Dua jam sudah, Melan harus berlutut di luar kelas karena keteledoran yang ia lakukan. Jangan tanya bagaimana rasanya. Malu, sudah pasti, paha dan punggungnya terasa nyeri karena harus menahan berat tubuhnya.
Tak lama kemudian, guru biologi itu keluar dari kelas Melan karena waktunya telah habis.
"Sekarang masuklah, dan tanyakan tugas apa yang harus kamu kerjakan," perintah Bu Rani.
Melan merasa lega karena hukumannya berakhir. "Terimakasih, Bu," ucapnya sembari tersenyum. Namun di dalam hatinya ia merasa sedikit kesal. Tapi ia tetap sadar, jika dirinya juga bersalah.
Melan segera masuk ke dalam kelas begitu Bu Rani meninggalkannya. Ia segera menghempaskan bokongnya pada kursi kayu itu sembari menghembuskan napas lega.
Setelah lelahnya sedikit berkurang, Melan kembali menegakkan tubuhnya. "Sstt," Melan menowel lengan lelaki di sampingnya. Pemuda yang merupakan anak baru.
Dean menoleh, namun tatapannya tetap datar.
"Kasih tahu dong, tugas yang dikasih Bu Rani barusan," ujar Melan.
Dean kembali membuang pandangan ke arah depan dan tak merespons permintaan Melan sama sekali.
"Denger enggak sih? atau jangan-jangan nih cowok budeg ya?" cerocos Melan dengan perasaan kesal karena sikap Dean. Bicaranya pun tanpa ditahan.
Dean tak ambil pusing dengan ucapan Melan. Ia malah memasang headset untuk menutup pendengarannya.
Melan semakin kesal dengan sikap anak baru ini. "Kenapa tadi, aku terima dia duduk di sampingku." Melan berdiri dan mendekat ke arah gadis muda dengan rambut yang sedikit ikal. Gadis itu duduk di bangku paling depan.
"Vin, nanti aku ke rumahmu, ya. Mau ngerjain tugas dari Bu Rani," ucap Melan pada gadis berkacamata yang merupakan siswa juara satu di kelasnya.
Vina mengangguk setuju. Di kelas ini, semua siswa menjauhinya, hanya Melan yang mau berteman dengannya. Alasan mereka menjauhi Vina, karena gadis itu terlihat dekil. Vina memang salah satu siswi penerima beasiswa di sekolah elit itu. Ayahnya hanya bekerja sebagai tukang parkir di sekolah ini dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang mengurus ke empat adiknya.
"Oke. Makasih, Vina." Melan mencubit gemas pipi Vina dan segera kembali ke tempat duduknya.
Tak berselang lama, seorang guru kembali masuk ke dalam ruang kelas, dan pelajaran selanjutnya pun di mulai.
"Selamat siang, Anak-anak," sapa guru yang baru saja masuk dengan membawa beberapa buku dan bahan ajar. Ia pun meletakkan semua benda yang dibawanya ke atas meja.
"Selamat, siang, Pak." Para siswa balik menjawab sapaan sang guru. Setelahnya, pelajaran kewarganegaraan itu pun dimulai.
Di dalam ruang kelas ini, ada berbagai kriteria murid dengan karakteristik masing-masing saat menjalani proses pembelajaran. Seperti saat ini, ada yang bertopang dagu, ada yang menguap, ada yang diam-diam bermain ponsel di laci, namun ada juga yang sangat serius belajar.
Bel istirahat berbunyi, membuat beberapa siswa bersorak dengan riang.
"Baiklah, Anak-anak, sampai di sini pelajaran kita hari ini. Jangan lupa kerjakan tugas yang bapak berikan, dan setiap kelompok akan mempresentasikan hasil pekerjaannya Minggu depan," ujar guru lelaki berpakaian batik itu. Ia pun bergegas meninggalkan ruang kelas.
Para siswa-siswi berhamburan keluar kelas dengan tujuan masing-masing. Ada yang menuju kantin untuk makan siang, ada yang menuju toilet untuk touch up make up, dan ada juga yang pergi ke dekat gudang tua di sekolah untuk sekedar nongkrong bersama geng mereka dan merokok diam-diam di sana.
"Kamu, enggak makan siang, Vin?" tanya Melan yang berjalan ke arah bangku Vani.
"Aku bawa bekal dari rumah, Mel." Vina mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya.
"Kita makan bareng, yuk." Melan juga menunjukkan kotak bekalnya. Keduanya pun makan bersama.
Saat tengah asyik menikmati makanan mereka, Vina menyenggol lengan Melan. Melan menatap wajah Vani dengan mengangkat alisnya.
Vina memberi kode dengan pandangan dan bibirnya. Melihat kode dari temannya, Melan segera menoleh. Ia melihat si murid baru itu tengah tertidur dengan meletakkan kepalanya di atas meja.
"Biarin aja, lah," ucap Melan kembali fokus pada makanannya.
"Coba ditawarin," ucap Vina seperti memberi saran.
"Ogah, manusia juteknya minta ampun."
"Coba dulu, Mel," desak Vina.
Melan akhirnya pasrah. Ia berjalan ke arah Dean sembari membawa kotak bekalnya. Kebetulan bekal yang ia bawa adalah nugget ayam, jadi masih mudah untuk berbagi.
Melan menyentuh bahu Dean dengan ujung jari telunjuknya. Dean membuka matanya, dan menatap Melan sejenak.
Melihat tatapan Dean padanya, Melan tiba-tiba merasa gugup. "Ma... mau makan?" tanya Melan dengan tergagap.
Dean tak menjawab ucapan Melan. Ia malah mengalihkan wajahnya sehingga Melan hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya.
Melihat sikap Dean, Melan mengangkat tangannya membentuk sebuah kepalan. Ingin rasanya ia memukul kepala pria itu. Pria yang baginya sangat menyebalkan. "Ish, jadi orang ngeselin banget sih. Bisu kali, ya," umpat Melan kesal. Ia menghentakkan kakinya dan kembali ke bangku Vina. "Lain kali, ogah ngajakin dia ngomong. Kali aja mulutnya cuma pajangan, atau emang gagu. Cakep-cakep budeg." Melan terus menerus mengeluarkan uneg-uneg di hatinya. Ia berbicara sesuka hati karena terlalu kesal dengan anak baru.
***
Jam pelajaran berakhir. Pukul tiga sore, jam operasional sekolah telah selesai. Para siswa dan guru mulai bersiap pulang. Tidak terkecuali kelas yang ditempati Melan.
Melan masih menyimpan alat-alat tulisnya saat teman-temannya mulai meninggalkan ruang kelas itu. Tak lama, Dean juga meninggalkan ruang kelas dan berjalan pulang.
Saat Melan hendak meninggalkan bangkunya, matanya tak sengaja menatap benda kecil yang terjatuh di bawah tempat duduk Dean.
Melan segera memungut benda itu. Sebuah headset bluetooth yang sepertinya itu adalah milik Dean.
Melan segera mencari pria itu. Ia hendak mengembalikan benda itu pada pemiliknya. Langkahnya dipercepat karena Dean sudah berada cukup jauh darinya.
Dean berjalan dengan langkahnya yang panjang menyusuri koridor sekolah. Setelah itu, ia berbelok dan menuruni tangga.
Melan berlari mengejarnya dengan harapan masih bisa menemukan pria itu.
"Woi, anak baru," teriak Melan saat ia melihat punggung Dean.
Dean yang tak merasa panggilan itu untuknya, terus berjalan meneruskan langkahnya. Ia bahkan berjala. dengan santai sampai di halaman sekolah.
Melan yang terus mengejarnya merasa kesal karena Dean tak menghentikan langkahnya. Ia semakin mempercepat larinya dan berhasil menarik baju belakang Dean.
Merasa ada yang mengganggunya, Dean menatap Melan dengan dingin.
"Apa kau memang berusaha mencari perhatianku?" tanya Dean sinis.
Mendengar ucapan Dean, mata Melan membelalak. Ia kesal bukan main. Benar-benar sosok pria menyebalkan dengan tingkat percaya diri yang terlalu tinggi.
"Enggak usah kepedean. Nih." Melan memberikan benda kecil itu dan menempelkannya pada d**a Dean. Tanpa menunggu Dean menerimanya, Melan segera melepaskan tangannya dan pergi meninggalkan Dean, hingga benda kecil itu pun akhirnya terjatuh.