*Peringatan. 18+*
- berikut mengandung konten dewasa, seperti perkelahian, kata-kata kasar, s*x, alkohol dan sebagainya. Pembaca diharap bijak-
-------------
Chris memakaikan sepasang sepatu ke kaki Baekie. Sepatu cadangannya yang selalu dia simpan di mobil. Senyum Chris mengembang tatkala melihat perbandingan ukuran sepatunya dengan kaki Baekie, yang mungil.
"Maaf, sepatunya kebesaran." ucap Chris lalu berdiri menatap Baekie lembut. Baekie balas menatap Chris dengan mata jernihnya.
"Imut sekali." ucapan Chris merubah ekspresi Baekie. Wajah Baekie yang terlihat kebingungan, membuat Chris semakin gemas.
"Wajahmu itu, dan juga kakimu, imut sekali."
Chris menatap jalanan yang sudah diguyur hujan. "Kau tak mungkin di sini terus kan? kemana tujuanmu?"
Baekie hanya diam, dia memang tak punya tujuan. Bertahun-tahun dikurung, dia bahkan baru kali ini melihat hujan secara langsung. Chris menggenggam tangan Baekie, lalu membawa Baekie ke mobil.
"Setidaknya, kita harus pergi dari sini. Jika di jalan kau sudah memutuskan sesuatu, segera katakan padaku."
Chris menyetir mobilnya dengan pelan. Berputar-putar, menelusuri jalan tanpa tujuan. Baekie menatap rintik hujan di kaca mobil. Ketika petir menyambar, Baekie terdiam. Dengan segera dia memejamkan matanya.
"Kau baik-baik saja? Kau takut dengan petir?" Chris yang memperhatikan Baekie dari tadi akhirnya bicara.
"Tolong antar Aku pulang." Baekie menatap Chris dengan raut wajah cemas.
"Baiklah. Dimana rumahmu?"
"A-Aku tidak tahu."
Chris terdiam sejenak, bagaimana mungkin wanita ini tak mengetahui rumahnya sendiri?
"Kau tahu nomer telepon keluargamu? atau kenalanmu?"
Baekie menggeleng. "A-Aku baru dua kali keluar rumah." Tiba-tiba kilat dan petir menyambar sekali lagi. "Tolong antar Aku pulang! jika aku terlambat, dia... dia akan mati!"
"Baik, tenang dulu. Kau ingat ciri-ciri rumahmu?"
Baekie menutup matanya. "Rumah berwarna putih, dengan taman yang besar. Ada paviliun di sebelah taman, lalu di samping rumah utama ada kebun anyelir. Ada air mancur besar bertingkat dua di halaman utama. Sekelilingnya di pagari tembok yang tinggi, dan pagar utamanya berbahan besi dengan gambar harimau di atasnya. Ada dua patung harimau juga di depan pagar utama."
Chris menghentikan mobilnya. Dia menatap Baekie tak percaya. Hanya ada satu rumah dengan ciri-ciri yang disebutkan wanita itu. Dia terkekeh sejenak.
"Benarkah rumah itu? baiklah... mari kita lihat."
Chris menancap mobilnya dengan kencang. tiga puluh menit kemudian, dia berhenti di depan gerbang besar dengan dua buah patung harimau di bagian depan. Chris menoleh ke arah Baekie untuk mencari jawaban. Tapi, Baekie sudah bergegas turun. Dia berlari ke arah pagar berusaha membuka pagar tersebut. Chris mau tak mau membantunya lalu ikut berlari di belakang Baekie.
Sebuah teriakan membuat Baekie terhenti. "Oliver... Oliver!"
Baekie berlari sekuat tenaga. Bruk! dia terjatuh karena tersandung. Tubuhnya kotor dan basah kuyub.
"Kau baik-baik saja?" Chris ingin membantu Baekie. Tapi wanita itu segera berdiri dan terus berlari dengan cepat. Chris menghela nafas, namun tetap mengikuti Baekie.
Chris terpaku di ambang pintu, tatkala melihat pemandangan yang tak biasa di depan matanya. Oliver, sipengecut itu terkapar tak sadarkan diri dalam pelukan Baekie. Chris terkekeh, walau kejadian itu dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, dia masih tak percaya.
"Dramatis sekali." Ucapnya lalu pergi meninggalkan rumah tersebut, sambil menyulut rokoknya.
"Oliver, Kau belum sembuh rupanya. Hahahaha."
****
Oliver terbangun dari tidurnya, sekujur tubuhnya kesakitan. Begitu banyak luka yang sudah diperban. Luka sayat di tangannya, luka di wajah dan kakinya, dan yang terparah luka tusuk di perutnya. Oliver hampir tak bisa bergerak. Di sampingnya tampak Baekie masih tertidur. Terlihat luka di pipi Baekie yang sudah mengering. Tapi tak diobati sama sekali. Oliver mengerjabkan matanya beberapa kali. Seketika dia menarik nafas lega. Mengetahui orang di sampingnya adalah Baekie. Dia kembali dan tidak meninggalkannya. Perlahan Oliver menggerakkan tangannya hendak menyentuh wajah Baekie. Wajah mungil dengan warna pucat itu. Oliver terhenyak, menatap luka di pipi Baekie akibat perbuatannya. Bahkan disaat lukanya diobati, tapi Baekie tak mendapatkan pengobatan. Lukanya kering begitu saja. Oliver akhirnya menyentuh wajah Baekie dengan lembut.
Baekie terbangun. Matanya menyipit menatap Oliver. merasakan tangan hangat Oliver. Tak pernah sekalipun Oliver menyentuhnya sehangat ini.
"Kenapa ini tak diobati?"
Oliver menatap luka Baekie dengan perasaan campur aduk. Sementara Baekie tetap membisu, menatap wajah Oliver, wajah b******n yang sangat dicintainya.
"Kau kemana saja? Aku mencarimu kemana-mana." Mata mereka beradu. Setelah beberapa detik, Oliver mengalihkan pandangannya. "Jangan pergi lagi, jika ini terjadi lagi... saat Aku menemukanmu, akan kubuat Kau cacat, Kau mengerti?
Baekie tak menjawab, perlahan Baekie bangun memakai piamanya, lalu beranjak pergi dari kamar Oliver.
"Hantu!" Tangan Baekie yang sudah memegang gagang pintu terhenti. "Obati lukamu, jangan sampai ada bekas! Kau dengar?"
Baekie memutar Gagang pintu. Wanita itu menundukkan wajahnya, sehingga Oliver tak bisa melihatnya. Sekilas Baekie tersenyum, kata-kata Oliver yang menyuruhnya mengobati luka itu begitu terdengar manis, Baekie menyembunyikan senyumannya lalu beranjak meninggalkan Oliver, yang masih menatapnya hingga dia menghilang.
***
Oliver berusaha menahan dirinya untuk tidak memasuki kamar Baekie. Setiap hari dia hanya menatap pintu kamar itu. Dia tak ingin melihat Baekie tapi entah mengapa dia merindukan wanita tersebut. Ketakutan bersarang di kepalanya. Takut pada kenyataan bahwa dia benar-benar mencintai Baekie. Takut pada apa yang akan dia alami jika terlalu menyukai orang lain. Semua orang yang dia suka, semua orang yang dia cinta, pergi meninggalkannya. Apa yang terjadi jika ternyata Baekie juga meninggalkannya?
"Aku tak ingin ditinggalkan lagi." Gumam Oliver.
"Oliver, Kenapa di club? ada masalah?" Nancy menghampirinya. Tak ada perubahan sama sekali akan hubungan mereka. Meski Oliver menyatakan sudah putus, tapi Nancy masih seperti biasa. Tak ada kecanggungan dan tak ada pembahasan lanjut. Wanita itu tetap menganggap Oliver sebagai laki-lakinya.
"Kau dari ruang VIP?" Oliver menatap Nancy dari ujung rambut hingga kaki. Wanita itu memakai bikini berwarna biru. Warna kesukaannya, bikini yang kekecilan sehingga menampakkan sebagian besar dari dadanya. Mengenakan rok mini dengan jaring dari pangkal paha hingga kaki. Sudah jelas sekali Nancy sedang melayani tamu penting. Laki-lak mana yang dia ikuti sekarang?
"Aku menuangkan minuman. Kau tahu untuk siapa?" Nancy mendekat ke telinga Oliver. "Chris."
Nancy tersenyum dengan santai dia menari mengikuti irama musik. Oliver kesal, lalu meneguk beberapa gelas anggur secara berurutan. Nancy mengambil segelas anggur dan duduk di pangkuan Oliver.
"Oliver, mau Aku menghiburmu? bagaimana kalau kita ke kamar?" Ajak Nancy manja.
"Aku mau pulang!" Oliver menurunkan Nancy dari pangkuannya lalu hendak beranjak pergi.
Nancy memeluk Oliver dari belakang. "Kau tak menginginkan Aku?" Oliver hanya diam, berusaha melepaskan pelukan Nancy. "Kalau begitu Aku akan tidur dengan Chris. Dia... sangat tampan, dan dia mengajakku bermain malam ini."
Oliver berpikir sejenak, tubuhnya berbalik memeluk Nancy, "Baik, mari kita lihat apa yang Kau punya."
Nancy berlonjak gembira, dengan segera menggandeng Oliver ke kamar VIP yang ada di club. Nancy mendorong Oliver ke tempat tidur, Oliver duduk di ranjang lalu membuka jas nya.
"Sayang, mau mulai sekarang ?" Nancy berbisik sambil memperlihatkan gaya menggoda.
"Pergi ke sofa itu, Aku belum ingin melakukan apapun, kau harus merangsangku, kau mengerti apa yang aku maksud?"
"Hahaha, Oliver, Kau benar-benar penuh kejutan. Maksudmu... Aku harus menyentuh diriku sendiri kan? Ah, Aku suka sekali."
Nancy duduk di sofa, perlahan dia membuaka rok mininya. Meloloskan rok tersebut ke lantai, kini yang tertinggal hanya bikininya. Nancy meraba kakinya dari lutut hingga ke pangkal paha. Oliver menonton Nancy seolah menonton acara tv. Nancy perlahan meremas payudaranya, membuat desahan yang mengundang.
"Ahhh... eummm... " Nancy menggigit bibirnya. Mencubit lembut nipplenya yang telah mengeras dan mencuat dari balik bikini tipis tersebut. Setelah beberapa menit bermain dengan payudaranya, Nancy kemudian memasukkan jarinya ke balik celana dalam.
" Ahhh sayang... Ahhh..." Nancy memainkan jarinya sendiri diarea intim miliknya, perlahan Oliver mendekat. Melihat itu Nancy makin bersemangat. Kini dia memainkan jarinya keluar masuk dengan tangan satunya meremas p******a.
"Ahh... Ahhh.. Oliver... sayang..." Oliver langsung menyerang Nancy. tergesa-gesa melumat bibir Nancy, tangannya memasuki bikini, meremas p******a Nancy dengan kuat.
"Eunm..." Nancy kehabisan nafas, Oliver kemudian melumat leher Nancy, seolah kelaparan.
"Ahhh Sayang ternyata kau punya hasrat juga." Nancy tersenyum sambil memeluk Oliver.
"Baekie..." mendengar nama yang keluar dari bibir Oliver. Nancy terdiam, lalu melepaskan pelukannya.
"Baekie? Kau memanggil orang lain saat bersamaku?"
Oliver tersadar, Lalu menjauh dari Nancy.
"Maaf Nancy, Aku harus pulang."
Oliver mengambil jasnya, dan segera bergegas keluar meninggalkan Nancy yang kebingungan.
"Sial, Oliver b******k! dasar b******k!"
***
Begitu sampai di rumah, Oliver masuk ke kamarnya dengan kesal, membanting segala yang ada di depannya.
"Sial! yang benar saja, kenapa Aku selalu menginginkan si hantu itu? b******k!"
Joice yang tak sengaja melihat Oliver mengamuk, segera terhenti. Kebetulan pintu kamar Oliver terbuka. "Tuan, Anda baik-baik saja?" Joice mendekat ke pintu, lalu melihat keluar jendela, langit malam begitu cerah, tak ada hujan sedikitpun, jadi kenapa Oliver mengamuk?
"Aku baik-baik saja!"
"Baiklah, kalau begitu saya ke dapur dulu." Joice hendak beranjak. Namun Oliver tiba-tiba keluar kamar, dan menghadangnya.
"Joice! tunggu!"
"Iya Tuan Muda." Joice terhenti, menatap Oliver dengan matanya yang lembut.
"Itu dari kamar Hantu?"
"Ah iya, Baekie baru selesai makan malam."
"Kau mengobati lukanya?"
Joice tersenyum, sebagai pengasuhnya, Joice mengerti akan satu hal. Laki-laki yang kasar ini, menunjukkan kekhawatirannya dengan cara berbeda. "Saya sudah mengobati lukanya Tuan. Kenapa Tuan tak ke kamarnya dan memeriksa?"
"Ya sudah, pergi! Oliver memalingkan wajahnya. Joice menunduk lalu pergi ke dapur. Oliver menarik nafas panjang, dengan segera pergi ke kamar Baekie. Tampak Baekie duduk di sofa sambil merangkai Anyelir. Melihat Oliver masuk, Baekie langsung terdiam, menatap Oliver lekat.
"Kau menghabiskan makananmu?" Baekie mengangguk mendengar pertanyaan aneh yang tak pernah ditanyakan sebelumnya.
Oliver mendekat, menatap wajah Baekie. "Lukamu sudah mulai baikan?" Baekie sekali lagi mengangguk. Oliver mengelus wajah Baekie.
"Sepertinya memang sudah lebih baik." Oliver lalu menurunkan tangannya ke leher Baekie yang mulus.
"Kenapa waktu itu kau kabur?" Oliver mulai mengencangkan tangannya, sedikit mencekik leher Baekie. Baekie tak berkedip, tangannya terkepal, tapi tak ada ketakutan di matanya.
"Kau membenciku? Kau begitu membenciku sampai kabur dariku? Berani beraninya Kau... waktu itu aku terlalu cemas, tapi setelah kupikir-pikir, Kau tidak berhak pergi dari sini. Berani-beraninya Kau membuatku mencarimu ke semua tempat! Berani-beraninya Kau membuatku mencemaskanmu!"
TBC