Prolog.

730 Kata
Siang ini pukul 10.35, matahari dengan sinarnya yang menyilaukan merangkak naik. Panasnya terasa menyengat kulit. Peluh pun mulai membasahi pakaian-pakaian anak-anak dari SMA Cendana yang sedang melakukan kegiatan amal di sebuah lapangan. SMA Cendana, adalah salah satu SMA swasta favorit yang ada di Kota Sura. Dan siang ini mereka sedang melakukan penggalangan dana untuk kemanusiaan dengan melakukan bazar produk rumah tangga hasil kreasi tangan mereka. Suasana cukup ramai dengan kedatangan beberapa pengunjung sejak pukul sembilan pagi tadi. Panasnya cuaca kali ini pun, tak menyurutkan semangat anak-anak yang sedang berusaha memikat pembeli dengan cara mereka masing-masing. SMA Cendana terdiri dari dua puluh tuju kelompok belajar, dengan masing-masing angkatan terdiri dari sembilan ruang belajar. Setiap kelasnya terdiri dari dua puluh siswa aktif yang menuntut ilmu. Para guru yang membimbing juga merupakan guru-guru pilihan dengan segudang prestasi gemilang mereka. Salah satu sekolah elit tempat menampung anak-anak dari orang berduit. Tapi ada juga beberapa penerima beasiswa berprestasi yang menempuh pendidikan di tempat itu. "Bu, silakan di minum." Seorang siswa lelaki datang menghampiri dan menyodorkan segelas minuman dingin kepada wanita yang menggunakan pakaian seragam khusus guru yang sedang duduk di bawah tenda sebuah lapak. "Terima kasih, Axl," ujarnya dengan seulas senyuman menerima pemberian dari siswa lelaki itu. Merasa pemberiannya diterima, anak remaja itu pun tersenyum senang dengan sedikit tersipu. "Kamu, jauh banget. Bukannya lapak tempat jualan kamu di sebelah sana ya?" guru muda itu menunjuk sebuah arah yang terletak di sudut yang berseberangan dari tempatnya. Bazar kali ini, lapak-lapak tempat jualan para siswa berjejer membentuk sebuah persegi panjang. Jumlah lapak pun sesuai dengan jumlah ruang kelas. "Hehe." Tak menjawab, anak muda itu hanya tersenyum, sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Saya kasihan lihat ibu kegerahan," ujarnya. "Kamu perhatian banget," pujinya. "Minumannya juga seger banget," imbuh guru muda yang baru saja menyedot minuman untuk masuk ke dalam mulutnya. "Selamat menikmati, Bu. Sa... saya balik dulu." Dengan berat hati, pemuda itu berpamitan. Setelah mendapat anggukan dari sang guru, anak itu segera berlari kembali ke lapaknya. Dalam bazar kali ini, para guru bertugas mengawasi dan mendampingi kegiatan yang dilakukan anak-anak. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana guru-guru pun membuka lapak mereka sendiri. Banyaknya pengunjung dan berang yang terbeli, sudah menjadi angin segar. Tanda jika dana yang terkumpul kali ini sudah lumayan banyak untuk di sumbangkan ke beberapa tempat yang membutuhkan. Di tengah cuaca yang terik, seorang pria yang berusia lebih dari setengah abad, yang mereka tahu, jika pria itu merupakan kepala sekolah dari SMA Cendana, sedang melakukan pemantauan kegiatan yang berlangsung di lapangan. Tepat di sampingnya, berdiri seorang pria yang wajahnya asing, sepertinya ini pertama kalinya bagi mereka melihatnya. "Eh, ada pak kepsek tuh." Riuh beberapa siswa yang melihat kedatangan mereka. "Tapi bareng siapa ya? kaya baru lihat," imbuh yang lain menimpali. "Hem. Ganteng banget pula." Beberapa siswi terlihat semakin antusias melihat kedatangan kedua orang yang bergantian keluar-masuk dari satu lapak ke lapak yang lain. "Mimpi apa semalem, bisa melihat oppa Korea berkunjung," ujar siswi yang lain yang terlihat kagum menikmati wajah tampan lelaki yang berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu. Sementara, guru wanita tadi hanya tersenyum melihat antusias para siswi yang memang selalu begitu setiap melihat pria tampan. Baginya itu hal biasa, sehingga ia tetap bersantai menikmati minuman pemberian dari anak muridnya tadi. "Selamat siang, Anak-anak," sapa pria yang menjabat sebagai Kepala Sekolah itu memasuki salah satu tenda. Guru wanita yang sedang menikmati minumannya itu sedikit terkejut. Ia meletakkan botol air minumnya dan berdiri menyambut kedatangan pria dengan jabatan tertinggi itu. Saat sepasang mata guru muda dan pria muda yang mengikuti kepala sekolah itu bertemu, keterkejutan saling mereka rasakan, namun ekspresi wajah si pria terlihat datar-datar saja. Ia menekan ekspresinya sebaik mungkin, berbeda dengan si wanita yang sangat kentara ekspresi terkejut dari wajahnya. "Bu Melan, bagaimana? Ramai atau sepi?" tanya kepsek berbasa-basi. Wanita yang dipanggil Melan itu tersadar dari rasa terkejutnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya kepada sosok pria setengah abad itu. "Alhamdulillah lumayan, Pak. Hasil penjualan juga sudah lumayan kita dapatkan," jelasnya. "Bagus, bagus." Kepsek mengangguk-angguk. "Oh iya, kenalkan, Ini Pak Dean, calon Kepala Sekolah baru yang akan menggantikan saya," ujarnya beralih kepada pria di sebelahnya sembari menunjuk. Belum habis keterkejutan Melan, ia kembali dikejutkan dengan hal yang lain. Memang sudah terdengar kabar jika kepala sekolah lama akan segera diganti karena sudah masanya beliau untuk pensiun. Tapi, ia tak menyangka jika orang yang menggantikannya untuk menjabat sebagai kepala sekolah justru orang ini. Lelaki di hadapan Melan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN