Sikap Lancangku

1093 Kata
“Ada sesuatu yang mau kamu beli sebelum kita ke hotel?” tanya Kak Damar. “Ada.” “Kita mampir ke supermarket di depan saja kalau begitu.” “Ya,” ketusku. Kesalku berawal dari sikap semena-menanya menginstruksiku, mulai dari jadwal berangkat yang semula pukul 3 berubah menjadi pukul 2, nasib baik aku sudah selesai mengerjakan semua tugas yang ia beri. Membayangkan perjalanan dan agenda selama di sukabumi saja aku sudah pesimis, dan benar saja kami terpaksa harus menginap semalam di sini. Pertemuan dengan klien tadi berjalan lancar, aku bersyukur bisa berkontribusi dengan baik untuk persiapannya. “Kamu masih mempermasalahkan ucapan saya tadi dengan Pak Yoga?” tanyanya. Aku memicingkan mata ke arahnya dan memilih untuk tidak menjawab. “Sudah bagus saya mau melindungi kamu karena dia terus menggodamu, kamu ‘kan memang sudah punya kekasih, salahnya dimana? Atau kamu memang senang digoda pria asing?” Aku mengembuskan napas kasar ini kekesalanku selanjutnya, dia pandai menggiring opini sesuka hatinya. Aku sedang tidak ingin berdebat, jadi aku memilih diam. Memang benar, saat pertemuan tadi salah satu klien yang kami temui terang-terang menggodaku, Kak Damar tegas mengatakan bahwa aku sudah bertunangan dan akan segera menikah dengan kekasihku maksudnya agar Pak Yoga berhenti menggodaku. Saat ini mobil sudah terparkir di depan supermarket. “Bapak mau kemana?” tanyaku. Karena saat aku hendak keluar dia juga tampak bergegas keluar dari mobil. “Memangnya kamu saja yang perlu membeli sesuatu?” ketusnya. Bukannya dia sudah tahu akan melakukan perjalanan bisnis kenapa tak menyiapkan apapun, beda dengan aku yang mendadak ikut perjalanan bisnis ini. Lagi pula kemana istrinya sampai tak memperhatikan keperluan suaminya, aku asyik dengan pikiranku sambil memilih apa saja yang akan aku beli. “Jingga, bayar pakai ini saja.” Kak Damar menyodorkan sebuah kartu debitnya padaku saat tengah mengantri. “Tidak usah, Pak, saya—“ “Ini, tolong sekalian bayarkan punya saya, saya ada panggilan penting. Saya tunggu kamu di depan.” Kak Damar menarik tanganku memberikan kartu debit miliknya dan pergi. Aku tersentak setelah mendengar bisikan tepat di telingaku. “Password-nya tanggal lahir saya, bunda dan—kamu.” Aku menerjap kemudian menoleh ke arahnya tapi dia sudah berlalu dan sibuk dengan ponselnya. Sepanjang perjalanan menuju hotel kami hanya diam saja, saat mengembalikan kartu debit miliknya aku enggan berkomentar apa-apa mengenai password yang ia sebutkan tadi, aku tak ingin terbawa perasaan. Deringan telepon memecahkan keheningan, kami saling menatap sebelumnya aku sempat membaca nama penelepon yang tertera di layar mobil Kak Damar. Dinda. Ya, nama itu yang muncul di layar mobil yang terkoneksi dengan ponselnya, sang empunya memilih untuk mengabaikan panggilan tersebut. Deringan kembali terdengar dari penelepon yang sama, Kak Damar menerima panggilan itu dengan menekan tombol pada earphone yang melekat di telinga kanannya. “Hal—“ Kak Damar menoleh ke arahku saat aku menekan tombol speaker pada layar mobilnya. “Hai, Beb.” Dadaku sesak saat mendengar sapaan dari wanita di seberang telepon sana. Katakanlah aku lancang, entah, aku pun tak tahu darimana datangnya keberanian ini. Benar adanya quote yang mengatakan jika kita mengetahui sesuatu yang membuat kita sakit hati berhentilah untuk mencari tahu. Aku menatap ke depan kini pandanganku buram karena genangan air yang menumpuk di mataku. “Halo.” Dinda kembali menyapa. “Papa ….” Aku mendengar jelas teriakan anak kecil itu. Kak Damar menekan kembali tombol speaker di layar mobilnya dan otomatis panggilan beralih ke earphone-nya. “Hai, ya, ini masih di jalan. Boleh telepon lagi nanti?” … “Oke, aku tutup teleponnya, bye.” Setelah panggilan terputus suasana kembali hening, aku sudah berpaling menatap keluar jendela di sampingku. Setiba di hotel Kak Damar memberikan kartu akses kamar untukku dengan nomor kamar 205, dia juga menunjukkan kartu miliknya 206. “Tersisa connecting room,” katanya. Aku membelalak mendengarnya. “Mau pindah hotel lain?” Mengingat ini sudah larut malam aku terima saja, toh, kami hanya menginap semalam dan tak mungkin melakukan apapun ‘kan. Kami sudah berdiri di depan kamar masing-masing, saat hendak masuk langkahku terhenti. “Saya memaafkan sikap lancangmu hari ini, Jingga. Saya bisa menindak tegas jika kamu lancang di kemudian hari mengusik kehidupan pribadi saya.” Kak Damar masuk menutup pintu kamarnya dengan kasar. Aku tersentak dan masih terdiam di depan pintu, menyeringai, meratapi kebodohanku. *** “Kamu sudah di Bandung?” tanya Ganda dari seberang telepon sana. Aku sudah berada di apartemenku, weekend begini kegiatanku hanya rebahan apalagi setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, aku jadi enggan melakukan apa-apa. “Sudah, tadi siang.” “Besok mau ikut ke cafe?” Aku tersenyum mendengarnya, giat sekali dia menghubungiku, memberi kabar dan sekarang dia mengajakku bertemu. Haruskah aku membuka diri? Ganda ini tipe lelaki apa adanya, dia tak ragu mengungkapkan apapun yang ingin ia sampaikan. “Memangnya besok kamu libur?” Aku menanyakan ini karena tahu jadwalnya di rumah sakit sebagai dokter residen sangat padat. “Besok shift-ku selesai pagi, aku jemput kamu sore karena aku mau tidur sebentar sepulang dari rumah sakit.” Aku mendengar dia sedikit tertawa di ujung kalimatnya. “Jangan kepedean, Ga, aku gak serindu itu sama kamu.” “Hei!” Dia tertawa lepas saat aku protes. “Aku tutup, ya, Ga. Kamu lanjut istirahat lagi, see you tomorrow.” *** Setelah sampai di G Coffee, Ganda memintaku untuk menunggunya di salah satu sofa, lama menunggu kemudian seorang waiters datang membawa lemon tea iced, kentang goreng dan chicken popcorn, terakhir dia memberi post it bertuliskan pesan singkat. Untuk kamu yang bosan menunggu. Aku menggelengkan kepala, mau heran tapi dia Ganda Setiaji. Ganda kembali bersama dengan seorang pria yang berseragam cafe, mereka masih saja berbicara sambil berdiri. Pria itu nampak menunjuk ke beberapa spot di area luar cafe dan Ganda tampak sedikit berpikir, wajahnya terlihat serius tapi enak dipandang, pantas saja kata Dimas banyak wanita yang mengantri menjadi kekasihnya, dia memang setampan itu. “Apa aku setampan itu, Ga?” Aku menggeleng, inilah dia yang kumaksud Ganda Setiaji senarsis dan seusil itu memang orangnya. “Ga, kenalin. Ini Rey, manager, di sini. Nggak perlu jabatan tangan, Ga, cukup kamu tahu saja orangnya,” sambungnya. “Takut banget Bos diambil Ayangnya, tapi ini first time saya lihat Bos bawa wanita ke sini.” “Iya, iya, kamu doakan saja dia segera menjadi Ayangnya saya, sekarang kamu lanjut kerja dan jangan lupa diskusi kita tadi.” “Siap, Bos.” Rey pergi meninggalkan kami, aku memicingkan mata ke arah Ganda saat ini dan dia hanya tersenyum memamerkan lesung di pipinya, dia mengelus puncak kepalaku lembut. "Bagaimana? Mau jadi Ayangku?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN