Naira menaruh paper bag berisi beberapa stel pakaian. Ia lantas duduk di atas kasur. Menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin.
Ucapan Giordan kembali terngiang. Pria itu menginginkan dirinya menjadi seorang sahabat. Entah mengapa Naira merasa ada kesamaan antara dirinya dengan Giordan.
Meskipun Naira tak mengetahui alasannya, tetapi baginya Giordan menyimpan suatu rahasia yang tak diketahui banyak orang.
"Nona? boleh saya masuk?" Kristin mengetuk pintu kamar Naira.
"Masuk saja."
Pintu kamar terbuka. Kristin masuk membawa sebuah kotak pendek berbentuk persegi.
"Nona, maafkan saya karena mengambil sesuatu milik Anda tanpa meminta izin terlebih dahulu." Kristin menyodorkan kotak berwarna coklat kepada Naira.
"Memangnya apa yang Kau ambil, Nyonya?" Naira menerima kotak pemberian Kristin.
"Buka saja. Saya harap Anda tidak marah dan membenci saya." Kristin menampakkan wajah penuh penyesalan.
Naira membuka kotak berwarna coklat lalu mengeluarkan isinya. Gaun peninggalan mendiang ibunya itu kini tak lagi rusak, rupanya Kristin sudah menjahitnya dengan begitu rapi.
"Sekali lagi maafkan saya, Nona," sesal Kristin.
Naira menatap Kristin dengan tatapan penuh haru. Selama ini dirinya tak pernah sekalipun diperlakukan sangat baik seperti ini. Naira lantas mendekat untuk memeluk Kristin.
"Nona!" Kristin tersentak tak menyangka Naira akan memeluknya.
"Terimakasih, Nyonya. Terimakasih sudah memperlakukan ku dengan sangat baik." Naira terisak dalam pelukan Kristin.
Kristin mengusap punggung Naira dengan lembut. "Jangan pernah menangis lagi, Nona."
Naira mengangguk meski air mata masih saja terus menetes membasahi pipinya.
"Nyonya Kristin, harusnya aku lah yang berterima kasih karena Kau telah memilihkan pakaian yang terlalu bagus untuk kupakai." Naira menunjuk beberapa paper bag di sampingnya.
"Ini semua perintah dari Tuan, Nona. Ini sudah menjadi hak Anda sebagai calon istri," jelas Kristin.
Naira tak tahu harus bahagia atau sedih. Setiap kali mendapatkan perlakuan baik dari keluarga Abraham, maka saat itu pula Naira teringat dengan Alma.
Bagaimana nasib temannya itu?
Rasanya tak layak dirinya bahagia sendiri sedangkan Alma masih menderita.
"Nona, hari ini Tuan akan pulang larut malam. Anda bisa tidur terlebih dahulu. Biarkan saya yang menyiapkan makan malam untuk beliau."
Pulang larut malam?
Naira terdiam sejenak. Giordan sudah memperlakukannya begitu baik, apa yang bisa Naira lakukan untuk membalasnya selain memberikan pelayanan yang baik pula.
"Nyonya Kristin, apakah Tuan Gio masih bersedia makan meskipun larut malam?"
Kristin tersenyum. "Ya, Nona. Walau pulang pagi sekalipun, beliau akan selalu makan di rumah."
"Kalau begitu biar aku yang memasak untuknya. Cukup katakan saja apa yang beliau suka dan tidak sukai."
Jika harus membalas kebaikan Giordan, mungkin inilah salah satu cara yang bisa Naira lakukan.
"Benarkah Anda akan melakukan nya? apa Anda tidak capek, Nona?" tanya Kristin tak begitu yakin.
"Di rumahku dulu, pekerjaanku setiap harinya seratus kali lipat lebih berat daripada di rumah ini. Aku adalah orang yang bangun paling awal dan menjadi orang terakhir yang pergi tidur." Naira menjelaskan dengan tawa haru.
Sangat salut dengan dirinya sendiri yang mampu bertahan selama ini.
"Bagaimana bisa seseorang seperti Anda melakukan pekerjaan seperti itu, Nona? apakah Anda begitu kesulitan selama ini?"
Naira kembali tersenyum. "Ya, tentu kesulitan pasti ada, tapi aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku menyadari tak memiliki apapun untuk dibanggakan. Jika dengan mengurus rumah bisa dikatakan membantu, maka aku tak keberatan melakukannya."
Kristin begitu kagum dengan keteguhan hati Naira. Mungkinkah Naira memang jodoh yang tepat untuk tuannya? mengingat keduanya sama-sama memiliki masa lalu kelam.
"Baiklah, Tuan pasti akan sangat senang jika Anda memasak khusus untuknya." Kristin yakin Giordan si pria dingin itu lama-lama akan meleleh juga mendapatkan perhatian dari seorang wanita seperti Naira.
Naura mengangguk setuju. Jika Giordan bahagia, maka Naira akan jauh lebih bahagia lagi.
***
Giordan duduk di belakang meja kerjanya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi dirinya masih menunggu seseorang.
"Mayor Gio, Lettu Sandi izin menghadap," ucap salah seorang prajurit.
"Biarkan dia masuk."
"Siap!"
Tak berselang lama seorang utusan yang Giordan minta untuk menyelidiki keluarga Wicaksono masuk ke dalam ruangan.
"Selamat malam, Mayor!" sapa Sandi.
"Selamat malam. Duduklah."
"Siap!"
Sandi lantas duduk pada kursi tepat di depan Giordan.
"Apa yang Kau dapatkan?" Giordan langsung bertanya pada intinya karena pada dasarnya dirinya pun bukan pria yang suka berbasa basi.
"Saya sudah mengumpulkan informasi yang Anda minta. Semua sudah tertulis dalam dokumen ini." Sandi menyerahkan sebuah stopmap berwarna merah pada Giordan.
"Terimakasih, aku akan mengeceknya nanti. Sekarang Kau boleh pergi."
"Siap!"
Sandi beranjak dan memberikan hormat sebelum berbalik menuju pintu. Namun, tangan Sandi urung memutar gagang pintu. Kini ia berbalik kembali menatap sang mayor.
"Maaf, Mayor Gio. Ada satu hal yang mungkin perlu anda ketahui, siapa tahu suatu saat bermanfaat bagi Anda," tutur Sandi.
"Apa itu? katakan!"
Sandi berjalan sedikit mendekat.
"Mayor, dalam file yang Anda pegang saat ini tertulis bahwa Nona Naira Wicaksono sama sekali tak memiliki bakat bawaan yang harusnya ada dalam dirinya."
"Lantas?" tanya Giordan.
"Sebenarnya kasus ini pernah terjadi pada istri teman saya sendiri. Dia terlahir sebagai seorang anak tanpa ayah. Hingga suatu hari bakatnya nampak begitu saja. Seperti yang kita tahu selama ini bahwa hanya seseorang berdarah bangsawan saja yang seharusnya memilki bakat- bakat istimewa. Tapi berkat hal Itu, istri teman saya akhirnya mengetahui siapa ayahnya." Sandi menjelaskan panjang lebar.
"Apa sebenarnya yang ingin Kau sampaikan padaku?" tanya Giordan, masih tetap tenang dan menunggu jawaban Sandi.
"Bakat yang dimiliki istri teman saya hampir sama dengan apa yang mendiang nyonya Rose (ibu Naira) miliki. Dia bisa melakukan telepati bahkan mengendalikan pikiran orang lain. Dan tahukah Anda bagaimana bakat tersebut akhirnya muncul?"
Giordan diam dan hanya menunggu Sandi berbicara lagi.
"Bakat itu muncul setelah mereka menikah, Mayor!" lanjut Sandi.
Giordan mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut Sandi.
"Jadi menurutmu aku harus menyentuhnya dulu untuk mengetahui apakah dia memiliki bakat itu?" tanya Giordan kemudian.
Sandi mengangguk. "Bakat yang dimiliki nyonya Rose tak main-main. Rasanya mustahil anugrah seperti itu tak menurun pada putri semata wayangnya. Tidak semua bisa dilakukan dengan cara yang sama dengan istri teman saya, hanya saja tak ada salahnya mencoba membantu nona Naira dengan cara itu."
"Baik. Terimakasih atas saran mu!" sahut Giordan.
"Baik, Mayor. Saya mohon pamit!" Sandi berbalik dan keluar meninggalkan ruangan.
Saat pintu tertutup, muncul sosok pria muda yang datang entah darimana.
"Bagaimana Tuan mayor? apakah Anda tertarik membuktikan omongan Lettu Sandi?" tanya Aslan dengan seringai mengejek.
"Apa maksudmu? menyentuh Naira?Ngaco!!" sergah Giordan dengan ekspresi tak tertarik.
"Kalau aku jadi dirimu, aku akan mencobanya! Apalagi Kelurganya sudah menyerahkannya padamu tanpa peduli apa yang akan Kau lakukan padanya. Sebagai hantu aku tak habis pikir ada manusia-manusia tamak yang rela menggadaikan putri mereka demi uang dan kejayaan. Fuhh!!" Aslan menampakkan ekspresi jijik ketika mengatakan hal itu.
"Urus saja urusan di duniamu. Jangan ikut campur urusan manusia yang masih hidup!" sergah Giordan.
Aslan mencibir dengan kesal. Giordan berdiri dan meraih paper bag berisi paket makan malam yang tadi dibawakan oleh Laila, putri dari Brigjen Purba, salah satu atasan Giordano.
"Hai, itu apa kak?" tanya Aslan menunjuk paper bag di tangan Giordan.
"Hantu kepo!" sahut Giordan acuh.
"Aaaa.. Pasti makanan dari nona centil Laila, kan?" tebak Aslan.
"Sok tau!!" Giordan berjalan melewati Aslan begitu saja.
"Hei!! Kau yakin mau membawanya pulang?"
Giordan tak peduli dengan segala ucapan hantu tengil yang selalu mengikutinya itu.
"Naira membuat menu makanan lezat khusus untukmu malam ini. Bahkan hanya dengan melihatnya saja mampu membuat air liurku menetes," lanjut Aslan.
Kali ini Giordan menghentikan langkah setelah mendengar ucapan Aslan.
Naira? memasak untuk nya? mengapa gadis itu suka merepotkan diri? seharusnya dia tidur bukannya sibuk memasak malam-malam begini.
Giordan terus mencoba untuk tidak peduli, akan tetapi ucapan Aslan terus saja mengusik pikirannya.
Tanpa sadar dirinya sudah sampai di kediamannya sendiri. Kastil mewah dengan kesan suram dan misterius.
Giordan turun dari mobil.
"Tuan, ada yang ketinggalan." Driver menyerahkan peper bag berisi makanan pemberian Laila sore tadi.
Cukup lama Giordan menatap paper bag tersebut.
"Bawa saja. Makanlah bersama pengawal atau para pekebun yang ada."
Mata sang driver berkilat bahagia mengintip makanan yang terlihat sangat lezat itu.
"Baik, Tuan! Terimakasih."
Giordan mengangkat tangannya, mengisyaratkan supaya driver itu kembali ke pondok inap.
Giordano menarik nafas. Perutnya sangat lapar. Biasanya ia meminta Kristin untuk menghangatkan makanan pemberian Laila kemudian memintanya menyajikan bersama makanan olahan koki di rumahnya.
Namun, entah mengapa kali ini dirinya lebih penasaran dan tertarik dengan masakan Naira.
Benarkah gadis itu memasak makanan lezat untuknya seperti apa yang Aslan ucapkan tadi?
Atau.. Itu hanya akal-akalan Aslan saja untuk mengerjainya?
"Awas saja kalau Kau berani mengerjaiku?!" gumam Giordan.
Ceklek!
Pintu terbuka tepat ketika Giordan berdiri di depan pintu utama.
"Selamat Malam, Tuan Giordan Abraham."
Giordano terkesiap. Untuk pertama kalinya ada wanita lain yang menggantikan peran Kristin.
Dan malam ini Naira berbeda. Giordan bahkan sempat tak mengira gadis di depannya saat ini adalah Naira Wicaksono, calon istrinya sendiri.
(Next➡)