7. Insecure

1294 Kata
Arya mendesah kesal ketika selesai membaca rancangan proyek terbaru yang harus ia tangani. Ini proyek warisan sejak sang ayah masih menjabat hingga kini ia yang menggantikan posisi beliau. Bukan proyek receh yang tinggal membutuhkan tanda tangan lalu selesai begitu saja. Namun bukan hanya keruwetan proyek itu saja yang membuat bungsu Dwisastro itu geram, tapi juga karena otaknya dipenuhi dengan bayangan Alisha yang semakin mengganggu ketenangan hidupnya. Ponsel yang sedari tadi Arya abaikan tiba-tiba bergetar menandakan pesan masuk. Muncul nama Yoshi sebagai pengirimnya. Yoshi Ajd : Boss, semua tentang Danesh dan Alisha sudah selesai saya selidiki. Arya mendesah lega begitu membaca sebaris pesan dari orang kepercayaannya. Katakanlah ia memang cemburu, biarlah sudah karena pada kenyataannya ia masih belum mampu menghapus nama Alisha dari hatinya. Bukan semata karena karena rasa bersalah dan kasihan, tapi Arya bertahan karena sadar cintanya hanya milik Alisha seorang. Arya : Tunggu gue 30 menit lagi. Yoshi Ajd : Siap, Boss. Saya sudah di bawah. Sudah lebih dari empat hari sejak pertemuan Arya dan Alisha malam itu. Hingga detik ini tak ada kelanjutan lagi karena Arya digulung kesibukan yang luar biasa. Danu, asisten pribadinya yang baru benar-benar tak memberinya ruang untuk sekadar bernapas dan melepas pekat dari urusan pekerjaan. Beruntungnya, ia masih bisa mencuri waktu saat jam makan siang atau jam kantor berakhir. Di jam-jam tersebut Arya merelakan dirinya menjadi pria bodoh yang beralih profesi makhluk penunggu lobby demi melihat Alisha. Usahanya tak sia-sia, dua dari tiga hari percobaan, ia berhasil melihat sekelebatan Alisha yang melewati lobby. Bahkan sesekali Arya sengaja menaiki lift yang sama dengan Alisha demi menarik perhatian perempuan itu. "Kenapa nggak naik lift khusus direksi?" tanya Alisha siang tadi. Sepertinya perempuan cantik itu tertinggal rombongan rekan-rekannya, karena itulah Arya nekat mendekatinya saat tahu kesempatan itu ada. "Lagi males." "Bukan hal yang disengaja kan?" selidik Alisha lantas memindahkan cup berisi jus jambunya ke tangan kiri. Arya membasahi bibirnya sekilas. "Jujur saja, aku memang sengaja nungguin kamu." Alisha membuka mulut hendak melayangkan protes."Kena—" "Karena pembicaraan kita malam itu belum selesai, Sha," potong Arya merendahkan suaranya. “Nanti aku kabari,” balas Alisha setelh memejamkan mata untuk beberapa detik. Arya mengangguk paham. Kemudian pria itu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. “Nomor ponselmu, Sha,” ujar Arya sembari mengulurkan gawainya. “Gimana bisa ngabari kalau kita tak tahu nomor ponsel satu sama lain,” imbuhnya dengan wajah tenang. Alisha mendesah pelan. Arya memang benar, keduanya belum pernah bertukar nomor, jadi bagaimana bisa ia memberi kabar pada pria itu. Mau tak mau, Alisha akhirnya menerima uluran ponsel Arya dan menyimpan nomornya pada ponsel pria itu. “Sudah.” “Thank you, benar-benar aku tunggu, Sha. Kapanpun aku siap bertemu dengan Magika. Dia … dia putriku, jadi nggak ada alasan buatku nggak siap.” Alisha menelan ludahnya susah payah. Arya benar, tak mungkin selamanya Alisha tak mengijinkan Arya mengetahui tentang kondisi Magika. “Dia nggak tinggal sama aku di sini, baru bulan depan aku ke Banten nemuin dia lagi.” “Akan aku kosongkan jadwalku bulan depan. Kamu tinggal bilang kapan tanggalnya,” seru Arya bersemangat. "Setiap tanggal 24 aku ke sana, ketemu sama Magika." Alisha menunduk menekuri jemarinya yang meremas ujung kemeja. "Oke, aku pastikan ikut ke Banten tanggal itu," jawab Arya mantap masih memaku pandangan pada sosok Alisha yang menghindari tatapannya. Suara ketuk pintu memecah lamunan Arya. Danu masuk ruangan setelah dipersilahkan masuk oleh atasannya. Pemuda itu membuka tablet lantas mengabarkan kalau semua pekerjaan sudah selesai dan kembali mengingatkan jadwal Arya untuk keasikan harinya. "Kosongkan jadwal untuk tanggal 24 sampai 26 bulan depan. Saya ada keperluan di luar kota." Sepertinya satu hari tidaklah cukup untuk melepas rindu dengan Magika. Jadi, Arya menambah beberapa hari untuk bisa mendekati putri kecil yang sudah lama tak ia temani tumbuh kembangnya. Rencana yang sempurna bukan? "Siap. Apa perlu saya siapkan supir atau confirm juga ke Capt Effendi untuk prepare penerbangan?" sahut Danu langsung sigap hendak menyiapkan moda transportasi untuk sang atasan. "No, saya hanya pergi berdua dengan Yoshi. Kamu sama Julia handle di sini." Arya menyebutkan nama sekertarisnya. "Siap, Mas." Danu mengangguk lantas menekan-nekan tabletnya untuk menandai kalender di tanggal yang sudah disebutkan Arya. "Tapi, Mas, hmm .... akhir bulan depan Bapak dan Ibu berencana ke Jakarta. Karena tanggal 30 ada rapat pemenang saham. Apa tidak masalah kalau Mas Arya ke luar kota mendekati akhir bulan juga?" Arya memejam sejenak. Ia tak terlalu masalah dengan sang ayah yang tak terlalu ikut campur dengan urusan hatinya. Namun lain halnya dengan Hanami, perempuan paruh baya itu sampai detik ini masih saja sering ikut campur masalah pribadi Arya. Termasuk urusan pasangan. "Nggak masalah, urusan di luar kota nggak akan lama, nggak ada pengaruhnya juga sama jadwal papa mama." ‘Kecuali mama kembali kepo dan mencari tahu kepentinganku di Banten nanti,’ sambung Arya hanya ia gunakan dalam hati. Arya berpamitan terlebih dahulu pada Danu karena Yoshi sudah menunggunya di coffee shop lantai satu. Danu masih tinggal beberapa lama di kantor karena pekerjaan tambahan yang baru saja diberikan Arya. Sengaja, Arya hanya berjaga-jaga saja jika Danu akan mengorek informasi dari Yoshi untuk dilahirkannya pada Hanami atau Adiyatma. "Jadi gimana, Yosh?" Yoshi tersentak saat atasannya itu sudah menarik satu kursi dan duduk di sampingnya. "Eh, maaf, Boss. Keasikan mabar sama ponakan nih," seru Yoshi menggaruk kepalanya lantaran tak enak hati kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja. “To the point aja buruan.” Arya mengeluarkan sebungkus rokok lantas menyelipkan satu batang di sela-sela bibirnya. Sejak berpisah dengan Alisha beberapa tahun lalu, kebiasaan Arya membakar dan menghisap lintingan tembakau itu semakin menjadi. “Menurut teman-teman terdekat Danesh, mereka berdua nggak ada hubungan apa-apa selain hubungan kekerabatan,” ujar Yoshi sembari membuka tabletnya. Arya tersenyum miring saat mendengar hal tersebut. Bukannya apa, ia hapal betul kalau Danesh dan Alisha bukanlah dua saudara yang memiliki hubungan kekerabatan semacam itu. “Tapi kalau kata temen-temen Alisha di Less Giant, hubungan mereka masih di tahap pendekatan bahkan mengarah pada hubungan tanpa status.” Beberapa hari terakhir, Yoshi sengaja mendatangi kantor Danesh dan Alisha untuk mencari tahu hal tersebut karena mustahil menanyakan langsung pada yang bersangkutan. “Di jari manis keduanya juga nggak ada cincin tunangan, Boss.” Tak menyahut, Arya justru memicingkan mata pada anak buahnya itu. “Maksud lo?” “Ya artinya, kesempatan, Boss buat nikung si Alisha biar nggak keduluan Danesh masih terbuka sangat lebar. Adanya Danesh di sekitar Alisha bukan halangan yang perlu dikhawatirkan,” jawab Yoshi terkekeh lantas menutup tabletnya. “Tapi hampir setiap hari mereka ketemuan, Yosh. Hmm … ya kecuali beberapa hari ini sih, katanya Danesh lagi sibuk kerj—” “Boss, sorry motong.” Yoshi mengangkat satu telapak tangannya. “Apa lo?!” gerutu Arya menghembuskan asap rokoknya ke atas wajah. Yoshi mengubah posisi duduknya. “Sejak kapan, Boss, jadi insecure sama orang lain gini?” "Gue insecure sama, Danesh maksud lo?!" Pertanyaan yang dilontarkan Yoshi begitu telak bagi atasannya. Hingga Arya menarik napas beberapa kali, sebagai usahanya untuk menenangkan hati. Iya, pria itu selalu merasakan resah tak bernama jika memikirkan tentang kedekatan Alisha dan Danesh. Meski Yoshi mengatakan tak ada hubungan asmara di antara keduanya, tetap saja Arya merasa tertinggal jauh di belakang jika dibandingkan Danesh. Bayangkan saja, beberapa tahun silam, Arya yang membuat Alisha patah hati hingga nyaris bunuh diri. Di saat itu pula sosok Danesh datang sebagai penolong yang berhasil melindungi. Pun demikian saat Alisha susah payah melahirkan di bawah tekanan dan tuduhan dari keluarganya sendiri. Bukan Arya yang datang untuk pasang badan dan membela, namun Danesh yang berhasil mendinginkan murka keluarga Alisha. "Nggak berniat insecure, gue cuma... ngerasa nggak berguna aja kalau disandingkan dengan Danesh. Karena dia banyak berjasa dalam hidup Alisha sedangkan gue," seru Arya menunjuk dirinya sendiri. "Gue, orang nomor satu yang paling banyak bikin dia menderita," sambung pria itu sembari tersenyum sumbang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN