Naira
Naira mengintip dari balik tirai. Sean, pria yang selama ini dicintainya melamar Deryn, adik tirinya sendiri.
Naira mengusap bulir bening yang menetes hangat membasahi pipinya. Sejenak dirinya terdiam sambil menarik nafas berat.
Di saat semua orang tertawa bahagia di ruang tengah, Naira memilih kembali ke kamarnya. Naira menaiki tangga kayu yang berderit setiap kali kakinya menginjak papan.
Naira membuka pintu. Ia menatap kamar berbentuk segitiga di depannya. Sudah dua belas tahun Naira tinggal di sebuah loteng yang disulap menjadi kamar tidur.
Di saat hujan deras turun beberapa bagian lantai akan tergenang air. Sebaliknya jika cuaca panas, maka Naira seakan tidur di dalam sauna.
__________________________________________
"NAIRAAA!!!"
Suara pintu kamar berkali-kali di gedor dari luar. Naira tersentak, segera mengikat rambut tebalnya lalu bergegas membuka pintu.
"Ibu?"
Seorang wanita cantik namun berwajah galak melotot ke arahnya.
"Apa yang Kamu lakukan di kamar, Hah?!"
"Maaf, saya--ketiduran."
"Tidur??" tanya Farida tak percaya. "Enak sekali jam segini tidur! lihat tuh para pembantu pada sibuk! bisa-bisanya Kamu malah enak-enakan tidur!" geram Farida menunjuk-nunjuk ke arah Naira.
"Maafkan saya," ucap Naira lagi dengan bibir bergetar.
"Nggak usah banyak bac0t! sana turun beres-beres sama para pembantu!" tegas Farida.
Tanpa membantah Naira segera turun ke lantai satu. Di dapur sudah ada tiga pembantu yang sedang sibuk beberes.
"Maaf, aku ketiduran--" ucap Naira lirih pada Alma, salah satu pelayan setianya.
"Hmmh!! padahal ini bukan tanggung jawab seorang tuan rumah seperti Anda. Dasar nenek lampir!!" umpat Alma seraya menatap benci pada Farida yang berkacak pinggang di ujung tangga.
"Ssstt!! jangan sampai ibu mendengarnya. Kalau Kamu dipecat maka aku tak punya siapapun lagi di rumah ini selain Kamu dan Aryo," ujar Naira lirih penuh rasa takut.
"Nyonya Farida!! lihat!! si Alma malah ngajakin ngobrol Nona Nai!" lapor Amel, pembantu lain yang menjadi tangan kanan Farida dan Deryn.
Mendengar laporan dari Amel, Farida berjalan dengan langkah besar ke arah Naira dan Alma. Tanpa pikir panjang, tangan Farida melayang ke kepala Alma.
Plak!!
"Pembantu tak tahu diri!! sudah digaji mahal-mahal kerjaannya malah ngobrol, Kamu mau dipecat??!!" ancam Farida.
"Jangan Bu, Nai yang salah. Nai hanya bertanya apa yang perlu Nai bantu, Alma hanya menjawab pertanyaan Nai saja," bela Naira.
Farida tersenyum getir.
"Kamu tahu konsekuensinya membela pembantu ini, bukan?" tanya Farida memastikan. "Selesaikan semua pekerjaan ini berdua dengannya!!" Farida menunjuk Alma yang tertunduk dengan wajah merah menahan amarah.
"Amel! Kamu dan Mirna boleh beristirahat!" perintah Farida pada dua pembantu lainnya.
Amel menarik kepalan tangan sambil mengucap 'Yess', sedangkan Mirna tak tahu harus senang atau sedih. Dia merasa tak enak hati pada Naira dan Alma, tetapi jika tidak menurut dia pun takut dipecat oleh Farida.
Amel tersenyum puas sambil berjalan melenggak lenggok mengekori di belakang Farida.
"Hiiihh!! yang satu lampir, satunya lagi sengkuni!! Awas kucincang cincang Kau, Mel!!" Alma mengepalkan kedua tangannya dengan gregetan.
"Nona! lain kali tak perlu membelaku. Begini nih akibatnya. Nona ikut kena imbasnya, kan?!" protes Alma.
Lagi-lagi Naira hanya tersenyum. "Sudah, ayo kita beresin semuanya. Lebih baik membelamu dan mendapat hukuman daripada membiarkanmu disakiti oleh mereka."
Rasa kesal Alma berubah menjadi haru setelah mendengar ucapan Naira.
Waktu sudah hampir tengah malam ketika Naira dan Alma akhirnya selesai mencuci piring dan mengepel seluruh rumah besar.
"Nona, tidurlah! biar saya yang mengepel dapur." Alma melihat wajah lelah Naira. Ia sungguh tak tega melihat nona mudanya itu harus melakukan pekerjaan kasar setiap hari.
Kadangkala bertanya-tanya kapan penderitaan ini akan berakhir, jika bukan karena Naira, dia sudah jauh-jauh hari pergi dari rumah itu.
"Iya, Kamu pel lantai nya dan aku membuang sampah ke belakang rumah," Naira mengangkat dua kantong plastik berisi sampah.
Alma mendengus. Masih tak habis pikir seorang putri bangsawan bisa menjadi pembantu di rumahnya sendiri.
Kejam sekali dunia ini!!
Naira melempar plastik ke dalam kotak sampah. Sejenak matanya terpana melihat bulan yang bersinar begitu indah malam ini.
Naira mencuci tangan lalu duduk di taman belakang, sejenak menikmati udara malam sambil menunggu Alma menyelesaikan pekerjaannya.
"Ssutt!! Nai!! Naira!!" panggil seseorang sambil berbisik.
Naira mencari-cari asal suara. Hingga matanya tertuju pada sosok yang berjongkok di atas pagar tembok setinggi dua meter.
"Sean?" tanya Naira tak percaya.
Sean tersenyum. Ia melompat turun ke tanah berumput tepat di depan Naira.
"Apa yang Kamu lakukan? bagaimana kalau ada yang melihat?" bisik Naira sambil menatap waspada ke sekelilingnya.
"Persetan!! aku nggak peduli!" Sean duduk di samping Naira.
"Nai, Kamu tahu aku mencintaimu, kan?" tanya Sean, tiba-tiba menggenggam tangan Naira.
Naira menarik tangannya. Pria itu akan menikah dengan adik tirinya, Naira tak boleh lagi membiarkan Sean menyentuh dirinya.
"Naira! aku bilang pada orangtuaku bahwa Kamu lah yang ingin ku lamar, tapi tak tahu mengapa malah Deryn yang ada di ruangan itu. Apa Kau sengaja menghindari ku??" Sean menatap tajam mata Naira.
"Naira!! lihat aku!! aku baru saja bertengkar dengan kedua orangtuaku karena bukan Deryn yang ingin ku nikahi, tapi Kamu!!" tegas Sean lagi, kini ia menyentuh dagu Naira, membuat wajah gadis itu mengarah kepadanya.
"Nai?" tanya Sean lagi.
Naira mengangkat wajahnya, menatap Sean dengan wajah sendu.
"Aku tak tahu Sean. Ayah dan ibu hanya memintaku tak turun ke bawah. Mereka bilang ada tamu penting sehingga aku harus mengunci diri di kamar, tetapi saat aku melihat mobilmu, aku nekat mengendap endap turun. Namun, yang kulihat--- Kau bertunangan dengan Deryn." Naira membuang muka.
"Nai! aku sama sekali tak mencintai dia. Aku hanya mencintai Kamu. Ini salah paham. Orangtuaku tak mengetahui ada putri lain di keluarga Wicaksono. Ketika mereka membicarakan lamaran, dia mengira Deryn adalah wanita yang ingin ku nikahi," jelas Sean panjang lebar.
Naira terdiam.
"Besok aku akan kembali membuat janji dengan keluargamu, aku akan menjelaskan semuanya." Sean kembali menggenggam tangan Naira.
"Kau percaya bahwa aku mencintaimu, kan?" tanya Sean serius.
Naira mengangguk, berharap besok orangtuanya bisa menerima penjelasan Sean. Meskipun kemungkinan diterimanya kecil.
"Sudah, sekarang pulanglah. Aku harus segera tidur."
"Mengapa terburu-buru?" Sean menahan tangan Naira.
"Aku takut ibu mengecek pekerjaanku, Sean! kumohon pergilah.." pinta Naira sungguh-sungguh.
"CK!! mengapa harus selalu takut padanya, sih?! seharusnya Kamu menurut saat kubilang akan mambawa mu kabur!"
"Sean, jika Kau serius ingin menyelamatkan ku dari penderitaan ini, maka nikahi dan bawa aku pergi dengan cara baik-baik."
Sean menghela nafas. Mungkin benar kata Naira, dirinya harus lebih bersabar sedikit lagi.
"Baiklah, aku akan pergi tapi izinkan aku memelukmu sebentar."
Naira terdiam, menatap mata Sean kemudian mengangguk perlahan.
Sean tersenyum lalu berdiri di depan Naira kemudian menarik tubuh ramping Naira ke dalam dekapannya.
"Bersabarlah sedikit lagi, sayang--" bisik Sean.
Tap!!
Sinar terang tiba-tiba menyorot pada tubuh Sean dan Naira yang tengah berpelukan.
"WANITA MUR@HAN! TAK TAHU DIRI!" teriak Farida dengan wajah menegang.
Di belakangnya berdiri Darius, Farida, dan Amel yang sibuk membungkam mulut Alma.
(Next➡)