Apa ini hanya perasaanku saja, makin hari Pak Damar terlihat mencari kesalahanku. Oh, ya, mulai sekarang aku akan memanggil dia dengan sebutan ‘Pak’ itu jauh lebih baik. Rapat pagi ini Pak Damar kembali menegurku secara langsung di hadapan rekan divisiku, beliau tidak setuju dengan proposal yang aku buat, terlalu mononton. Padahal sebelumnya aku sudah mendiskusikan dengan Pak Zein dan beliau setuju. Pak Damar memintaku untuk membuat inovasi baru dan segera menyerahkan padanya besok pagi, dia juga mengatakan kecewa dengan kinerjaku yang tak becus menangani hal yang seharusnya sudah menjadi makananku hari-hari, terlalu berlebihan menurutku.
Pak Zein yang sebelumnya membelaku pun terpaksa bungkam karena Pak Damar tak menerima penolakan atas titahnya.
Saat Pak Damar keluar ruangan, Pak zein melanjutkan meeting pagi ini, beliau memintaku untuk tak berkecil hati atas ucapan Pak Damar. Beliau juga memintaku me-manage dengan baik agendaku hari ini agak dapat menyelesaikan tugas dari Pak Damar tepat waktu.
“Kamu yakin, Ga, gak melakukan kesalahan yang fatal saat pertemuan di sukabumi?” tanya Rita.
Benar, kalau diingat-ingat sejak perjalanan bisnis kala itu Pak Damar memang sering menumpahkan amarahnya padaku.
“Nggak ada,” jawabku.
“Soalnya belakangan ini kamu selalu jadi sasaran empuk kemarahannya. Padahal aku kira Pak Damar itu suka sama kamu, loh, Ga.”
“Nggak usah ngaco, aku gak minat jadi istri mudanya.”
“Baguslah, jadi aku tak punya saingan,” canda Rita. Kami kompak tertawa dan kembali ke ruangan.
Saat masuk ke ruangan aku melihat ekspresi wajah Dimas tampak tak bersahabat, sebelum duduk di kursiku aku sempatkan untuk menggodanya dengan mencolek dagunya maksud hati hendak mencairkan suasana.
Aku tahu dia pasti tak terima dengan sikap Pak Damar padaku, kalau saja dia tidak tahu kisah kami di masa lalu pasti dia tidak akan se-over ini. Dimas pernah bilang dia tak tahan melihat mantanku bahagia di atas penderitaanku, aku harus mulai meyakinkan Dimas kalau aku sudah baik-baik saja sekarang.
Dimas memang Kakak sekaligus rekan kerja terbaik yang pernah aku miliki, tinggal di rantauan jauh dari orang tua tak membuatku kesepian karena dia selalu sigap dalam banyak hal, dia sudah seperti Kak Damar yang dulu versi Bandung. Saat ini Dimas tengah membantuku menyelesaikan tugas dari Pak Damar, dia memberi beberapa gagasan yang sangat menarik, deringan di ponselku berbunyi menjeda diskusi kami. Aku meringis saat Dimas membaca nama yang tertera di layar ponselku dan dia hanya menggeleng kepalanya lalu kembali memeriksa file yang sudah kuketik.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam, kamu masih di kantor, Ga?” tanya Ganda.
“Masih, mau makan siang di kantor aja. Kamu udah di apartemen?” tanyaku. Aku mencubit lengan Dimas karena dia mengulum senyum, aku tahu dia pasti tengah mengolokku dalam hatinya.
“Hah? Serius, ah,” kejutku. Aku mematikan sambungan telepon dan gegas berlari menuju lobby tak menghiraukan Dimas, pasalnya Ganda bilang dia sedang berada di parkiran kantor dan membawa makan siang untukku. Aku tak mau membuatnya menunggu lama, dia juga perlu istirahat karena aku tahu jadwal dinasnya hari ini.
Aku berjalan lebih cepat dan sesekali berlari, begitu keluar pintu kantor aku melihat Ganda merentangkan tangannya seolah meminta dipeluk, usil sekali dia, aku mengisyaratkan agar dia masuk ke dalam mobil dan dia terkekeh lalu mengikuti arahanku, aku pun menyusul masuk ke dalam mobilnya.
“Repot-repot banget, sih. Kalau tadi aku gak di kantor gimana coba udah jauh-jauh ke sini,” gerutuku. Ganda memberi sebuah bungkusan, pasti ini makan siang yang dia maksud di telepon tadi, dia terkekeh kemudian mengelus puncak kepalaku.
“Kalau gak ketemu ya aku pulang.” Dia mengedikkan bahu dan aku memicingkan mata ke arahnya.
“Mau makan bareng gak?” pintaku.
“Kalau besok malam aja gimana, aku mau istirahat belum ada tidur. Tadi tiba-tiba pengen ketemu kamu.” Aku memukul lengannya dan dia terkekeh. Padahal aku tahu dia pasti kelelahan, tapi tak salah juga bertanya ternyata benar dia lebih butuh istirahat.
“Belum makan saja aku kenyang dengan gombalanmu, pulang sana!” rajukku.
“Besok, ya, aku jemput kamu pulang kerja, oke?” Ganda menarik tanganku, sekarang dia tengah menarik jari kelingkingku dan mengaitkan dengan kelingkingnya. Mana mungkin aku bisa menahan tawaku, kenapa dia tak menjadi dokter spesialis anak saja karena tingkahnya saja sudah sebelas dua belas dengan anak-anak kurasa lebih cocok.
“Ya,” jawabku singkat.
“Sekarang turun, aku mau pulang,” lanjutnya. Aku membelalak hingga menganga mendengar ucapannya dan dia tertawa lepas lalu menutup mulutku dengan tangannya, dia tertawa bahagia.
Gegas aku memaksa membuka pintu dan dia menarik lenganku lalu mengelus puncak kepalaku lembut. “Just kidding, have a nice work and see you when i see you.” Aku malas menanggapinya begitu keluar dan menutup pintu, Ganda menurunkan kaca di kursi yang kududuki tadi tersenyum manis dan aku balas dengan memeletkan lidah lalu meninggalkannya yang terkekeh geli.
Aku membalikkan badan ternyata Ganda masih saja menungguku masuk ke dalam kantor, kemudian aku melambaikan tangan barulah dia berlalu. Saat kembali berbalik aku menghentikan langkahku karena seseorang menghalangi jalanku.
Pak Damar.
Aku menerjap, wajahnya bukan main ketus. “Ma—maaf, Pak.” Aku mengucapkannya dengan sedikit membungkuk.
“Papa.” Pak Damar berbalik lalu merangkul anak kecil yang aku tebak usianya 3 atau 4 tahun.
“Banyak sekali rotinya.” Pak Damar mengelus kepala anak itu lembut, nada bicaranya juga sama lembutnya dengan sikapnya, ekspresi wajahnya seketika berubah pula.
“Dikasih nenek itu banyak-banyak.” Anak kecil itu memberi sekantong roti pada Pak Damar, dia menunjuk kantin kantor kemudian beralih menatapku yang entah kenapa malah terdiam menyaksikan interaksi mereka. “Tante cantik? Papa, tante cantik.” Anak kecil itu mendekat dan menarik tanganku lalu melompat-lompat, dia terlihat girang sekali.
Aku tersenyum kecut ke arah Pak Damar dan dia tampak biasa-biasa saja, kemudian aku berjongkok mensejajarkan tinggi dengan anak kecil di hadapanku ini.
“Hai, siapa ini namanya?”
“Alion.” Aku mengalihkan pandangan ke Pak Damar, dia tahu maksudku tanpa harus kutanya.
“Namanya Arion.”
“Oh, Arion.” Perasaanku saat ini, entahlah, aku sulit menjelaskannya. Mataku sudah berkaca-kaca, aku sudah berjanji untuk baik-baik saja menerima kenyataan ini. “Arion, ada yang perlu tante bantu?” Di sini aku adalah karyawan papanya, aku harus profesional bukan.
“I've been looking for you for a long … long—“ Aku menyernyitkan dahi, untuk apa dia mencariku? Arion adalah anak yang sama dengan yang pernah kulihat di swalayan dan restoran, meski saat itu aku tak jelas melihat wajahnya tapi aku hafal bentuk tubuhnya. Aku tak melihat kemiripan antara Arion dan Kak Damar, apa mungkin dia mewarisi wajah Kak Dinda karena wajahnya lebih dominan wajah bule.
“Ayo, Rion kita pergi,” ujar Kak Damar. Padahal aku menunggu Arion menyelesaikan kalimatnya tapi Pak Damar terkesan memotong kalimat Arion, Arion mengangguk patuh, dia mendekatiku.
“See you, the best thing Papa ever had,” bisiknya padaku saat dia memeluk leherku. Aku terdiam menatapnya, aku rasa hanya aku yang mendengar ucapannya lalu dia mencium pipiku berulang kali.
Detik berikutnya Pak Damar menarik Arion, dia terlihat salah tingkah. Arion terus melambaikan tangan padaku, aku terus melihat mereka hingga masuk ke mobil dan tak melihat Dinda.
The best thing Papa ever had, aku?