Aku menyernyitkan dahi melihat tatapan usil Rita saat aku masuk ke ruangan, hampir saja pagi ini aku terlambat karena sempat terjebak macet di perjalanan tadi.
Aku terus melenggang menuju meja kerjaku meski heran dengan sikap Rita. Kini Reno yang sadar kedatanganku juga ikut mengedipkan matanya setengah menggoda.
“What’s wrong, guys?” tanyaku pada mereka. Kalimatku terhenti saat melihat sebuah paperbag di atas mejaku.
Untuk : Mbak Jingga, batinku.
Tidak ada nama pengirimnya. Aku menyeringai tak penasaran lagi siapa pengirimnya saat melihat isi paperbag itu.
“Wah, dapat apa, Ga, dari pengagum rahasia?” tanya Rita. Saking penasarannya dia sudah berdiri di dekat kubikel mejaku.
“Ada deh ….” Aku melenggang membawa beberapa berkas yang akan kudiskusikan dengan Pak Zein, tak lupa membawa paperbag itu, nanti aku akan mengembalikan pada sang pengirim.
Saat hendak mengetuk pintu ruangan Pak Zein, aku terkejut karena pintu terbuka dan Kak Damar keluar. Aku mengerjap lalu tersenyum kemudian menyapanya. Tidak ada respon apapun, tatapannya sangat datar, dia melenggang pergi kalau aku tebak sepertinya kembali ke ruangannya.
Pak Zein tertarik dengan proposal yang aku buat bersama Dimas untuk menggait klien baru. Beliau memintaku melakukan beberapa revisi dan kembali memberikan hasilnya pada beliau setelah tercetak sempurna. Sesi diskusi kami sudah selesai, aku pamit pada Pak Zein untuk kembali ke ruangan.
“Jingga, hari ini kamu ada agenda keluar kantor?” tanya Pak Zein.
“Hari ini saya di kantor, Pak. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku.
“Nah, pas kalau begitu. Hari ini jadwal Pak Damar sangat padat, beliau meminta salah satu staf kita untuk membantunya.” Aku tertegun, sepertinya aku tahu kemana arah pembicaraan Pak Zein ini. “Tolong kamu bantu beliau, ya, Jingga. Saya memilih kamu karena saya percaya kamu bisa membantu beliau.”
Aku tersenyum kecut, mau tak mau aku menerimanya. Pak Zein mengarahkanku untuk langsung ke ruangan Kak Damar, kebetulan sekali tujuanku selanjutnya memang ingin ke ruangannya.
Ini kali ketiga aku mengetuk pintu ruangan Kak Damar dan tak ada sahutan dari dalam, akhirnya aku membuka pintu menyembulkan kepalaku melihat ke segala arah.
Kosong, kemana orangnya? Batinku.
“Sedang apa?”
“Ah!” Aku terkejut hingga memekik dan kepalaku terbentur pintu saat hendak menoleh ke arah belakang. “Aduh, Pak ….”
Kak Damar mendekat mengusap dahiku. “Kamu ini cerobohnya tidak hilang-hilang!” Aku terdiam, mendongak pelan dan menatapnya. Dia tampak khawatir, detik berikutnya dia tersadar dan menjauh.
“Ada perlu apa?” ketusnya.
“Sa—saya diminta Pak Zein untuk membantu Bapak hari ini.”
“Oh, kamu orang terpercaya yang Zein maksud.” Kak Damar melenggang masuk ke dalam ruangannya dan aku mengikutinya.
Kak Damar memintaku duduk di sofa, dia menjelaskan apa saja yang harus aku kerjakan. Dia tampak serius sekali, jarak duduk kami juga cukup dekat membuat darahku berdesir. “Kamu paham ‘kan?” tanya Kak Damar memastikan.
“Paham, Pak. Kalau begitu saya permisi.”
“Mau kemana?” tanyanya. Dia mendongak karena saat ini aku sudah berdiri.
“Kerjain ini di ruangan saya, Pak,” jawabku polos.
“Kerjakan di sini, pakai laptop saya saja. Sebentar, saya ambilkan.” Kak Damar mengambil laptop yang ada di meja kerjanya dan memberikan padaku.
Situasi macam apa ini, harusnya ini hal yang biasa atasan dan karyawan. Bahu membahu mengerjakan pekerjaan bersama, tapi kenapa aku tidak bisa untuk bersikap biasa-biasa saja? Jujur saja aku gugup dan sedikit salah tingkah.
Hari semakin siang dan pekerjaan kami belum juga rampung. Kak Damar bilang dia sudah memesan makan siang untukku. Aku hanya mengiyakan tanpa tahu menu apa yang dia pesan.
Pintu ruangan Kak Damar diketuk dan dia gegas membuka lalu kembali dengan membawa sebuah bungkusan yang bisa aku pastikan di dalamnya ada nasi ayam Hainan karena wanginya aku sangat hafal.
Saat ini aku melirik ke arahnya yang tengah menggulung lengan kemejanya hingga ke siku dan membuka dua kotak nasi ayam Hainan sesuai tebakanku.
“Makan dulu, nanti lanjut lagi,” ujarnya seraya menyuapkan sendokan pertama ke mulutnya.
Dia makan dengan lahap sedangkan aku masih saja diam menatapnya dan nasi di hadapanku bergantian. Kak Damar menoleh ke arahku. “Saya lagi pengen makan nasi ayam Hainan, biar cepat saya pesan dua, kamu keberatan? Saya harap tidak karena saya beli ini pakai uang saya.”
Sabar, Ga, batinku.
“Tidak, Pak, terima kasih.” Aku mulai menyuap makanannya begitu juga Kak Damar. Kami makan dalam diam, sesekali Kak Damar menyentuh layar ipad-nya yang menampilkan sebuah grafik, workaholic sekali.
Kak Damar membuka kotak lain di atas meja. Aku melipat bibir melihat isi kotak itu ternyata dimsum, salah satu makanan kesukaanku selain nasi ayam Hainan. Aku meringis saat menyadari Kak Damar tengah melihat ke arahku saat ini dan kemudian aku terus melanjutkan makanku.
“Ehem, kamu sudah terima kiriman saya?” tanya Kak Damar. Dia sudah menegak habis air mineral di tangannya.
Sontak aku mengangguk, meletakkan sendok di kotak makan siangku dan meraih paperbag yang berada di sampingku. “Ini, Pak.” Aku memberikan paperbag itu dan dia tak berinisiatif untuk mengambilnya, dia malah asik menyantap dimsum tanpa menawariku. Detik kemudian aku meletakkan paperbag tersebut di atas meja di hadapannya. “Maaf, Pak, saya tidak bisa terima—Pak!” Tiba-tiba saja Kak Damar menyumpal mulutku dengan sepotong dimsum saat aku hendak bicara.
Dia mengambil botol air mineral milikku dan menegaknya habis kemudian meletakkan botol yang kosong itu kembali ke meja dengan menghentak hingga aku tersentak.
“Kalau kamu sudah selesai makan silahkan tinggalkan ruangan saya. Lanjut kerjakan di ruanganmu, pukul tiga kita berangkat.” Kak Damar beranjak menuju meja kerjanya.
“Be—berangkat kemana, Pak?” Aku masih saja mengunyah, dimsum ini benar-benar enak, eh, aku sampai gagal fokus saking enaknya.
“Sukabumi.”
“Sukabumi?” Aku mengulang kata yang diucapkan Kak Damar hingga membuatnya menoleh ke arahku. “Memangnya Zein tidak bilang?” Aku menggeleng, kalau aku tak salah ingat Pak Zein hanya memintaku membantu Kak Damar karena jadwalnya hari ini pa—dat.
Tidak mungkin, batinku seraya menggeleng.
“Jadwal saya padat hari ini saya harus ke sukabumi. Ada pertemuan penting sore nanti sedangkan berkasnya belum rampung, untuk itu saya meminta Zein mencari staf yang bisa diandalkan membantu saya. Pakaian yang ada di paperbag itu untuk kamu kenakan nanti saat meeting. Tidak ada alasan khusus, bagi saya cara berpakaian yang baik menunjukkan citra yang baik pula untuk perusahaan. Sekarang kamu boleh keluar, saya tunggu di lobi tepat puku tiga karena perjalanan yang akan ditempuh cukup panjang.”
Apa? Tunggu-tunggu bagaimana aku mencerna rentetan penjelasannya. Jelas Pak Zein memintaku hari ini karena beliau percaya aku bisa diandalkan membantu Kak Damar. Aku membuka paperbag di pangkuanku mengintip kembali isinya, paperbag ini disiapkan untuk keperluan meeting di sukabumi. Meski bukan aku yang terpilih, pakaian ini akan dipakai orang lainkah? Lalu catatan di kartu ini yang tertera namaku di sana? Dan memang caraku berpakaian tidak menunjukkan citra yang baik? Aku menyernyitkan dahi, bingung dan kesal bersamaan.
“Kamu masih mau melamun, yakin berkasnya selesai dalam waktu satu jam empat puluh menit?”
“Ma—maf, Pak. Saya permisi kalau begitu.” Aku merapikan meja dan menyusun berkas yang perlu aku bawa ke ruanganku. Saat akan mencapai pintu langkahku terhenti.
“Jangan banyak berspekulasi dan jangan suka mencampur-adukkan perasaan dengan pekerjaan.” Aku menoleh ke belakang dan Kak Damar mengarahkan tangannya menunjuk pintu mempersilakanku segera keluar.
Menyebalkan!