Sikap Yang Tak Biasa

1324 Kata
“Dimas bukan pasangan saya, Pak. Dimas Kakak sepupu saya. Dia kekasih Tiara,” ujarku. Aku mendekati Ganda dan merangkul lembut lengannya. “Sayang, kenalin ini Pak Damar, bosku.” Aku tersenyum menatap Ganda dan Kak Damar bergantian. Tak ada sedikit pun keraguan dan kebimbangan di wajah Ganda saat ini. Dia melepaskan rangkulanku dan meraih tanganku menggenggamnya erat, kemudian mengulurkan sebelah tangannya ke arah Kak Damar. “Ganda,” ucapnya. Tak lupa dia juga ikut memamerkan kedua lesung di pipinya. Dia menatapku dan Kak Damar bergantian, tentu saja aku juga tak mau kalah menyembulkan kedua lesung di pipiku. “Damar,” jawab Kak Damar ketus. Aku melihat raut wajah Kak Damar yang tampak kesal, meski begitu dia tetap menyambut uluran tangan Ganda. “Senang bisa bertemu dengan anda, Pak. Kami izin pulang dulu,” ujar Ganda. Dia tetap tenang meski aku yakin sebenarnya dia tak mengerti situasi ini. Ganda milih mengajakku pergi dari hadapan pria yang entah siapa, dia tidak tahu. Dimas dan Tiara pun berpamitan dengan Kak Damar yang hanya mengangguk dan kemudian tak mengalihkan pandangannya padaku dengan tatapan tajam. Aku menghindari tatapan itu dan memilih mengikuti langkah Ganda tanpa mengucapkan sepatah kata pisah pada Kak Damar. Begitu keluar dari restoran, Dimas menarik paksa tanganku hingga terlepas dari genggaman Ganda. “Tell me, him?” Aku hanya menunduk tak menjawab. Dimas tidak pernah aku beritahu siapa mantan kekasih yang masih bertahta di hatiku. “Jingga!” Dimas menaikkan intonasinya, dia tampak kesal saat tahu siapa Kak Damar sebenarnya. Dia mengambil langkah kembali ke restoran, tapi aku menghentikan langkahnya. Aku tak baik-baik saja saat memutuskan untuk berpisah dengan Kak Damar. Dimas dan Tiaralah saksi bangkitnya aku dari keterpurukan masa itu. Dimas pernah bilang, “Kalau saja aku tahu siapa orang yang menyakitimu sampai begini, aku pastikan dia menyesal seumur hidupnya.” Aku yakin dia pasti akan merealisasikan ucapannya kalau saja aku tak mencegahnya. Air mataku lolos begitu saja, aku tak dapat lagi menahannya. Situasi macam apa ini, aku merutuki diriku yang lemah. Dimas pun menarikku masuk ke dalam pelukannya. “Please, Kak. I’m done with him.” Aku mendengar embusan napas Dimas saat dia mengelus puncak kepalaku. Detik berikutnya, aku merasakan lenganku ditarik pelan hingga aku terlepas dari pelukan Dimas. “Dim, Jingga biar aku antar pulang saja.” Ganda menepuk pelan bahu Dimas hingga sang empunya mengangguk setuju. *** Aku berpisah dengan Dimas dan Tiara. Saat ini mobil yang dikendarai Ganda sudah berhenti. Taman kota, batinku. Sepanjang jalan tadi, baik aku maupun Ganda milih untuk tak bersuara. Aku menoleh ke arah Ganda yang masih saja diam. “Ki—kita tidak langsung pulang?” lirihku. Ternyata Ganda sedang menatapku. Sejak kapan? Aku tersenyum kaku saat kami saling menatap. “Ganda …,” lirihku. “Hm.” Dia menyahut, masih saja tak mengalihkan pandangannya padaku. Bahkan saat ini dia tampak menunggu aku melanjutkan ucapanku. “A—aku mau minta maaf, atas kejadian tadi.” Aku menurunkan pandanganku tak lagi menatap matanya, gugup sekali. Aku memilih memainkan jari tanganku saja. Ini kebiasaan yang selalu aku lakukan saat sedang gugup. Sebenarnya tak hanya gugup, aku juga malu. Bisa-bisanya dipertemuan pertama kami, aku malah menangisi mantan. “Iya, Sayang. Aku maafin kamu.” Kalimat yang diucapkan Ganda sontak membuatku membulatkan mata dan menoleh ke arahnya. Saat ini dia tengah menahan tawanya, usil sekali. Aku memukul lengannya tidak sekali, tapi berkali-kali sembari menggerutu. “Aduh, Sayang. Kok dipukul? Aku ini sayangnya kamu ‘kan?” tanya Ganda seraya terkekeh geli. “Please,” rengekku. “Iya … iya …, jadi Bos kamu itu, mantanmu?” Aku mengangguk, detik kemudian aku menceritakan sedikit, tidak, aku bercerita panjang lebar padanya. Entah kenapa tiba-tiba saja aku tertarik berbagi kisah dengannya. Saat ini kami sedang duduk di bangku taman, ceritaku berlanjut saat sebelumnya terputus karena kami membeli beberapa jajanan di bazar makanan dekat taman. “Mungkin bagi kamu dia tak ada duanya, tapi bukan berarti tidak ada sosok yang bisa menggantikannya. Masih ada kok sosok yang istimewa—” Ganda menjeda kalimatnya saat melihat aku menyernyitkan dahiku menatapnya. Kini aku menunggu lanjutan kalimatnya karena dia sedang mengunyah. “Aku, contohnya.” Aku memicingkan mata padanya dan dia menutup mataku dengan sebelah tangannya, lalu kami kompak tertawa. Kini kami tidak lagi di taman, tapi sudah berada di halaman apartemenku. “Jingga, We’re officially friend, right?” tanya Ganda sebelum aku turun. Aku tersenyum seraya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya. “Nah, gitu dong happy.” Ganda mengelus puncak kepalaku dengan lembut. “Cantik,” lanjutnya. *** Hari ini aku hampir seharian berada di luar kantor, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Saat rekan lain sudah bersiap pulang, aku memilih kembali ke kantor karena harus menyiapkan beberapa pekerjaanku yang tertunda tadi. “Loh, Jingga, ada yang ketinggalan atau bagaimana?” tanya Pak Zein saat melihat kedatanganku. Kami bertemu tepat saat aku keluar dari lift. Di samping Pak Zein, Kak Damar tengah memainkan ponselnya—sontak mengalihkan pandangannya dan menatapku. Tentu saja Pak Zein tampak bingung karena rekan kerjaku lainnya sudah berbondong-bondong pulang. “Saya mau lembur, Pak. Ada yang mau saya kerjakan,” jawabku. “Baiklah, kalau begitu saya duluan, ya. Ayo, Pak Dam—” Belum sempat Pak Zein menyelesaikan kalimatnya Pak Damar sudah memotong, “Zein, saya pinjam ruangan kamu sebentar. Saya baru ingat ada yang harus kirim sore ini ke kantor pusat.” Kak Damar menepuk pundak Pak Zein dan berlalu menuju ruangan Pak Zein bahkan sang empunya belum sempat menjawab. Dia mendahuluiku begitu saja. Pak Zein hanya mengedikkan bahu lalu masuk ke dalam lift. Sementara aku langsung menuju ruanganku dan melanjutkan pekerjaanku. Aku mengembuskan napas lega, sekarang sudah pukul delapan malam. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Pandanganku tidak sengaja beradu pandang pada Pak Damar yang ternyata sedang menatapku dari ruangan Pak Zein. Beliau membuka tirai bagian dalam ruangannya. Aku menerjap dan segera merapikan mejaku, lalu turun ke lobi. Aku memandangi hujan yang turun entah sejak kapan, saat di ruangan tadi aku sudah memesan taksi online. Setengah jam sudah aku menunggu, driver memintaku untuk membatalkan pesanan karena beliau terjebak macet dan mobilnya mogok. Setelah membatalkan pesanan taksi online dan tak kunjung mendapat driver pengganti, aku mengunci layar ponselku. Aku malah asyik memandangi hujan, hingga deringan ponselku memecahkan lamunanku. “Kamu masih di kantor, Jingga?” tanya Ganda. Aku memang memberitahunya kalau akan lembur hari ini, pasalnya tadi sore, aku menolak ajakannya untuk makan malam bersama karena harus menyelesaikan pekerjaanku. “Masih, nih. Belum dapat driver taksi online,” jawabku. “Aku baru selesai di kafe, mau aku jemput?” tawarnya. “Mau …,” rengekku. Aku mendengar Ganda terkekeh di seberang sana. Kafe milik Ganda berjarak dekat dengan tempatku bekerja. Aku yang sudah pasrah karena tak kunjung mendapat taksi tentu saja dengan senang hati menerima tawarannya. “Oke, ditunggu.” Bosan duduk di sofa yang berada di dalam lobby kantor, aku berdiri di teras depan menunggu Ganda sembari memainkan ponsel di tanganku. Aku rasa tak lama lagi dia sampai. Aku menoleh saat tiba-tiba seseorang berdiri di sampingku. “Saya antar kamu pulang.” Aku mengerjap, apa aku tak salah dengar? Baru saja Kak Damar menawari untuk mengantarku pulang ‘kan? Aku tersenyum kecut, meski berbaik hati ingin mengantarku, tapi kenapa wajahnya sangat tak bersahabat seperti ingin menelanku hidup-hidup. “Terima kasih atas tawarannya tapi—” kalimatku terhenti ketika mendengar suara klakson dari mobil Ganda yang sudah terparkir di depanku. “Malam, Pak Damar.” Ganda turun dari mobilnya—menyapa Kak Damar dan dibalas dengan anggukan. Detik kemudian, Ganda membukakan pintu mobil untukku. “Kita pulang sekarang?” Aku menoleh ke arah Kak Damar, raut wajahnya masih saja tampak tak bersahabat. “Maaf, Pak, saya permisi karena sudah dijemput. Terima kasih untuk tawarannya tadi. Aku pun segera masuk ke dalam mobil meski Pak Damar tidak menjawabku. Aku memandangi spion mobil dan Kak Damar masih saja berdiri di tempat yang sama hingga mobil keluar dari area kantor. Ada apa dengannya? Batinku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN