Meja Nomor Sebelas

1303 Kata

G Coffee. Aku terus menatap ruang obrolan di ponselku, siapkah aku bertemu dengan si pengirim pesan itu. Dari sekian banyak pesan yang dia kirim isinya hanya kekecewaannya karena aku telah merebut miliknya, siapa lelaki yang aku rebut. Aku mengangkat pandanganku saat mendengar langkah seseorang mendekat. Diakah? Aku menahan pandanganku, mata kami saling bertemu, kali ini tatapan sendu tak setajam biasanya. “Masih sakit?” Untuk apa dia peduli. “Jingga,” panggilnya saat aku tak menjawab dan masih menatapnya lekat. “Sekali lagi saya mewakili Dinda—“ “Jangan pernah merasa bersalah dan meminta maaf atasnamanya,” gumamku. “Bagaimana?” Aku tersadar, entah celotehan apa yang baru saja aku lontarkan. Aku mengalihkan perhatiannya, sepertinya dia paham kalau aku sedang tak ingin membahas ke

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN