"Permisi, Tuan. Saya menghadap bersama nona Naira," ucap Kristin setelah membuka pintu.
Naira melangkah masuk mengikuti Kristin. Sebelumnya Naira mengira memasuki sebuah kamar, ternyata dirinya memasuki sebuah ruangan suram dengan bangku pendek tempat pria yang Naira tebak adalah Giordan duduk bersila di atasnya.
Giordan duduk membelakangi Naira. Dia hanya menoleh tanpa berbalik. Naira dan Kristin lantas duduk bersimpuh di atas bantal duduk seperti yang biasa dipakai orang jepang.
"Silahkan memperkenalkan diri, Nona." Kristin tersenyum pada Naira.
Memperkenalkan diri? apakah perlu? bukankah Giordan sudah mencari tahu tentangnya sebelum berniat melamar?
Kristin mengangguk. Ia lantas mohon diri untuk meninggalkan ruangan.
Naira menelan saliva, tak tahu harus memulai dari mana. Bahkan Giordan pun sama sekali tak manatap dirinya.
Setelah sejenak terdiam, Naira akhirnya berbicara perlahan.
"Tuan, saya-- Naira dari keluarga Wicaksono. Terimakasih sudah memilih saya sebagai calon istri. Mohon maaf--jika saya--tak sesuai yang Anda harapkan."
Naira menunduk, menunggu reaksi yang akan Giordan berikan. Hening selama beberapa detik hingga akhirnya terdengar suara berat dan dingin.
"Apa alasanmu menerima lamaran ku? Apa keluargamu memaksamu datang ke rumah ini?"
Naira sedikit mendongak, melirik pada Giordan yang sama sekali tak merubah posisinya.
"Maaf, Tuan. Saya memang dipaksa, tetapi saya pun melakukannya dengan suka rela. Tapi sebelumnya mohon maaf-- saya bukan gadis pintar, saya bukan gadis berpendidikan tinggi. Saya-- tak punya keahlian apapun. Satu-satunya kelebihan saya adalah-- lahir di keluarga Wicaksono."
Tak ada gunanya berdusta. Walau bagaimanapun Naira tak ingin keluarga Abraham mengalami kerugian semakin besar atas perjodohan yang mereka tawarkan.
Jika pun akhirnya harus diusir, Naira pun rela. Dia bukan seseorang yang bisa memilih dan menentukan hidup sesuai keinginannya. Sekali lagi. Masih diakui sebagai bagian dari keluarga Wicaksono saja sudah suatu keberuntungan baginya.
Di luar dugaan jawaban Naira membuat Giordan sedikit terperangah. Sebelumnya dia sudah menebak jawaban yang akan keluar dari mulut gadis di belakangnya, tetapi ternyata kali ini berbeda.
Giordan menyeringai, dalam hati tetap merasa bahwa Naira tengah bersandiwara. Baginya keluarga Wicaksono sama dengan keluarga-keluarga sebelumnya. Menerima perjodohan hanya demi bisnis.
Mereka hanya ingin ikut mendompleng nama Abraham dengan menjual putri-putri mereka.
"Jika perjodohan ini berhasil, katakan apa mas kawin dan ganti rugi yang Kamu inginkan?"
Naira terdiam.
"Saya tak peduli dengan mas kawin, tetapi ganti rugi. Apa maksud Anda? memangnya apa yang harus saya lakukan hingga Anda mempersiapkan ganti rugi?" tanya Naira tak mengerti.
Bukankah sebuah pernikahan dilakukan untuk menyatukan dua keluarga hingga menghasilkan keturunan di kemudian hari? apakah dalam pernikahan harus menghitung ganti rugi?
Giordan tertawa getir seakan sudah hafal dengan sikap sok polos Naira.
"Entah Kau bodoh atau hanya berpura-pura bodoh aku tak peduli! bagiku Kau sama dengan perempuan-perempuan lain yang pernah datang ke rumah ini!" batin Giordan.
"Baiklah. Kuanggap keinginanmu sama dengan apa yang tertulis dalam akta perjanjian yang diajukan pihak keluargamu. Aku mengizinkanmu tinggal selama dua minggu di rumah ini. Jika ada kecocokan, aku akan melamarmu, tapi jika tak ada kecocokan antara kita berdua, Kau harus siap menerima konsekuensi yang ditulis dalam akta."
Naira tak mengerti dengan arah pembicaraan Giordan. Apa maksudnya tinggal selama dua minggu? apakah masa percobaan? training?
"Sekarang kembali ke kamar mu! Kristin akan menjelaskan apa yang harus Kau lakukan selama berada di rumah ini," ujar Giordan, masih dengan posisi yang sama, membelakangi Naira.
"Baik, Tuan. Terimakasih."
Naira menunduk dan berdiri untuk meninggalkan ruangan tersebut. Tak sengaja matanya menatap seorang pria yang berdiri di balik tirai. Naira tersentak. Seingatnya tak ada orang lain ketika dia masuk tadi.
Apakah dia manusia? atau hantu?
Sebelum Naira menutup pintu, pria tersebut tersenyum padanya. Pria muda berusia kisaran 20 an tahun, sangat tampan mengenakan tuksedo berwarna hitam.
Naira kembali ke kamarnya. Pertemuan dengan Giordan nyatanya tak membuatnya mengetahui wajah calon suaminya itu.
Apakah pria itu sangat tua? tapi tidak, suaranya tak terdengar serak seperti suara kakek kakek pada umumnya. Lalu apa? apa mungkin ada bekas luka di wajah Giordan sehingga dia malu menunjukkan wajah pada Naira?
Ahh tidak mungkin! Naira pun merasa sama sekali tak menarik sehingga tak perlu malu menunjukkan wajah padanya. Atau bisa saja Gio kecewa bahwa istri pilihan cenayang tak sesuai dengan ekspektasi nya. Nah, ini baru masuk akal.
"Nona, silahkan makan. Anda bisa kembali beristirahat setelah ini." Suara Kristin menyadarkan lamunan Naira.
"Nyonya Kristin, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Kristin tersenyum. "Silahkan."
Naira menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.
"Apa aturannya harus tinggal disini selama dua minggu dulu baru bisa memutuskan tentang pernikahan?"
"Iya Nona, karena tuan Gio ingin mengenal pribadi calon istrinya terlebih dahulu."
Naira mengangguk mengerti. "Bagaimana dengan para gadis sebelum diriku, kudengar mereka kabur-- maaf, aku tak bermaksud--" Naira tak meneruskan kata-katanya. Tak seharusnya dia menanyakan hal itu.
Kristin kembali tersenyum. "Maksud Anda tentang para gadis yang kabur?"
Naira mengangguk lemah.
"Tak semua yang tersebar di luar benar adanya, Nona. Anda tak akan pernah tahu sebelum melihat dan merasakan sendiri tinggal bersama keluarga Abraham."
"Baik. Terimakasih jawabannya."
Kristin mengangguk kemudian pamit keluar.
"Nyonya Kristin." Panggil Naira lagi.
"Iya, Nona?"
"Umm.. Apakah ada pengawal yang selalu bersama Tuan Gio. Maksudku-- apa dia memiliki ajudan khusus?"
Kristin mengernyitkan dahi, ekspresinya sulit ditebak, tetapi jelas bisa membaca apa yang tersirat dari pertanyaan Naira.
"Pengawal hanya berada di luar. Meski begitu beliau pasti mengetahui setiap niatan buruk yang tertuju padanya. Jadi sebaiknya Anda bersikap baik. Setiap hari hanya beliau sendiri yang berada di bangunan ini, tetapi tidak untuk malam ini. Karena Anda akan tinggal disini dua minggu ke depan."
Naira menelan saliva. Hanya dia dan Giordan? memangnya kemana semua orang?
"Anda tidak tinggal disini, Nyonya?"
"Saya dan asisten yang lain berada di bangunan lain di samping rumah utama ini. Anda bisa menghubungi saya melalui telepon. Di sana sudah tertera nomor-nomor darurat untuk menghubungi Kami," jelas Kristin.
"Saya berharap Anda tak terlalu sering menggunakannya karena jika itu terjadi berarti Anda menemukan banyak masalah di rumah ini." Kristin tersenyum lalu menutup pintu.
Entah telinga Naira yang salah dengar atau tidak, kali ini tak ada bunyi Klik lagi setelah Kristin menutup pintu. Apakah artinya dirinya tak lagi dikurung di kamar itu?
Naira menghela nafas. Dia menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Naira melepas peniti penutup sobekan gaun yang belum sempat dijahit.
Naira mengenakan gaun ibunya karena mengira hari ini adalah pertunangannya. Namun, ternyata hanya acara perkenalan diri.
Setelah mengenakan pakaian santai, Naira menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Wajah Sean tiba-tiba melintas di benaknya.
Apa yang Sean lakukan saat ini? apakah Sean juga merasakan seperti apa yang dirasakan Naira saat ini? sedih, kecewa, marah, tapi tak berdaya.
Sekelebat bayangan Alma, Mirna, dan Aryo pun bergantian menghantui Naira. Semakin terpuruk rasanya meninggalkan orang-orang tercinta di bawah penderitaan sedangkan dirinya tak bisa membantu sama sekali.
Malam semakin larut, air mata Naira terus saja mengalir membasahi sprei dingin kamar itu.
Di ruangan lain, Gio bersandar pada kepala ranjang yang begitu tinggi. Seperti biasa, di hari pertama seorang wanita tidur di rumahnya pasti momen ini selalu terjadi.
Tak bisa tidur karena tangisan.
Memiliki kepekaan pendengaran membuat Gio sudah terbiasa mendengar yang seharusnya tak di dengar.
"Kak? aku yakin dia tadi bisa melihatku!" ucap Aslan.
"Ck! Itu hanya perasaan mu saja! ah, tapi Kau hantu, mana mungkin punya perasaan," sahut Gio datar. Dirinya hafal betul bagaimana rekasi adik tak kasat matanya itu setiap kali melihat calon istrinya.
"Tapi ini beda, Kak! dia bereaksi saat aku--"
"Pergi sendiri atau mau ku usir?!" ucap Gio lagi masih dengan mata terpejam.
"Hufh!!" Aslan menghentakkan kakinya dengan kesal lalu menghilang.
Giordan membuka mata, setelah memastikan Aslan tak lagi berada di kamarnya, Gio mengambil bulu merak di dalam laci nakas. Gio lantas menyelipkan bulu merak itu di atas pintu.
Setelah mengganti pakaian dengan piyama tidur, Gio berbaring di atas ranjang. Tak terdengar lagi suara tangisan, sepertinya Naira sudah terlelap.
Baguslah, Gio bisa beristirahat tenang, tak seperti gadis sebelumnya yang hampir semalaman membuat Gio begadang mendengarkan tangisannya.
Giordan hampir saja terlelap ketika terdengar teriakan di luar pintu kamar.
"Kak Gio!!! Kau memasang jimatnya??!! aku tak bisa masuk. Ada informasi penting tentang gadis itu! singkirkan jimatnya sekarang!!"
Giordan menyeringai mendengar teriakan hantu usil di luar sana. Untung sudah memasang jimat, jika belum sudah dapat dipastikan Aslan akan mengusiknya semalaman.
_________________________________________
"Tidak Ayah!! Maafkan Naira, Ayah!"
"Jangan sakiti, Naira."
"Naira tak akan mengatakan pada siapapun."
Giordan kembali terbangun karena suara teriakan dari kamar sebelah.
"Argghhh!!" gerutunya.
"Tidak Ayah!! Maafkan Naira, Ayah!"
"Jangan sakiti, Naira."
Apa yang sebenarnya gadis itu lakukan larut malam begini? Apakah ini bagian dari sandiwaranya?
"Tolongg...."
"Ibu..."
Teriakan perlahan berubah menjadi rintih kesakitan. Giordan bangkit berdiri. Ia mengenakan jubah tebal lalu berjalan keluar kamar.
Di depan pintu kamar Naira, Aslan berdiri dengan ekspresi penasaran yang sama dengan Giordan.
"Sepertinya dia mengalami mimpi buruk, kak," ucap Aslan.
Giordan menarik nafas lalu mengetuk pintu.
Tok Tok tok
"Untuk apa Kau kesini, kak? Kau seharusnya menyuruh Kristin saja! sana kembali!!" Aslan berusaha mengingatkan Giordan. Naira orang asing, gadis itu tak boleh mengetahui wajah Giordan.
Tampaknya Giordan sendiri lupa saking kesalnya oleh suara Naira.
Gio mengangguk, dia hampir saja berbalik ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Naira membuka pintu, dua orang pria tengah berdiri di depan kamarnya. Satu pria muda bertuksedo yang Naira lihat di ruangan Giordan tadi. Kali ini wajahnya terlihat lebih jelas.
Bagian-bagian wajahnya terukir jelas dengan mata sipit oriental. Sedangkan pria satunya lagi tampak lebih tinggi dan terkesan dewasa.
Dad@ Naira berdesir hebat ketika menatap mata pria tersebut. Naira tak tahu perasaan apa ini?
"Kalian--siapa? Apa yang Kalian lakukan di depan kamarku?" tanya Naira.
(Next➡)