Tuan Pengawal?

1809 Kata
"Kalian--siapa? Apa yang Kalian lakukan di depan kamarku?" tanya Naira. Aslan menelan saliva (hantu pun masih punya saliva, hehe). Dia menoleh pada Giordan yang berbisik lirih padanya. "Bersikaplah normal seperti orang hidup." Aslan mengangguk mengerti. "Aku mendengar teriakanmu," ucap Giordan singkat. Naira tercengang. Memangnya sekeras apa dirinya berteriak hingga membuat dua pria itu begitu terganggu hingga mendatangi kamarnya. "Oh, maaf. Aku memang sering mengalami mimpi buruk ketika perasaanku tak tenang. Sekali lagi maaf." Naira menunduk berkali-kali. Setelah beberapa waktu tak bermimpi mengerikan, malam ini mimpi itu kembali menghantui. Sialnya dirinya harus mengalami hal itu ketika berada di lingkungan baru. "Mm--baiklah. Kembalilah beristirahat." Giordan tak tahu mengapa lidahnya menjadi kelu ketika berbicara dengan Naira. Mungkinkah karena Naira terlalu dini melihat wajahnya. Hal yang tak pernah terjadi pada gadis-gadis sebelumnya. "Iya. Kalian juga kembalilah beristirahat. Sekali lagi maaf karena sudah mengganggu." Giordan berbalik, Aslan hanya mengikuti apa yang Giordan lakukan. Ratusan tahun menjadi hantu membuatnya begitu asing ketika harus bersikap seolah masih hidup. Lebih baik diam daripada salah bicara hingga menimbulkan kecurigaan. "T-tunggu!!" Suara Naira membuat jantung Giordan berdegup kencang. Mengapa Naira menahan mereka? mengetahui wanita itu bisa melihat Aslan saja sudah cukup membuat Giordan shock. Kira-kira hal mengejutkan apa lagi yang akan dia ketahui dari wanita aneh itu. Giordan dan Aslan menoleh bersamaan. Separuh badan Naira berada di luar ruangan, sedangkan separuhnya lagi berada di dalam. "Kalian mau kemana? itu wilayah privasi tuan Abraham. Jangan lewat situ!" bisik Naira. Tangannya melambai agar Gio dan Aslan kembali ke arahnya. Untuk kedua kalinya Aslan menelan saliva. Dirinya bertukar pandangan dengan Giordan. Giordan mengangguk, seolah mengisyaratkan untuk menuruti ucapan Naira. Keduanya berjalan beriringan seperti anak SD yang diingatkan gurunya untuk kembali masuk ke kelas. "Kalian pengawal, kan? bukankah tempat Kalian di bangunan sebelah?" tanya Naira. "Pe-ngawal??" Aslan manatap tak percaya. "Iya. Nyonya Kristin bilang hanya ada tuan Gio dan diriku di tempat ini. Em, perkenalkan. Aku Naira. Aku calon is-- bukan sih, aku numpang nginep sementara di rumah ini." Naira tersenyum. Menunjukkan diri sebagai calon istri tuan besar rumah itu justru membuat dirinya tak bisa berbaur dengan orang-orang dengan kasta di bawahnya. Naira kemudian mengulurkan tangannya. Hal yang jarang bahkan hampir tak pernah dilakukan seorang putri bangsawan pada seorang pengawal (sebenarnya bukan pengawal sih, tapi mau gimana lagi, bagi Naira dua pria di depannya adalah pengawal). Hening beberapa detik, sedangkan tangan Naira masih menggantung di udara menanti Giordan ataupun Aslan menyambutnya. "Ahh!! perkenalkan aku As-" Aslan sudah menyambut tangan Naira, tetapi kemudian Giordan menepisnya hingga terlepas. Naira bahkan tersentak kaget melihat hal itu. "Ssst!!" Giordan menatap tajam pada Aslan. Mengingatkan untuk tidak membuka mulut lagi. "Tangan mu dingin sekali," gumam Naira shock seraya menatap penuh tanya ke arah Aslan. "Ayo pergi." Giordan berjalan ke arah lain. Dia menuruni tangga dengan perasaan kesal, bisa-bisa nya Naira menganggapnya seorang pengawal. Apakah wajahnya tak cukup berwibawa untuk dianggap sebagai seorang Mayor? atau paling tidak tuan rumah, tuan pemilik ratusan hektar tanah alih-alih seorang pengawal. Brakk! Giordan membanting pintu kamar tamu di lantai bawah. Aslan cekikikan melihat ekspresi kaku Giordan. "Mengapa Kau begitu kesal wahai pengawal??" kelakar Aslan diiringi tawa. "Diam Kau, Hantu!!" geram Giordan. Aslan terus saja tertawa hingga akhirnya mulai menatap Giordan dengan serius. "Benar kan kataku. Wanita itu bisa melihatku. Luar biasa! Memangnya keluarga Wicaksono punya kelebihan itu, Kak? Wah.. Sepertinya perjodohan yang diramalkan Eyang Sukmo berhasil. Dialah istrimu sesungguhnya. Wanita yang akan melahirkan keturunanmu--" "ASLAN!! Apa Kau sudah bosan tinggal bersamaku? haruskah aku menidurkanmu kembali??" Giordan membuka telapak tangan, terdapat lingkaran dengan sinar terang tepat di tengah telapak tangannya. "Ampun!! Oke. Maaf Kak!" Aslan berlari mundur. "PERGI! aku mau beristirahat!" tegas Giordan. "Baik, Tuan!" Aslan menunduk menirukan gaya seorang pengawal. "Izinkan saya pergi, Tuan. Tuan Pengawal. Ahahhahahaha.." Asap putih membumbung tinggi bertepatan dengan hilangnya Aslan menyisakan tawa mengejek yang menggema ke seluruh ruangan. Giordan menarik nafas lalu menghembuskan nya perlahan. Mencoba menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. Dirinya lantas berbaring di atas kasur. Sikunya menutupi mata. Aneh. Benar-benar aneh. Apakah mungkin keluarga Wicaksono berbohong padanya? tapi untuk apa? bukankah etnis jawa sangat bangga ketika salah satu anggota keluarganya memiliki bakat khusus? Jelas-jelas Naira sendiri berkata bahwa dirinya tak berpendidikan tinggi, tak memiliki keahlian apapun. Lalu mengapa terang-terangan dia menyebutkan Aslan di depan dirinya? Orang yang tahu bakatnya harusnya bisa membedakan mana manusia mana makhluk tak kasat mata. Ini menarik! Giordan berbaring miring. Matanya memandangi bulan yang bersinar terang di langit gelap. Ia lantas tersenyum getir. "Kita lihat saja. Sejauh mana Kau akan mencoba terus mengelabuhiku? Giordan Abraham tak akan pernah terpancing!" Keesokan paginya, Naira bangun pagi-pagi sekali. Belum juga subuh, Naira sudah berada di dapur. Rupanya aktifitas memasak di rumah Giordan masih menggunakan tungku. Tak ada alat elektronik apapun kecuali kulkas di ruangan besar yang dijadikan dapur itu. Meski begitu, bermacam-macam sayuran segar tersedia di kulkas. Berbagai jenis buah juga tersimpan di sana. Sungguh menyejukkan mata yang memandang. Naira tak mengetahui apa makanan kesukaan Giordan. Semalam dirinya memakan tumisan aneka sayuran yang tak biasa. Sangat berbeda dengan makanan yang biasa ia konsumsi. Hampir satu jam Naira berkutat di dapur hingga tak menyadari ketika Kristin masuk. "No-na??!!" pekiknya kaget. Naira menoleh lalu tersenyum. "Apa yang Anda--lakukan??" Kristin meminta adukan nasi di tangan Naira. "Anda tak seharusnya melakukan hal ini!" "Tak apa. Aku--aku hanya terbiasa dengan kegiatan ku setiap pagi." "Astaga!! Anda bahkan sudah menyiapkan sayur dan yang lain? bagaimana Anda bisa melakukan semua ini sendirian?" Kristin benar-benar tercengang. Dia bertanya tanya siapa sebenarnya gadis di depannya saat ini? apakah Naira benar seorang putri bangsawan? atau seorang pembantu. Sejak kedatangan Naira di rumah itu, Kristin sudah merasa ada yang berbeda. Hal itu terlihat dari telapak tangan kasar dan tumit pecah-pecah pada kaki Naira. Malamnya Naira mengatakan tak memiliki gaun bagus dan justru mengenakan gaun kuno milik mendiang ibunya. Sungguh pemandangan aneh yang belum pernah Kristin temukan dari putri keluarga terpandang manapun. Lalu pagi ini? Kristin kembali dikejutkan dengan fakta baru. Seorang putri bangsawan bersedia menyentuh dapur?? "Nona, kumohon berhentilah. Biar saya yang menyiapkan semuanya. Tugas Anda hanya menemani sarapan, menyiapkan air hangat di pemandian tuan, lalu menemaninya berjalan-jalan. Itu saja." Kini Kristin merasa bersalah karena semalam belum sempat menjelaskan tugas seorang calon pendamping seperti Naira. Mungkin itulah yang menyebabkan Naira melakukan hal yang tak seharusnya. "Tidak masalah, Nyonya Kristin. Aku hanya ingin memasak khusus untuk Tuan," jawab Naira tulus. Tangannya kembali sibuk menyiapkan sarapan. "Jangan panggil saya dengan sebutan Nyonya. Panggil saja Kristin." "Aku tak bisa melakukannya. Kau lebih tua dariku." "Tidak masalah Nona karena Anda calon istri Tuan Gio dan Anda keturunan keluarga terpandang." Naira tertawa kecil. "Aku belum tentu menjadi istri Tuan mu, dan apa istimewanya menjadi putri keluarga terpandang tetapi tak memiliki keahlian apapun. Aku sama seperti Kamu dan yang lain, Nyonya." Jawaban Naira membuat Kristin terharu. Naira adalah gadis paling santun yang pernah ia temui. Baik daei kalangan bangsawan maupun kasta di bawahnya. "Baiklah. Saya mengalah kali ini, tetapi ketika Nona benar-benar menjadi Nyonya Abraham. Berjanjilah untuk tidak lagi memanggilku: Nyonya." Naira mengangguk dengan senyum manis menghiasi wajahnya yang penuh peluh keringat. Hanya segelintir perempuan yang mau memasak menggunakan tungku seperti kebiasaan keluarga Abraham, tetapi Kristin tak melihat kesulitan dari wajah Naira melakukan semua tradisi kuno ini. Sangat sulit dipercaya. Satu jam kemudian semua makanan sudah siap untuk dihidangkan. Kristin memberi tahu bagaimana kebiasaan Giordan. "Hari ini hari libur. Tuan biasa sarapan pukul delapan pagi, tetapi karena semuanya sudah siap, ada baiknya kita hilangkan sekarang mumpung masih hangat." Kristin membawa nampan kayu besar berisi mangkuk kecil-kecil dan juga sumpit. "Apakah tuan Giordan bukan pribumi asli?" tanya Naira. "Maaf. Aku bertanya begini karena meskipun berkenalan, tapi kemarin beliau sama sekali tak memperlihatkan diri. Mungkin beliau kecewa denganku." Suara Naira terdengar sedih. Kristin tersenyum. "Bukan begitu, Nona. Tuan memang tak sembarangan menunjukkan wajahnya pada orang asing. Apakah beliau pribumi asli atau bukan, silahkan Anda menilai sendiri. Dan saya pastikan Anda akan dibuat kaget olehnya." Bisik Kristin semakin membuat penasaran. "Kaget? mengapa aku harus kaget? apakah di begitu tua-- Ah maaf, aku tak bermaksud-" Naira tak meneruskan kalimatnya. Entah mengapa dia merasa sudah begitu akrab dengan Kristin. Kristin tertawa. "Nona Naira, sepertinya Anda gadis yang menyenangkan. Saya berharap Anda tinggal lebih lama daripada yang lain." Naira melengkungkan bibir bawahnya. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia utarakan, termasuk adanya dua pengawal baru yang ia temui semalam. Namun, saat ini lebih baik menahannya dulu. Naira berjalan di belakang Kristin yang membawa nampan besar ke ruangan di lantai satu. "Tuan selalu makan di ruangan ini. Anda harua mengingatnya, Nona." Kristin berhenti di depan pintu hitam yang bersebelahan dengan ruang pertemuan. "Nanti setelah beliau selesai makan. Saya akan menunjukkan kamar mandi dan pakaian yang akan digunakan setiap hari." Naira mengangguk. Kristin meletakkan nampan di atas meja yang berada di samping pintu. Tok tok tok! "Masuk." Terdengar jawaban dari dalam. Kristin sudah memegang gagang pintu ketika seseorang datang menghampirinya. "Nyonya Kristin, seorang pekebun mencari Anda. Ini tentang masalah kemarin," ungkap seorang pelayan dengan penampilan kusut. "Baik. Aku akan segera ke sana." Suara ramah Kristin berubah menjadi kaku berwibawa ketika berbicara pada pelayan tersebut. "Nona, masuklah. Hidangkan sarapan untuk tuan Gio. Saya ada urusan sebentar." Naira mengangguk mengerti. Setelah Kristin pergi, Naira memutar gagang pintu lalu membawa nampan ke dalam ruangan. Tak seperti suasana semalam. Kali ini tirai dari jendela-jendela tinggi di ruangan itu terbuka lebar. Cahaya matahari masuk membuat ruangan terlihat lebih terang meskipun kesan suram tetap masih terasa. Penataan ruang masih sama. Meja pendek dan beberapa bantal duduk tertata rapi, satu di seberang meja dan dua bantal di depan Naira berdiri. Tak ada siapapun di ruangan itu, tetapi terdengar aktifitas di bilik sebelah kanan. Naira meletakkan nampan di atas meja. Dia lantas duduk bersimpuh di atas salah satu bantal duduk. Naira mendengar langkah kaki mendekat. Ia lantas menoleh sambil berbicara, "Tuan, saya membawa sarapan-- Kamu?" mata Naira membulat sempurna melihat pria yang berada di depan pintunya semalam. Wajahnya tak begitu jelas karena dirinya berdiri membelakangi sinar matahari, tetapi Naira hafal betul dengan jubah yang dipakainya. "Apa yang Kamu lakukan? Apa Kamu pengawal baru disini? cepat keluar sebelum Tuan Gio dan Nyonya Kristin melihatmu." Naira berdiri dan bergegas untuk membawa pria itu keluar. Ceklek! Pintu terbuka. Kristin masuk. Naira segera berbalik seolah melindungi pria yang ia anggap pengawal dari tatapan Kristin. "No-na? apa yang Anda lakukan disitu?" tanya Kristin shock. "Maaf, Nyonya Kristin. Ini salah paham, dia pengawal baru sehingga tak tahu aturan di rumah ini. Tolong dimaafkan." Naira membungkuk beberapa kali. Giordan melipat tangannya di depan d**a dengan ekspresi dingin. Kristin paham betul dengan sikap seperti itu. Seketika Kristin bersujud di lantai. Membuka tangan seolah memohon ampun pada tuannya. "Maafkan saya, Tuan. Nona Naira tak bermaksud berkata demikian. Saya pantas dihukum." Jantung Naira seakan terlepas dari wadahnya. Tak mampu bergerak sedikitpun. Jadi pria di belakangnya saat ini adalah Giordano Abraham? bukan pengawal baru seperti dugaannya? Lutut Naira lemas, dia terduduk di lantai dan segalanya menjadi gelap. "Tuhan.. Ambil nyawaku saat ini.." pinta Naira dalam hati. (Next➡)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN