Matahari sudah bersinar sejajar di atas kepala, tetapi Naira masih harus menyelesaikan 2 bak cucian. Sejak pagi Farida tak henti hentinya memberikan pekerjaan padanya dan Alma.
"Nona, satu jam lagi keluarga Abiyasa tiba. Tinggalkan sisanya biar aku yang menyelesaikan." Alma menarik tangan Naira dari bak sabun tempat merendam cucian.
"Kita mulai berdua, maka harus diselesaikan berdua juga, Alma." Naira bersikeras untuk membantu Alma.
"Tidak Nona. Cepat berdiri! jangan sampai calon mertuamu kecewa dengan penampilan Anda."
"TIDAK! Kau pikir ibu akan membiarkan aku begitu saja? kesepakatannya aku harus menyelesaikan semua ini agar bisa ikut menghadiri pertemuan di ruang tengah nanti. Aku tak boleh mengingkarinya." Naira tak peduli, tangannya terus menyikat kain-kain yang sudah terendam air sabun.
Alma menghembuskan nafas berat. Naira terus saja berusaha menuruti kata-kata Farida padahal jelas-jelas Farida hanya mempermainkan dirinya.
"Semua ini tak mungkin selesai dalam satu jam kalau Kau kerjakan sendiri." Sudah cukup Alma kesulitan akibat selalu membela dirinya. Naira tak ingin Alma semakin menderita.
"Pasti selesai kalau ada orang lain yang membantu." Mirna tiba-tiba ikut berjongkok di antara Naira dan Alma.
"Mirna! bagaimana kalau Amel melaporkanmu pada ibu?" tanya Naira khawatir.
"Anda tak perlu khawatir, Nona. Amel baru saja pergi menemani Nyonya Farida ke salon. Jadi, saya setuju dengan saran Alma. Sebaiknya Anda bersiap-siap sekarang juga. Biarkan cucian ini saya kerjakan bersama Alma."
Alma mengangguk setuju dengan saran Mirna.
"Tapi--"
"Nona! Jadilah bagian dari keluarga Abiyasa dan bawa kami keluar dari rumah ini. Saya mohon---" Mirna memohon dengan wajah iba.
Hati Naira terketuk melihat kedua pembantu yang sudah seperti teman baginya itu. Ia pun mengangguk dan bergegas untuk membersihkan diri.
Tepat pukul satu siang Naira turun dari loteng. Ia tampak anggun mengenakan gaun lama milik mendiang ibunya. Meski model lama dan sedikit kebesaran di tubuh Naira, tetapi hal itu tak mengurangi keanggunan yang terpancar dari wajah Naira.
Naira melintasi dapur, anehnya tak ada kesibukan di sana. Bukankah seharusnya semua orang sibuk mengingat akan ada tamu besar yang datang ke rumah itu.
Naira berjalan ke ruangan lain. Ia menuju ruang tengah. Meskipun tertata rapi hidangan makanan dan minuman di atas meja, akan tetapi tak ada siapapun di sana.
Naira duduk di salah satu kursi. Menatap jarum jam yang terus berdetak semakin bergeser ke kanan. Lama-lama matanya terasa semakin berat hingga kepalanya lunglai di atas meja dan tertidur.
Kriiing!! Kriiing!!
Telepon rumah berdering membuat Naira tersentak bangun dari tidurnya.
"Astaga!! aku ketiduran?!" gumam Naira.
Ia bergegas mengangkat telepon akan tetapi kakinya tersandung kaki meja.
Sreeeekk!!!
Gaun Naira sobek dari kaki hingga lutut bagian atasnya terlihat.
"Ya Tuhan.." Naira berjalan pincang sambil memegangi gaunnya.
"Halo, kediaman keluarga Wicaksono."
"Apa Kau di rumah?"
"Iya, Ayah. Aku sudah menunggu---"
"Ayah dan yang lain sebentar lagi akan tiba. Sebaiknya Kamu menunggu tanpa membuat masalah."
"Baik Ayah. Aku--"
Bip.
Darius memutuskan panggilan secara sepihak. Naira beralih menatap gaunnya yang terkoyak.
"Astaga, aku harus segera memperbaiki ini," gumam Naira.
Naira berjalan menuju lemari kecil tempat jarum dan benang jahit tersimpan. Naira tak mungkin menjahit dalam waktu singkat sehingga memilih menutup bagian kain yang sobek menggunakan jarum pentul.
Naira menatap jam yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Mengapa keluarga Abiyasa belum juga tiba? apakah mereka membatalkan pertemuan? lalu, apa maksud ayahnya tadi? bukankah dia bilang sebentar lagi dia dan yang lain akan tiba?
Naira tak mau terus terusan menduga-duga. Ia pun memutuskan untuk pergi ke rumah Sean. Memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Naira berlari keluar rumah untuk mencari Aryo.
"Ada apa, Nona?" tanya Aryo ketika mendengar Naira berkali kali memanggil namanya.
"Tolong antar aku ke rumah keluarga Abiyasa."
"Baik, Nona. Tapi saat ini tak ada mobil tersisa, kita hanya bisa pergi menaiki sepeda motor," jawab Aryo.
"Tak apa."
Alma dan Mirna tiba-tiba berlarian dari halaman belakang.
"Nona! sepertinya Nyonya Farida sengaja mengerjai Anda! tak ada siapapun di rumah ini selain kita berempat. Semua mobil dan motor pun digunakan," seru Alma dengan nafas tersengal-sengal.
"Mengerjaiku?" tanya Naira bingung.
"Iya. Sepertinya tempat pertemuan tidak jadi di rumah ini melainkan di kediaman keluarga Abiyasa," jelas Alma.
"Kalian jangan berburuk sangka, barusan ayah menelpon memintaku tetap di rumah karena mereka sebentar lagi tiba. Itu dia!!" Naira menunjuk sebuah mobil hitam yang melaju semakin mendekat.
"Nona, apa yang terjadi dengan gaun Anda?" Mirna menatap koyakan kain yang tertutup jarum.
"Tadi aku terjatuh, gaun ibuku sobek." Naira menatap sedih pada satu satunya gaun peninggalan ibunya.
"Kita akan memperbaikinya nanti. Sekarang Anda harus bersikap anggun dan santai seolah tak terjadi apapun." Alma merapikan penampilan Naira.
Mobil milik ayahnya masuk ke halaman diikuti tiga mobil lain.
Mobil pertama jelas membawa ayah, Farida, dan juga Deryn. Sedangkan mobil kedua berisi Amel dan beberapa ajudan ayahnya.
Lalu siapa pemilik dua mobil lainnya?
Seorang pria berusia sekitar 45 tahun turun bersama seorang wanita berusia beberapa tahun di bawahnya.
"Silahkan masuk." Darius terlihat begitu menghormati tamu yang baru saja tiba di rumah nya itu.
"Turunkan upetinya!" perintah si wanita pada pengemudi mobil paling belakang.
Pintu mobil terbuka. Empat kotak berwarna hitam di turunkan oleh dua pengawal yang berada di dalam mobil tersebut.
"Ini beberapa hasil bumi dari wilayah Kami. Ada hasil pertanian, hasil kebun, hasil ternak, dan juga satu peti perak. Jika perjodohan ini berhasil, Tuan Giordan akan mengirim lima kali lebih banyak dari yang sudah Anda lihat," jelas pria yang berdiri di sebelah wanita.
Darius dan Farida tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini tak pernah ada perjodohan yang membawa upeti sebanyak ini sebelum mencapai kesepakatan.
"Terimakasih. Salam dari mayor Giordan sudah saya terima. Mari kita lanjutkan pembahasan di dalam." Ajak Darius pada kedua tamunya.
Alma menyenggol bahu Naira.
"Apakah ini upeti dari calon suaminya Deryn?Busyeett" bisiknya pada Naira.
Naira hanya mengangkat bahu.
"Naira, ayo masuk!" pinta ayahnya. Naira mengangguk lalu berjalan mengekori di belakang para tamu.
Keluarga Wicaksono dan dua tamu sudah berada di ruang tengah.
"Silahkan sampaikan apa yang Anda inginkan." Ucap Darius setelah Sedikit berbasa basi.
"Terima kasih. Saya adalah pria yang kemarin sore menghubungi Anda. Perkenalkan saya Jody dan ini rekan saya, Kristin."
Kristin tersenyum ramah pada seluruh anggota keluarga, tak terkecuali pada Naira yang duduk sedikit menjauh dari yang lain.
"Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Kami perwakilan dari keluarga Abraham menginginkan sebuah perjodohan dengan salah satu putri Anda."
Mata Farida berkilat bahagia. Ia menyenggol lengan Deryn seolah memberikan kode yang hanya diketahui oleh keduanya.
"Oh, tentu saja suatu kehormatan jika keluarga Abraham memiliki ketertarikan pada salah satu putri Kami. Tapi mohon maaf, salah satu dari mereka sudah dilamar oleh keluarga Abiyasa, kini hanya menyisakan satu putri saja yang masih lajang."
Jody dan Kristin saling bertukar pandangan.
"Tak masalah jika Deryn terpilih menjadi calon istri keluarga Abraham yang agung," ungkap Farida tiba-tiba.
"Ibu? apa maksudnya? aku mencintai kak Sean." Bisik Deryn memprotes ucapan ibunya.
"Ssshhtt!!" potong Farida. Ia bahkan memelototi Deryn agar gadis itu diam.
"Kami memilih jodoh sesuai dengan hitungan yang sudah ditetapkan oleh cenayang keluarga Abraham," jelas Kristin.
"Cenayang?" tanya Farida disertai tawa menghina karena merasa keluarga Abraham begitu kuno.
"Ya. Hal ini terjadi karena tuan Gio sudah tiga kali melakukan perjodohan, tetapi semuanya gagal."
"Gagal??" ucap Darius dan Farida bersamaan.
Jody mengangguk.
"Itulah sebabnya Kami berharap perjodohan kali ini tidak lagi gagal, beliau harus segera mendapat keturunan."
"Bu, aku tak mau menikah dengan pria tua bau tanah yang hanya menginginkan keturunan dariku." Deryn bergidik membayangkan dirinya disentuh oleh pria tua.
Darius manggut-manggut.
"Jadi Anda menghubungi keluarga kami karena sebuah perhitungan jodoh dari si cenayang?" tanyanya.
"Betul, Tuan." Kristin tersenyum ramah.
"Lalu, siapa putriku yang Kalian kehendaki?" tanya Darius.
Naira dan Deryn sama-sama khawatir. Keduanya berharap bukan merekalah yang diinginkan keluarga Abraham.
"Ini Tuan. Mana dari salah satu putri Anda yang memiliki perhitungan kelahiran sesuai dengan ini."
Jody menyerahkan secarik kertas pada Darius. Darius terlihat serius membaca hitungan perjodohan itu.
"Aku tak percaya dengan hal-hal di luar logika, tapi aku juga tak tahu mengapa hitungan perjodohan ini sangat sesuai dengan apa yang dimiliki salah satu putriku."
"Benarkah, Tuan? Apakah Nona cantik ini yang akan menjadi nyonya besar di rumah Kami?" tanya Kristin menatap pada Deryn yang justru menyeringai penuh ketakutan.
"Maaf, bukan dia, tapi hitungan ini sesuai dengan putriku yang lain." Darius menatap pada Naira yang hanya bisa terdiam.
"Dia Naira. Putri sulungku yang memiliki hitungan primbon sesuai dengan apa yang tertulis di kertas ini."
Deryn bernafas lega karena bukanlah dia yang akan menikahi pria tua.
Mulut Kristin membentuk huruf O. Gadis yang sejak tadi ia kira sebagai asisten itu ternyata salah satu putri keluarga Wicaksono.
"Nona? bersedia kah Anda menjadi calon istri bagi tuan Kami?" tanya Jody ramah.
(Next➡)