"Sha, untung ketemu kamu di sini."
Alisha yang sedang menikmati makan siangnya seorang diri di food court lantai tujuh hampir saja tersedak saat melihat Arya tersenyum lebar. Tak hanya menampilkan senyum terbaiknya, mantan kekasihnya itu justru menarik satu kursi kosong yang langsung ia duduki.
"A- Arya?" gumam Alisha setelah susah payah menelan bakso Malang pesanannya.
Arya semakin meringis lebar mendapati wajah terkejut Alisha. Meskipun suasana hatinya selalu jungkir balik ketika setiap pagi mendapati Alisha di antar oleh Danesh, siang ini Arya kembali ceria begitu mengingat esok lusa keduanya akan bertolak ke Banten untuk mengunjungi Magika.
"Upss, sorry kalau bikin kamu kaget." Arya mendorong botol air mineral yang sedari tadi memang berada di samping Alisha. "Minum dulu deh, biar nggak keselek."
"Ada apa?" tanya Alisha setelah menenggak separuh minumannya.
"Lusa, jadi kan kita ketemu sama Magika?" Arya malah balik bertanya untuk yang ke ... mungkin sudah ratusan kalinya. Dan ratusan kali itu pula Arya dibuat keheranan dengan wajah sedih Alisha yang selalu ditampakkan ketika ia mengungkit tentang putri mereka, Magika.
Alisha tak mau menanggapi pertanyaan Arya secara berlebihan, jadi ia hanya memberi anggukan sebagai jawaban.
Arya kembali tersenyum lantas berkata, “Magika lagi suka mainan apa sih, Sha? Aku mau bawain dia banyak barang. Atau … dia suka warna apa gitu? Merah muda mungkin?”
Perempuan di depan Arya sempat membasahi bibir sesaat lalu menoleh ke kanan dan kiri mengamati keadaan di sekitar mereka. Ini bukan pertama kalinya Arya mendekatinya seperti ini di tempat umum. Hal yang sangat mudah ditebak akan menimbulkan efek apa untuknya. Tentu saja gossip tak berkesudahan yang mempertanyakan hubungannya dengan putra bungsu pemilik gedung ini.
“Kamu nggak perlu tanggapi mereka, cuek aja sih, Sha. Toh mereka nggak kenal sama kita berdua.” Sepertinya Arya bisa membaca pikiran Alisha, sehingga saat ia ikut memandangi ke sekitar, Arya paham akan hal yang dicemaskan oleh ibu dari putrinya itu.
“Tapi aku nggak nyaman selalu ditanya sama anak-anak LG tentang kamu,” desis Alisha lantas menatap mangkuknya lagi. Lebih baik cepat-cepat menghabiskan makanannya agar bisa segera beranjak dari hadapan Arya.
“Nggak usah jawab mereka, kamu cukup jawab pertanyaanku aja.”
Alisha kembali menghentikan gerakan sendoknya demi menatap tajam netra Arya yang terdengar santai merespon kasak kusuk tentang mereka.
“Pertanyaan apa?” seru Alisha setelah membuang napas panjang.
“Yang barusan itu, hmmm … Magika lagi suka mainan apa? Warna apa? Kartun apa?”
Karena sungguh, jika Arya menghitung usia putrinya yang harusnya kini berumur 2 tahun 4 bulan, batita sekecil itu bisa jadi sedang menyukai mainan warna warni yang berbentuk lucu dan menggemaskan. Layaknya Mika, keponakannya yang lahir sama persis dengan Magika.
"Kan aku udah bilang sebelumnya," decak Alisha pelan. "Kamu nggak perlu bawa barang-barang atau mainan kayak gitu, Ya."
"Tap—"
"Magika nggak terlalu suka," potong Alisha sukses membuat Arya mengatupkan bibir.
"Terus dia sukanya apa? Makanan gitu?"
Alisha menggeleng lantas menunduk untuk berpikir sejenak sembari mengaduk minumannya. "Dia sukanya, hmm... bunga."
"Bunga?" Arya mengerutkan kening.
"Kamu bisa bawain dia bunga. Magika suka banget sama bunga." Alisha mengangguk mantap.
"Bunga apa?" kejar Arya Belum puas dengan jawaban Alisha.
"Apa saja, dia nggak pemilih kok," jawab Alisha lantas mengemasi ponsel dan dompet yang digeletakkan begitu saja di atas meja.
"Kamu keburu pergi? atau ... sengaja menghindar dari aku?" Arya memberanikan diri mencekal siku Alisha yang bangkit berdiri.
Alisha memasang senyum tipisnya. "Jam makan siang udah hampir habis, Ya," serunya melirik jam tangan di pergelangan tangan kanan. "Aku bukan bosnya, jadi harus disiplin."
Arya mendesah pelan karena setuju dengan kalimat Alisha. "Tapi beneran kamu nggak hindari aku kan? kamu sudah ... maafin aku?"
"Patah hatiku sudah sembuh, Ya. Jadi nggak ada alasan lagi buat hindari kamu."
Memasang senyum simpul, Alisha ingin membenarkan kalimatnya sendiri. Namun pada kenyataannya, degup jantung perempuan itu belum bisa diajak kerja sama dengan baik jika berdekatan dengan pria masa lalunya. Alisha hanya berusaha menutupi perasaan dengan segala sanggahan yang ia punya.
"Aku balik dulu, ketemu lagi besok lusa di Banten." Dengan gerakan pelan Alisha menurunkan jemari Arya dari lengannya.
"Kita berangkat bareng kan?" Tentu saja itu hanya harapan Arya. Namun saat Alisha menggeleng, pupus sudah keinginan pria itu.
"Aku diantar Mas Danesh. Kita ketemu di rumahku aja siang harinya," jawab Alisha sangat tenang.
Kalau sudah begini bagaimana mungkin Arya memaksa. "Oke, kalau begitu."
***
"Yakin nggak mau diantar aja, Boss. Soalnya si Danu tadi pagi tanya apa boss bareng saya ke sananya," ungkap Yoshi saat mengekori Arya hingga ke halaman depan rumahnya.
Di Jakarta, Arya memang tinggal di rumah peninggalan sang nenek di daerah Gading Serpong. Tak sendirian memang, karena ada setengah lusin asisten rumah tangga, tukang kebun, penjaga keamanan sampai supir yang selalu siap siaga melayani bungsu Dwisastro yang dulunya terkenal manja dan banyak permintaan itu.
"Nggak perlu, Yosh." Arya melambaikan satu tangannya yang sudah membawa kunci mobil. "Kalau Danu tanya lagi, bilang aja gue lagi pengen sendiri!"
"Terus saya ngapain kalau nggak ngawal, Mas Boss?" Yoshi Belum berhenti mengekori langkah Arya sampai atasannya itu sampai di sebelah mobil.
Memutar bola matanya malas, Arya malah mengendik memberi kode agar Yoshi mundur beberapa langkah karena tubuhnya menghalangi bagian samping pintu mobil. "Ya ngapain kek, kalau nggak cari cewek, potong rumput atau nguras kolam ikan sana bantuin Pak Narto," decak Arya melirik ke arah samping di mana salah seorang pekerjanya memang sedang membersihkan kolam. "Minggir lo!"
Meninggalkan Yoshi yang masih mengerucutkan bibir sebal, Arya malah melebarkan senyum riang saat mengemudikan mobilnya menjauhi rumah. Senyum ceria yang tercipta karena ia merasa ini adalah hari keberuntungannya lantaran tak lama lagi ia bisa bertemu dengan buah hati tercinta.
Tepat jam satu siang, Arya sudah sampai di Banten. Beberapa jam lalu ia mengirimkan pesan pada Alisha, menanyakan keberadaannya saat ini. Pesan yang langsung dijawab dengan respin yang sudah ia duga. Alisha sudha terlebih dahulu sampai karena berangkat selepas subuh tadi.
Alisha ❤ : Sudah sampai mana?
Jantung Arya mendadak bertalu ketika mendapati ponselnya bergetar dan menampilkan nama Alisha di bagian pop up menu. Tentu saja itu hal yang mendebarkan sekaligus menggembirakan baginya. Karena biasanya Arya yang terlebih dahulu memulai percakapan. Bukannya Alisha seperti ini.
Arya : Sudah di depan gerbang perumahan.
Arya semakin gelisah kala memikirkan alasan Alisha menghubunginya terlebih dahulu.
Alisha ❤ : Oke, aku tunggu di depan pagar. Kita langsung berangkat ke tempat Magika.
Tak sampai sepuluh menit, mobil yang dikendarai Arya sudah sampai di rumah Alisha. Benar saja, ternyata perempuan cantik itu sudah siap menunggunya di depan pagar. Menggunakan dress hitam sebatas lutut yang dilengkapi dengan outer rajut warna cokelat muda. Penampilan Alisha saat ini sangat manis, dan terlihat jauh lebih muda dari usianya yang nyaris menyentuh angka 24.
"Ayo langsung aja," seru Alisha begitu Arya baru saja keluar dari mobil.
Pria itu dan mengerutkan kening. "Ke mana?"
"Katanya mau ketemu Magika?"
Arya mengangguk linglung. "Bukannya ... Magika tinggal di sini?" tanyanya seraya menunjuk rumah asri Alisha yang nampaknya mengalami banyak renovasi di sana sini.
"Dia nggak di sini. Ayo keburu hujan!" ajak Alisha lagi langsung memutari mobil dan membuka pintu di samping kemudi.
"Ta- tapi, Sha. Aku belum ketemu dan pamitan sama ayah kamu."
"Ayah baru saja berangkat ke yayasan sama Mas Danesh. Ayo buruan, udah gerimis."
Sejujurnya Arya masih bingung. Awalnya ia mengira Magika tinggal di sini, di rumah orang tua Alisha. Namun saat Alisha mengajaknya ke tempat lain untuk bertemu dengan putrinya, Arya benar-benar tak punya tebakan lain akan tujuannya kali ini.
"Lalu kita mau ke mana?" tanya Arya lagi setelah ia duduk di balik kemudi.
Melirik sekilas, ia baru menyadari kalau sedari tadi Alisha membawa satu keranjang bunga yang terdiri dari berbagai jenis. Arya tak paham dengan aneka bunga-bungaan, yang ia tahu hanya ada Mawar dan krisan putih yang terselip di sana.
"Nanti kamu juga tahu."
Perjalanan keduanya lebih banya diisi keheningan. Hanya ditemani alunan music dari audio mobil dan gemerisik rintik hujan diluar sana.
“Sha, ke- ke- kenapa ke sini?” Suara Arya tercekat ketika Alisha mengarahkan jalan dan kini jalanan yang dilalui mobil Arya hanya dihiasi pepohonan rindang di kedua sisinya.
“Magika tinggal dekat sini, sabar,” jawab Alisha tak kalah lirih karena menahan gejolak di hatinya.
“Sha, kamu becandain aku ya?” Jantung Arya kembali didera nyeri ketika Alisha memberi isyarat untuk berhenti. Bukan di sebuah rumah yang sudah dibayangkan Arya seperti sebelum-sebelumnya. Tapi…
“Dia, tinggal di sini. Ayo turun, bawa hadiah kamu buat Magika.” Alisha mengendik ke arah belakang, di mana Arya meletakkan hadiah untuk putrinya berupa boneka lucu dan rangkaian bunga yang terbuat dari rajutan. “Dia pasti seneng banget mau ketemu sama ayahnya.” Raut wajah Alisha terlihat begitu tenang ketika melanjutkan kalimatnya.
Hal yang berbanding terbalik dengan yang dialami Arya. Petinggi perusahaan itu mendadak pucat pasi dan tak mampu bersuara. Terlebih lagi ketika Alisha menuntunnya pada sebuah tempat yang menurut Alisha menjadi tempat tinggal putri mereka. Bukan sebuah rumah atau bangunan megah, melainkan sebuah pusara kecil yang di atasnya terbentang rerumputan hijau serta terdapat batu nisan bertuliskan nama putrinya. Magika Kyomi.
“Nak, coba tebak siapa yang datang sama bunda?” seru Alisha saat duduk bersimpuh dan meletakkan bunga yang ia bawa di atas pusara. “Bunda datang sama ayah kamu, pasti kamu udah nungguin kan?” sambung Alisha lagi lantas menoleh pada Arya.
Pria yang tadinya berdiri tegap di belakang Alisha kini tak hanya diam membeku, namun sudah terduduk luruh di atas kedua lutut sambil menangis tersedu.
***