Sudah memasuki jam rawan serangan kantuk siang hari, dan aku termasuk korban. Namun, entah berkat atau hanya kebetulan, Dimas datang membawa empat cup kopi dan meletakkan cup terakhir di mejaku.
"G Coffee," Reno membaca lantang nama coffee shop di cup yang dibawa Dimas.
Aku mengerutkan kening setelah meneguk minuman itu, lalu ikut melihat nama coffee shop yang tertera di cup. "Ini café yang kemarin kita datangi?" tanyaku. Dimas hanya mengangguk, tak menoleh dan tetap fokus pada layar laptop di mejanya.
"Oh, ya, Dim. Kamu kenal Ganda?" Tiba-tiba saja aku ingat nama itu dan sedikit penasaran dengan sosok Ganda itu sendiri.
"Kamu kenal Ganda?" kali ini Dimas tak hanya menoleh, dia bahkan menggeser kursinya mendekatiku. Aku sontak membulatkan mata ke arah Dimas yang sudah di sampingku.
"Apaan sih, ditanya malah balik nanya," gerutuku sambil memukul lengan Dimas, lalu memutar kursinya dan mendorongnya asal. Dimas hanya terkekeh dan kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya.
"Dia sahabat aku dari Sekolah Menengah Pertama. Kenapa? Naksir?" tanya Dimas, menyelidik. Aku tak menjawab, hanya memicingkan mata padanya. Aku menyilangkan tanganku ke arahnya tanda aku tidak membenarkan pertanyaannya. Sementara Dimas mengedikkan bahunya acuh.
***
Di hari lain
Dimas tampak penasaran bagaimana dan sejak kapan Jingga bisa kenal Ganda. Akhirnya, dia mengatur pertemuan dengan Ganda di salah satu café dekat rumah sakit tempat Ganda bekerja. Saat Ganda sampai di café, dia melihat Dimas sedang menyesap kopinya.
"Minum apa?" tanya Dimas.
"Baru saja ngopi di ruangan dokter," jawab Ganda singkat, lalu langsung bertanya, "Ada apa nih, tumben manggil ketemuan jam segini?"
"Gan, kamu kenal Jingga?" tanya Dimas to the point.
"Jingga... Jingga di batas kota?" Ganda terkekeh mendengar ucapannya sendiri, tapi segera menyadari ekspresi serius Dimas. "Aku nggak kenal. Baru juga balik lagi ke Bandung kapan hari," lanjutnya.
"Iya juga, tapi kok dia bisa kenal kamu, ya," gumam Dimas, berpikir sambil menyesap kopinya.
"Apa mungkin dia salah satu pasienku?" Ganda mencoba menebak.
Dimas masih terdiam sambil menyesap kopinya. Ganda akhirnya meminta Dimas menunjukkan foto Jingga, barangkali dia mengenali wajah Jingga meski tidak tahu nama. Dimas segera mencari foto Jingga di galeri ponselnya.
"Nah, ini, Gan," ucapnya. Dia memperbesar foto Jingga saat bersama dirinya dan Tiara. Ganda mengangguk pelan sambil bergumam, "Cantik."
***
Akhirnya, aku mau tak mau memenuhi permintaan Dimas untuk bertemu dengan teman dekatnya. Setelah beberapa kali menolak, aku akhirnya mengiyakan pertemuan itu. Dimas bercerita bahwa temannya ini langsung setuju dikenalkan denganku.
Temannya itu, aduh … kusebut apa namanya karena Dimas enggan memberitahu namanya dulu, sebut saja, Doi. Dimas bercerita dia langsung setuju begitu akan dikenalkan denganku. Kini Dimas yang dibuat heran dengan respon kami. Berbeda dengan aku yang masih belum bisa membuka hati karena masa lalu, nah, Doi masih betah sendiri bukan karena dia memiliki masa lalu yang menyakitkan, hanya saja dia tengah sibuk membangun karirnya padahal ada banyak wanita yang mengejar cintanya bukannya tinggal pilih saja, dia malah antusias dikenalkan denganku yang hanya dia lihat dari foto.
Hari ini, aku terlambat tiba di restoran tempat kami janjian. Begitu melihat Tiara melambaikan tangan, aku berjalan menuju meja yang masih menyisakan satu kursi kosong.
Saat aku mendekati meja, seorang pria berdiri menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat agar aku duduk di sana.
"Terima kasih," kataku sambil tersenyum, lalu mengembuskan napas kasar. "Maaf, ya, tadi mobilku mogok. Sudah di derek ke bengkel," jelasku.
"Kenapa nggak ngabarin, sih?" Tiara tampak khawatir sambil meraih tanganku yang berada di atas meja.
"Nggak kepikiran. Langsung auto telepon derek karena jalanan macet gara-gara aku," jawabku. Alih-alih merasa iba, mereka malah tersenyum geli. Aku jengah melihat mereka dan menoleh ke arah pria di sampingku yang tengah menatapku. Dia tiba-tiba mengulurkan tangannya.
"Ganda Setiaji, panggil saja Ganda," ucapnya.
Wait, wait, Ganda? Apa ini Ganda yang sama yang pernah dibicarakan Roza? Aku menoleh ke Dimas sambil memicingkan mata, dan dia hanya terkekeh.
"Jingga," jawabku singkat.
"Jingga di batas kota?" Ganda menggoda, membuatku melepaskan jabat tangan kami dengan sedikit hentakan.
"Please, Jingga Asta Selmara," gerutuku setengah merajuk karena namaku diolok-olok. Dia meminta maaf dan menjelaskan kalau dia hanya ingin mencairkan suasana. Aku sebenarnya tahu maksudnya itu.
Percakapan kami berlanjut tentang perjalanan karier dan pengalaman masing-masing. Tiara bahkan datang khusus untuk menemaniku bertemu dengan Ganda, receh sekali mereka berdua. Aku senang bisa mengenal Ganda, dia mudah bergaul dan lembut. Dimas juga sudah menceritakan banyak hal tentang Ganda padaku.
Setelah makan malam, kami memutuskan untuk pulang. Aku dan Dimas berdiri di teras luar menunggu Ganda yang pamit ke toilet dan Tiara yang menunggu pesanan kimchinya untuk di bawa pulang.
"Gimana, Ga, Ganda menurut kamu?" Dimas bertanya sambil tersenyum, menaik-turunkan alisnya. Aku hanya menggelengkan kepala melihat kelakuannya.
"Not bad," jawabku pendek.
"Please, kali ini coba buka hatimu, Ga," Dimas mengangkat daguku yang sejak tadi menunduk entah mencari apa. “Ganda lelaki baik. Aku tidak pernah asal-asal memilih lelaki untuk dikenalkan padamu. Sebentar, bukan berarti aku memaksa. Aku hanya ingin kamu mengenalnya lebih dekat. Alasannya, selain karena dia baik, aku ingin melihat kamu bahagia, Jingga,” terang Dimas.
"I'll try," balasku. Mungkin Dimas benar, aku harus mulai membuka diri. Namun, jujur, saat ini aku merasa nyaman sendiri. Aku tidak merasa terbebani oleh status single-ku.
Mataku menangkap sosok pria yang berdiri di belakang Dimas. "Kak Damar?" lirihku.
Dadaku terasa sesak ketika melihat seorang anak kecil menenggelamkan wajahnya di leher Kak Damar dalam gendongannya. Aku celingukan mencari Dinda, tapi tidak menemukannya. Dimas yang melihat perubahan ekspresiku, ikut menoleh.
"Pak Damar," sapanya.
"Kalian cukup akrab, lebih terlihat seperti sepasang kekasih," ujar Kak Damar datar, menatapku tajam. Ini di luar kantor, masih saja dia tidak santai, membuatku menghela napas jengah.
"He... Hei, Kak..." Tiara datang bersama Ganda dan langsung menyapa Kak Damar.
"Kamu di sini juga, Ti?" tiba-tiba raut wajahnya berubah lebih lembut. Jahat sekali, saat melihatku dia seolah mengibarkan bendera permusuhan.
"Iya—"
Tiba-tiba saja aku tersulut emosi. Aku dengan sengaja memotong ucapan Tiara. "Dimas bukan pasangan saya, Pak. Dimas Kakak sepupu saya. Dia kekasih Tiara," jawabku tegas.
Aku mendekati Ganda, menarik dan merangkul lembut lengannya. "Sayang, kenalin, ini Pak Damar, Bosku," kataku sambil tersenyum menatap Ganda dan Kak Damar bergantian.
Ganda melepaskan rangkulanku, meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Lalu dia mengulurkan tangannya ke arah Kak Damar.
"Ganda," sapanya.