbang yang baru saja tertutup. "Kalian sudah tahu bagaimana peraturan di sekolah ini, kan?" tanya sang guru BP dengan suaranya yang tegas. "Tolonglah, Pak, sekali ini saja," pinta mereka. Namun, ada seorang murid lelaki, yang memakai seragam yang sama dengan murid SMA Cendana, berjalan dengan santainya, seolah tak peduli jika dirinya sudah terlambat. Pemuda itu berjalan dengan langkahnya yang panjang sembari ia sisipkan tangan kirinya ke dalam saku bagian depan celananya, dan tangan kanannya memegang tas yang ia sampirkan di bahunya, bak Oppa di film Korea. Setelah semua siswa masuk ke dalam kelas, pintu gerbang di buka, dan di situlah para siswa yang terlambat mulai didisiplinkan oleh guru BP. Mereka semua berbaris di halaman sekolah, di tengah lapangan yang luas, tepatnya di depan tiang bendera. "Kalian tahu, jam berapa bel sekolah berbunyi?" teriak guru BP di hadapan para siswa yang terlambat. "Tahu, Pak," dengan enggan mereka menjawab. "Lalu kenapa, masih saja terlambat?" Guru BP dengan name tag Hasan itu tak habis pikir dengan sikap anak-anak didiknya. Mereka semua diam tak menjawab. "Hei, kamu." Hasan menunjuk lelaki muda yang terlihat cuek tadi. "Siapa nama kamu?" tanya lelaki yang tinggi badannya masih masuk dalam rata-rata tinggi orang Indonesia. "Dean," jawab siswa itu santai. "Kamu kelas berapa?" tanya Hasan lagi. "Murid baru." Dean tak terlalu menanggapi Hasan yang menjabat sebagai guru BP itu. "Masih murid baru, sudah berani terlambat?" Hasan menggaruk keningnya yang tak gatal. Tak habis pikir dengan sikap Dean yang acuh. Dean diam tak menjawab ucapan Hasan. "Karena kamu murid baru di sini, kali ini saya biarkan kamu lolos. Segera temui guru di kantor," perintah Hasan. "Yah, Pak. Ini enggak adil," sorak siswa yang lain, yang tidak terima dengan keputusan Hasan. Sementara itu, Dean berjalan dengan santai, meninggalkan barisan para siswa yang terlambat, dan segera menuju ruang guru. *** Suasana di kelas sebelas IPA 2 terdengar gaduh saat belum ada guru yang masuk untuk mengisi pelajaran. Ada yang saling mengganggu, ada yang belajar, ada yang memoles wajah, ada yang bergosip ria, dan ada pula yang melakukan hal-hal receh dan tidak jelas. Mereka berbuat apa pun yang mereka sukai. Hampir sepuluh menit kegaduhan itu terjadi. Suasana gaduh tiba-tiba menjadi hening saat seorang guru wanita masuk ke dalam kelas dengan membawa buku tebal di tangannya. "Selamat pagi, semua," sapanya ramah. Ia memindahkan buku di tangannya ke atas meja yang memang dipersiapkan untuk guru. "Selamat pagi, Bu," jawab para murid. "Sebelum kita mulai pelajaran kita hari ini, ibu mau mengenalkan siswa pindahan yang baru datang di kelas kita ini," ujarnya masih dengan berdiri. Kasak kusuk siswa-siswi yang mendengar pemberitahuan dari guru mereka mulai terdengar. Ada yang senang, ada yang bersikap biasa saja, ada juga yang heboh. "Baiklah, Dean, silakan masuk," ujar guru dengan name tag Maharani, di d**a sebelah kanannya itu. Langkah panjang Dean memasuki ruang kelas dengan gayanya yang cool. Tangan kirinya yang semula masuk pada saku depan celananya, ia gunakan untuk menyugar rambutnya yang menutupi kening, kemudian di masukkan kembali ke dalam saku celananya. "Baiklah, perkenalkan diri kamu," ujar sang guru memberi ruang pada Dean. "Namaku, Dean Martin," Hanya itu yang Dean ucapkan. Tak ada perkenalan lebih lanjut lagi. Karena bagi Dean, semua itu tidak penting. "Itu saja?" tanya guru yang akrab di sapa Bu Rani itu, saat tak mendengar Dean menambah kalimatnya. "Iya," jawab Dean kaku. "Baiklah, silakan duduk, Dean. kebetulan tempat yang kosong hanya ada satu." Bu Rani menunjuk sebuah kursi kosong di samping wanita yang sedang mencoret-coret buku di hadapannya. Lelaki dengan matanya yang sipit, kulit putih, hidung mancung, dan perawakan tubuh yang tegap berisi, tak gemuk juga tidak kurus, bak Oppa Korea, membuat para siswi yang menatapnya berdecak kagum. Ia berjalan melewati tiga deret meja dan mulai duduk pada meja deret ke dua dari belakang. Gadis yang sedang mencoret-coret bukunya itu, mengangkat wajahnya saat melihat Dean menarik kursi di sebelahnya. Dengan tenang dan tatapannya yang datar, Dean mendaratkan bokongnya pada kursi, kemudian meletakkan ransel hitamnya di atas meja. "Hai. Kamu pindahan dari mana?" tanya gadis itu mencoba mengakrabkan diri. Dean hanya meliriknya sekilas dan tidak berniat menjawab pertanyaan gadis itu. Merasa diabaikan, gadis itu dengan kesal mencibir, "Sombong amat." Mendengar cibiran gadis di sampingnya, Dean semakin bersikap acuh. "Baiklah, anak-anak. Kita mulai pelajaran hari ini. Buka buku biologi kalian pada halaman enam puluh tujuh. Dan kumpulkan tugas kalian yang ibu berikan Minggu lalu" perintah Bu Rani. Para siswa mulai membuka buku pelajaran dan halaman yang di maksud. Sementara itu, seorang ketua kelas berjalan dan mulai mengumpulkan tugas dari para murid. Melan, gadis yang duduk di samping Dean tampak bingung saat tangannya merogoh tas miliknya. Ia berusaha memastikan dengan mengeluarkan seluruh isi tasnya. "Haduh, kenapa enggak ada," ujar Melan bingung. "Perasaan tadi udah di masukin ke dalam tas," Melan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa, Melan?" tanya Bu Rani yang melihat kebingungan Melan. "Anu, Bu...." Ucapan Melan terhenti. "Anu, apa?" "Buku saya... tertinggal, Bu." Dengan cengiran canggung, di tambah rasa malunya, Melan berujar. "Kamu ini, selalu saja begitu." Suara Bu Rani meninggi dengan matanya yang mendelik. Melihat Melan yang hanya cengengesan, Bu Rani menghembuskan napasnya kasar. "Sekarang, kamu ibu hukum, berlutut di luar kelas," ujar Bu Rani yang mencoba meredam emosinya. Pasalnya, ini sudah yang kesekian kalinya Melan melakukan hal itu. "Ta... tapi, Bu." Melan mencoba meminta keringanan, namun urung ia lakukan saat melihat tatapan Bu Rani yang semakin memelototinya. "Baik, Bu." Akhirnya Melan hanya bisa patuh dan dengan berat hati, ia berjalan keluar kelas. Sebenarnya ini sangat memalukan bagi Melan, bagaimana tidak? Ada seorang murid baru, dan ia justru mempermalukan diri sendiri dengan kecerobohannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN